Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pemburu Giok

20 Oktober 2015   17:07 Diperbarui: 20 Oktober 2015   17:07 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pada ambisi yang mengalahkan akal sehat, Salman mencaci-maki kehidupan yang belum memihak padanya. Siang malam Salman menggali namun belum secuil harapan didapatnya. Salman terus mengais di antara tumbukan yang berlawanan arah. Matanya terbinar melihat orang-orang mendapatkan sebongkah harapan dalam batu giok. Salman mengerutkan kening pasrah saat tangannya belum menemukan apa-apa.

Detik berganti. Salman meradang. Langkah kakinya mendaki. Badannya membungkuk. Kepalanya mendongak. Matanya jelalatan. Ini bukan naluri laki-laki saat memacari hasratnya dengan aroma perempuan. Ini adalah ilusi laki-laki yang ingin membahagiakan perempuan. Laki-laki mana yang tak ingin anak-istri tersenyum girang mendapati sosok gagah pulang membawa uang.

Salman meraung. Masih dalam katanya. Dalam kata mereka. Di sana ada bongkah besar. Di situ tampak pancaran cahaya di sinari bulan purnama. Di sini sepertinya terdapat percikan batu giok yang mereka cari.

Gunung didaki. Membawa bakul, parang, cangkul dan cita-cita. Satu persatu orang kampung Salman mendadak kaya raya. Siapa yang tidak tergiur. Adalah Rusli pertama memulainya. Rejeki tak ke mana. Rusli terpeleset batu giok saat dirinya ke kebun karet. Giok dijual. Rusli menyisakan sedikit untuk perhiasan dirinya dan anggota keluarga. Mata cincin hijau mengilap tersemat di jari manisnya sebesar ibu jari. Rusli membuang kesengsaraan dengan membangun rumah beralaskan keramik beratapkan genteng. Rusli tak perlu lagi menatih langkah demi langkah di atas jalan kampung yang baru diaspal setahun lalu. Rusli sudah punya mobil mewah yang mengantarkannya ke tempat relasi bisnis seumur jagung miliknya.

Salman iri dari hati terdalam. Ingin mencabik-cabik waktu supaya berpihak padanya. Dibanding Rusli, Salman sudah puluhan tahun ke hutan. Tak hanya kebun karet. Ke gunung tertinggi di kampungnya sudah didaki, mencari kayu bakar lalu dijual. Nahasnya, menginjak pun tidak apalagi mencangkul batu giok yang menghalangi langkahnya.

Batu giok termahal pastilah tersembunyi di satu sisi. Salman yakin sekali pada firasatnya. Salman adalah pawang hutan. Salman sudah hapal betul jalanan menuju gunung itu. Mungkin saja, dulu batu giok belum tumbuh besar. Mungkin saja, Salman memutar ke lain arah. Mungkin saja, mata Salman tidak jeli. Toh, batu giok baru populer akhir-akhir ini.

Hutan dan gunung sudahlah hapal wajah dan aroma tubuh Salman. Di antara nyanyian pepohonan, alam sedang menendangkan suatu pertanda. Bahasa mereka hanya Salman yang tahu. Ke utara. Ke selatan. Ke barat. Ke timur. Suara itu membisikkan tempat persembunyian batu giok. Bahkan, tidak hanya batu giok saja yang akan Salman dapatkan. Jenis bebatuan tak bernama bisa saja jadi miliknya.

Salman berlari. Memecah sunyi. Menghalau pandangan. Melupakan duri di telapak kaki telanjang. Langkahnya menggapai-gapai angan. Lurus. Berbelok ke kiri. Berbelok ke kanan. Berpacu ke depan. Kembali ke belakang.

Salman ngos-ngosan. Pasti ada. Tidak mungkin menghilang. Tidak mungkin di ambil orang lain.

Hari ketiga pencarian. Setelah meninggalkan anak-istri dalam perut kosong. Salman membangun gubuk di antara dua celah pohon karet. Dindingnya dari potongan kayu sebesar lengan balita. Alasnya dari potongan kayu sebesar paha orang dewasa. Atapnya daun-daun yang ditimbun rapi. Ke depan mendaki. Ke belakang menurun. Ke kiri menanjak. Ke kanan menjurus ke jurang yang menampakkan kampungnya, serta air mengalir dari sungai berliku.

Salman membaringkan diri di dalam gubuk. Matanya menatap langit-langit yang terlihat langit. Satu dua daun di atas itu terbang di bawa angin. Salman tidak menjahit daun-daun itu menggunakan benang dari pelepah kayu. Juga tidak menindihnya dengan potongan kayu.

Angkasa raya sedang bersenandung. Membisikkan bait demi baik yang mengantarkan Salman pada peristirahatan terakhir batu giok. Teka-teki ini harus diselesaikan. Jawaban kata horizontal akan membantu jawaban kata vertikal. Salman menerka-nerka. Di antara potongan-potongan kata pasti tersembunyi satu kata kunci.

 Sebuah teriakan mengusik lamunan Salman. Arah vertikal. Ke depan. Mendaki. Salman mencerna suara penganggu itu. Seharian Salman sudah meronda ke seluruh penjuru, bahkan hampir satu kilometer ke segala arah. Tidak ada tanda-tanda manusia. Namun itu adalah suara teriakan manusia.

Salman melompat dari gubuk yang hampir oleng. Menarik parang. Berlari ke arah suara dengan mata tajam. Tak sampai setengah kilometer langkah Salman terhenti. Orang-orang sedang riang gembira. Berdiri di atas bongkahan batu hijau tua sebesar satu pintu rumahnya. Batu itu seolah-olah bercahaya terang di mata Salman yang kaku.

Mana mungkin mereka menemukannya?

Salman membeku.

Orang-orang itu tidak seorang pun memperhatikannya. Orang-orang itu menghidupkan mesin – entah bernama apa – di depan mata Salman yang merah berair. Orang-orang itu membelah batu yang tak terinjak oleh Salman sekali pun. Orang-orang itu begitu mudah menemukan bongkahan batu sementara Salman berlalu-lalang di sekitarnya.

Salman menjerit.

Orang-orang itu tak peduli. Aungan mesin pembelah batu lebih besar dari pada aungan harimau. Mata orang-orang itu terlampau silau menatap keindahan batu yang sedang dibagi rata. Salman tak terima diperlakukan demikian. Salman sudah menjaga. Dirinya sudah menari-nari di lingkaran yang belum pernah orang-orang itu injak sebelumnya.

Batu itu, giok murni. Sabda alam sudah mengisyaratkan pada Salman bahwa batu giok itu ada dan teruntuk dirinya. Mana mungkin batu giok masih bersembunyi dari pawang hutan? Salman menina-bobokan hutan ini dengan gelak tawa dan tangisan pilu.

Ucapan terima kasih mana yang Salman dapatkan? Orang-orang itu bukan siapa-siapa. Orang-orang itu menginjak-injak harga dirinya sebagai pawang hutan yang mencintai segala keindahannya. Orang-orang itu datang sekali lalu pergi. Orang-orang itu tak pernah mengajak seisi hutan ini berbicara bahkan mengerti nyanyiannya.

Orang-orang itu terus membelah. Pepohonan terayun. Angin semilir menyentuh wajah dengan sentuhan lembut. Salman menunggu keajaiban alam. Hutan ini miliknya. Hutan ini sahabatnya. Saudaranya. Kehidupannya. Tidak mustahil hutan ini membelah orang-orang itu menjadi kepingan tubuh tak bernyawa.

Penantian Salman tak terhitung. Lengan kiri dan kanannya tidak tersemat jam tangan. Desiran angin tidak menandakan waktu berjalan ke angka berapa. Salman tersadar saat bongkahan batu sudah selesai dibelah. Orang-orang itu tertawa lebih girang. Orang-orang itu akan memikul bongkahan batu milik mereka masing-masing. Tak akan ada sisa untuk Salman.

Salman berlari. Menjerit panjang. Suara pukulan diiringi jeritan lain dan tubuh linglung ke tanah bekas bongkahan batu giok berada. Salman berdiri tegak dengan mata menyala. Parang yang terhunus di tangan kanannya memercikkan sisa darah segar. Seonggok tubuh terbujur diam tak bernapas. Orang-orang itu terpana. Seorang teman telah tiada. Menatap Salman penuh amarah.

“Siapa kau?” tanya seorang dari mereka. Bongkahan batu di pundaknya tak juga diletakkan ke tempat semula.

“Kalian siapa?” hardik Salman murka. “Berani-beraninya kalian mengambil giok di sini!”

Tawa membahana.

“Kau pikir, giok ini milik nenek moyangmu?” ledek suara lain. Orang-orang itu kembali tertawa. Terlupa pada satu nyawa yang baru saja hilang.

Salman mengangkat parang. Menghardik ke arah orang-orang rakus itu. Orang-orang itu sudah kebal gertakan, dengan sumringah membentengi diri dengan bongkahan batu giok dari pundak mereka.

“Giok itu milikku!” ujar Salman tak gentar.

“Tidak ada nama kau di sana!”

“Aku menjaga hutan dan seluruh isinya!” bualan Salman kembali menjadi cercaan dari orang-orang itu. Salman tak gentar. Menghunuskan parang berkali-kali. Kesabaran orang-orang itu menghilang saat Salman mengiris pelipis seorang dari mereka. Orang yang pedih di pelipis melempar bongkahan giok ke arah Salman. Seketika, Salman rubuh ke tanah berumput hijau. Parang di tangannya terpelanting jauh. Salman mendesis. Bongkahan batu giok yang menumbuk tubuhnya seolah-olah sangat berat. Salman menjerit dalam hati. Salman seorang pekerja keras. Bongkahan batu giok tidak seberapa. Panjang selengannya, lebar setengah lengannya. Salman harus menyingkirkan bongkahan batu itu sebelum orang-orang itu merapat.

Sebuah pukulan terlebih dahulu mendarat di pipi Salman. Pukulan lain menyusul. Salman digebuk. Beramai-ramai. Kata ampunan tak keluar dari mulut Salman. Hukum alam akan berlaku sebentar lagi. Hutan tak pernah meninggalkan dirinya seorang diri.

Wajah Salman babak-belur. Babak baru akan segera dimulai. Di tengah hutan tak berpenghuni, Salman akan jadi tersangka pembunuhan. Orang-orang itu kabur begitu saja. Meninggalkan Salman bersama tubuh tak bernyawa. Tak ada sebongkah giok tersisa.

Salman tidak meratap. Salman terpingkal dalam sakit di sekujur tubuh. Orang-orang hanya membawa sebagian kecil giok.

Giok?

Mata Salman kembali menyala. Pasti ada di sekitar sini. Di sekitar sana. Di situ. Salman akan mendapatkannya. Salman berlari. Alam baru saja membisikkan persembunyian batu giok sebesar gunung di depan matanya!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun