Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Sejahtera Untukmu, Sahabat Maya Seorang Non Muslim

31 Agustus 2016   16:55 Diperbarui: 31 Agustus 2016   17:01 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerukunan Beragama - beritamalukuonlinedotcom

Tiap kali ke Banda Aceh, saya selalu mampir ke salah satu toko buku. Biasanya, saya sudah membuat list buku-buku apa saja yang akan dibeli. Toko buku ini merupakan salah satu toko buku besar di Banda Aceh, jangan lihat ruko kecil dua pintu namun lihat isi di dalam toko buku ini. Toko buku ini menyediakan beragam buku. Dan tentu saja, diskon 10% untuk tiap member terdaftar dan memegang kartu keanggotaan.

Kartu Anggota
Kartu Anggota

Interaksi saya dengan pemilik toko buku berlanjut ke media sosial, terutama perpesanan instan. Sejak awal saya datang ke toko buku ini, saya sudah tahu bahwa pemiliknya bukan seorang muslim. Pemilik toko ini biasanya duduk sebagai kasir dan pekerja yang tampak tiga orang adalah mereka yang berkerudung. Pertemanan di aplikasi chatting membuat saya sering menerima pesan broadcastberisi promo buku terbaru. Tidak hanya itu, broadcast dan status dari pemilik toko buku yang merupakan keturunan China ini, begitu menghargai konsumen dan juga rekan mereka yang ada di Aceh. Contohnya, lebih kurang dua tahun saya berteman dengan wanita dengan rambut sebahu itu, saya selalu menerima broadcastseperti; Selamat Puasa Ramadhan, Selamat Idul Fitri, Selamat Idul Adha, Mohon Maaf Lahir dan Batinmaupun Selamat Tahun Baru Islam.

Namun, saya tidak pernah sekalipun membuat status atau kirim pesan langsung kepadanya seperti Selamat Tahun Baru Imlek atau Selamat Natal. Saya masih memegang teguh larangan untuk membuka tabir dengan non muslim. Tabir itu terbentang luas dari sejak saya di masa remaja, saat masih belajar kitab kuning di pesantren tradisional, menerima pelajaran di madrasah sampai saya kuliah di kampus Islam, ajaran itu menguatkan hati untuk tidak berinteraksi dengan mereka yang non muslim. 

Sampai kini, setelah lepas dari atribut pendidikan, pemahaman saya tentang interaksi dengan dengan non muslim yang tertuang dalam Islam masih sangat dangkal sekali. Saya tidak memungkiri bahwa pertemanan di media sosial, dari mereka yang tidak berdomisili di Aceh, yang saya tidak pernah berinteraksi langsung, sebagian bukan berasal dari agama Islam. Ada yang dekat secara personal, ada yang cuma numpang lewat status saja. Tetapi mereka selalu saja meluangkan waktu untuk mengucapkan selamat untuk hari-hari besar di dalam Islam. Norma yang terlarang di dalam ajaran Islam sejatinya mereka tidak peduli. Kami di dalam Islam, teramat panjang berdebat soal ini padahal jelas sekali bahwa kehidupan di dunia ini saling ketergantungan.

Kita terlalu lupa bahwa kehidupan masyarakat Islam sangat tergantung kepada mereka yang non muslim. Namun, begitu berkaitan dengan persahabatan dengan non muslim, hukum-hukum Islam berjajar setinggi angkasa. Padahal, zaman yang terus berkembang dengan baik tidak selalu berkaitan dengan seorang non muslim meracuni seorang muslim untuk menjadi bagian dari mereka. Jika saya tanya beberapa pertanyaan, tidak perlu Anda jawab, cuma simpan di hati saja. Terlepas siapa penemu di era kejayaan Islam terdahulu. Kita berbicara siapa yang berbuat dan menciptakan di masa kini.

“Kendaraan apa yang Anda pakai saat ini?”

“Berapa sering Anda naik pesawat terbang?”

“Kapan terakhir akan berlayar dengan kapal laut?”

Smartphone merek apa yang Anda beli?”

“Pakaian merek apa yang Anda pakai?”

“Tas dari brand besar mana yang Anda pamerkan?”

“Apakah Anda menggunakan komputer?”

“Apakah Anda berkomunikasi melalui jaringan telepon maupun data?”

“Apakah rumah Anda mempunyai rice cooker,televisi atau kulkas?”

“Apakah Anda memakai underware(maaf)? Coba lihat merek apa yang tertera di sana!”

Lalu, kita terlalu sering berdebat namun melupakan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Begitu ada ucapan dari saya misalnya, “Selamat Natal untukmu, Kawan!” didengar oleh mereka yang kuat keislamannya, maka saya akan disebut telah keluar dari “ajaran” Islam. Saya dianggap mempermainkan Islam. Saya telah diracuni oleh mereka yang bukan beragama Islam. Maka dari itu, berkomunikasi saja pakai surat dari daun karena smartphone itu dibuat oleh mereka yang bukan dari Islam, tak perlu pula saya sebutkan merek namun Anda tahu benar bahwa China dan Korea sedang mendominasi kejayaan smartphone saat ini. 

Di lain kesempatan, jangan lagi pakai kendaraan karena sepeda motor, mobil, bahkan pesawat udara dan kapal laut tidaklah diciptakan oleh orang Islam. Negeri matahari terbit misalnya, merupakan salah satu produsen kendaraan bermotor terbesar dunia. Jika tidak percaya, colek saja sepeda motor yang sedang terparkir di halaman rumah Anda. Di bagian yang tersembunyi, underware yang kita kenakan saat ini, mereknya saya tebak dalam bahasa Inggris. Jangan pakai underware jika menghujat non muslim terlalu panjang padahal tak pernah interaksi dengan mereka. Bahkan, kain yang Anda kenakan saat ini mesti dipilih lagi benar atau tidak dibuat oleh seorang muslim!

Sekadar ucapan salam saja, masihkah aturan itu baku? Salam itu bukan bom nuklir yang telah meluluhlantakkan Niroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II. Bukan pula mercon yang meletus bagai kentut. Saya selalu bertanya-tanya, kenapa urusan dengan non muslim jadi begitu ribetnya. Apakah saya akan di kutuk jadi batu seperti Malin Kundang? Apakah saya akan jadi Sangkuriang?

Tentu, yang tidak boleh tetap tidak boleh. Sahabat non muslim tetap sahabat saya. Salam yang seharusnya untuk muslim saja, tidak akan terucap untuk mereka yang non muslim.

“Adapun memulai mengucapkan ucapan selain “Assalaamu’alaikum!” kepada mereka, seperti ucapan “Selamat Pagi!”, “Selamat Datang!” dan ucapan yang semisalnya kepada mereka (non muslim), maka hukum yang tampak (bagi kami) adalah boleh. Hal ini dikarenakan: Hadits-hadits (yang ada dalam masalah ini) hanyalah terkait dengan larangan memulai mengucapkan ucapan “Assalaamu’alaikum!” kepada mereka dan tidak terkait dengan ucapan selamat yang lainnya. Di dalam (memulai) ucapan “Assalaamu’alaikum!” (kepada mereka) terkandung bentuk pemuliaan dan penghormatan yang spesifik bagi mereka, yang tidak terdapat di dalam ucapan-ucapan selamat yang lainnya.” (muslim.or.id, disadur dari fatwa.islamweb.net, 04/06/03).

Saya rasa, perkaranya cukup sampai di sini. Kehidupan yang damai bersama non muslim tidak perlu dihancurkan karena sebuah ucapan salam. Salam bisa beragam. Salam bisa terucap di mana saja. Media sosial yang notabene sebagai sarana menguatkan dalam menjalin silaturahmi tidak serta-merta dijadikan ajang pamer ini tidak boleh dan itu tidak boleh. Mudharatnya itu ada pada diri kita sendiri, biarpun bergaul dengan sesama muslim sekalipun, jika terjerumus ke perkara negatif, tak akan ke mana, ke situ juga. Say haidari sahabat non muslim yang biasanya membaca tulisan di blog tidak bisa saya abaikan karena takut di hukum. Ini bukanlah perkara yang mendapat hukuman perdata, hukum penjara bahkan hukum cambuk.

Bicara sejarah, kenapa aturan Islam begitu ketat terhadap interaksi dengan non muslim? Kita sama-sama tahu bahwa masa itu berbeda dengan masa sekarang. Nabi Muhammad SAW. menyebarkan syiar Islam kepada mereka yang masih menyembah berhala, tidak beragama, yang pada dasarnya merupakan karakter-karakter yang jahiliah. Bicara interaksi dengan non muslim, sebenarnya dari dulu sudah sangat adem sekali. Rasulullah SAW. dibesarkan oleh pamannya yang seorang non muslim. Sejarah mencatat bahwa Abi Thalib merupakan orang pertama yang mengakui kerasulan Muhammad, membela keponakannya sampai darah penghabisan, menjaga dengan baik sampai tak ada seekor nyamuk menggigitnya, walaupun kemudian Abi Thalib tidak memeluk Islam sampai ajalnya. Sebuah syair dari Abi Thalib yang menguatkan bahwa interaksi dengan non muslim perlu dijaga saya kutip untuk Anda.

“Sungguh saya sadar, bahwa agama Muhammad adalah agama terbaik di muka bumi ini. Andai bukan karena celaan dan takut hinaan, tentu engkau akan melihatku menerima agamamu ini dengan penuh kelapangan dada dan secara terang-terangan.” – syair Abi Thalib, Paman Nabi Muhammad SAW. (konsultasisyariah.com, 20/12/14).

Ketentuan Allah memang tidak ada yang tahu. Islam atau tidaknya seorang Abi Thalib juga hanya Allah yang tahu. Bagi saya, komunikasi Abi Thalib yang seorang non muslim mencerminkan kelapangan dada seseorang dalam menerima orang lain dalam kondisi berbeda. Abi Thalib menjaga Nabi Muhammad SAW. bukan cuma sebatas paman dengan kemenakan. Beliau menjaga Muhammad sebagai nabi dan rasul dari Islam yang sejatinya bukan agamanya.

Tatanan Islam tentu tidak salah. Aturan mainnya juga baku. Namun untuk saya, perubahan zaman yang terjadi semakin pesat. Saya kenal dengan non muslim, saya berinteraksi dengan non muslim tidak hanya melalui blog, media sosial, tetapi juga di kehidupan nyata. Hanya saja, bagaimana cara saya harus menyeimbangkan aturan agama dengan interaksi sesama manusia. Hubungan manusia dengan manusia adalah utang dengan manusia, berbeda dengan hubungan dengan Tuhan. Apabila saya punya salah sekalipun dengan non muslim, di hari akhir itu tetaplah utang yang mesti saya minta lunasi kepadanya.

Bagaimana jika di benak saya pernah terlintas pemikiran begini, “Saya sudah beli buku banyak diskonnya kok masih 10% juga!” Pemilik toko buku yang seorang non muslim tersebut tentu tidak tahu soal keluhan saya ini. Namun, saya telah mengunjingnya seorang diri dan selayaknya meminta maaf kepadanya. Jika terus saya diamkan, ke depan akan terulang kembali, saya juga akan menjelek-jelekkan toko buku itu beserta pemiliknya yang seorang non muslim. Padahal, saya telah mendapatkan banyak keuntungan dari membeli buku di tokonya.

Pemilik toko buku ini, maupun sahabat saya di media sosial, selalu mendoakan saya saat hari besar Islam. Doa mereka walaupun cuma kata “selamat” saja tentu hati itu mengharapkan kami yang muslim sejahtera dan bahagia. Tiap tahun mereka memberikan selamat, tak kurang dari satu kali lebaran, sebuah pertanda bahwa hati mereka begitu lunak.

Ke depan, saya tetap berada di jalan menuju ridha-Nya dan sahabat non muslim tetap berpegang teguh pada ajarannya. Komunikasi di media sosial maupun blogakan tetap saya jaga karena ini hubungan sesama manusia. Urusan dosa dan hukuman yang nyata, saya serahkan kepada-Nya saja.

***


 Referensi:

Muslim.or.id

Fatwa.islamweb.net

Konsultasisyariah.com

***

Facebook - Twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun