Bicara sejarah, kenapa aturan Islam begitu ketat terhadap interaksi dengan non muslim? Kita sama-sama tahu bahwa masa itu berbeda dengan masa sekarang. Nabi Muhammad SAW. menyebarkan syiar Islam kepada mereka yang masih menyembah berhala, tidak beragama, yang pada dasarnya merupakan karakter-karakter yang jahiliah. Bicara interaksi dengan non muslim, sebenarnya dari dulu sudah sangat adem sekali. Rasulullah SAW. dibesarkan oleh pamannya yang seorang non muslim. Sejarah mencatat bahwa Abi Thalib merupakan orang pertama yang mengakui kerasulan Muhammad, membela keponakannya sampai darah penghabisan, menjaga dengan baik sampai tak ada seekor nyamuk menggigitnya, walaupun kemudian Abi Thalib tidak memeluk Islam sampai ajalnya. Sebuah syair dari Abi Thalib yang menguatkan bahwa interaksi dengan non muslim perlu dijaga saya kutip untuk Anda.
“Sungguh saya sadar, bahwa agama Muhammad adalah agama terbaik di muka bumi ini. Andai bukan karena celaan dan takut hinaan, tentu engkau akan melihatku menerima agamamu ini dengan penuh kelapangan dada dan secara terang-terangan.” – syair Abi Thalib, Paman Nabi Muhammad SAW. (konsultasisyariah.com, 20/12/14).
Ketentuan Allah memang tidak ada yang tahu. Islam atau tidaknya seorang Abi Thalib juga hanya Allah yang tahu. Bagi saya, komunikasi Abi Thalib yang seorang non muslim mencerminkan kelapangan dada seseorang dalam menerima orang lain dalam kondisi berbeda. Abi Thalib menjaga Nabi Muhammad SAW. bukan cuma sebatas paman dengan kemenakan. Beliau menjaga Muhammad sebagai nabi dan rasul dari Islam yang sejatinya bukan agamanya.
Tatanan Islam tentu tidak salah. Aturan mainnya juga baku. Namun untuk saya, perubahan zaman yang terjadi semakin pesat. Saya kenal dengan non muslim, saya berinteraksi dengan non muslim tidak hanya melalui blog, media sosial, tetapi juga di kehidupan nyata. Hanya saja, bagaimana cara saya harus menyeimbangkan aturan agama dengan interaksi sesama manusia. Hubungan manusia dengan manusia adalah utang dengan manusia, berbeda dengan hubungan dengan Tuhan. Apabila saya punya salah sekalipun dengan non muslim, di hari akhir itu tetaplah utang yang mesti saya minta lunasi kepadanya.
Bagaimana jika di benak saya pernah terlintas pemikiran begini, “Saya sudah beli buku banyak diskonnya kok masih 10% juga!” Pemilik toko buku yang seorang non muslim tersebut tentu tidak tahu soal keluhan saya ini. Namun, saya telah mengunjingnya seorang diri dan selayaknya meminta maaf kepadanya. Jika terus saya diamkan, ke depan akan terulang kembali, saya juga akan menjelek-jelekkan toko buku itu beserta pemiliknya yang seorang non muslim. Padahal, saya telah mendapatkan banyak keuntungan dari membeli buku di tokonya.
Pemilik toko buku ini, maupun sahabat saya di media sosial, selalu mendoakan saya saat hari besar Islam. Doa mereka walaupun cuma kata “selamat” saja tentu hati itu mengharapkan kami yang muslim sejahtera dan bahagia. Tiap tahun mereka memberikan selamat, tak kurang dari satu kali lebaran, sebuah pertanda bahwa hati mereka begitu lunak.
Ke depan, saya tetap berada di jalan menuju ridha-Nya dan sahabat non muslim tetap berpegang teguh pada ajarannya. Komunikasi di media sosial maupun blogakan tetap saya jaga karena ini hubungan sesama manusia. Urusan dosa dan hukuman yang nyata, saya serahkan kepada-Nya saja.
***
Referensi: