Tangis itu makin pecah.
Kesabaranku hilang. Dibawa lari entah ke langit mana. Menuju suara yang semakin dekat dengan telingaku.
Aku menarik kapas dari bantal bekas bunga tidur. Menyumpal telinga. Kecewaku, suara tangis itu tak hilang dari pendengaranku!
***
Namanya Bara. Aku malah tidak mengingat nama lengkapnya. Yang aku ingat hanya tangisannya tiap saat. Dia menangis di saat yang tidak tepat. Menjelang subuh. Menjelang magrib. Lewat jam sepuluh malam. Dan tengah malam. Selebihnya, dia diam saja!
Baru baru setahun tinggal di rumah itu. Semenjak dia ada, rumah itu jadi ramai. Dulu diam sekarang bagai banyak penghuni. Rumah itu tak lagi rumah hantu yang aku takuti sejak kecil. Rumah itu sudah banyak suara berisik. Bermula dari Bara!
Dia laki-laki. Tapi tak ubah perempuan saat dia melengking menyanyikan lagu kemenangan. Dia cukup senang dan puas setelah menangis. Seandainya ada lomba pencarian bakat menangis, dia akan menang!
Hampir saja aku melabrak tangisnya. Meminta diam. Memohon pengertian. Aku – sebagai orang dewasa – firasatku meminta jangan.
Karena Bara, masih setahun, di rumah itu, bakan di dunia!
***
Bara hari ini diam saja. Kulihat dia dipanggu ibunya. Di sampingnya duduk laki-laki beruban, pemilik rumah itu. Lelaki yang tadi kuceritakan. Dan Bara adalah cucunya. Yang menangis di waktu yang sudah kuuraikan tadi!