Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pemburu Giok

20 Oktober 2015   17:07 Diperbarui: 20 Oktober 2015   17:07 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Penantian Salman tak terhitung. Lengan kiri dan kanannya tidak tersemat jam tangan. Desiran angin tidak menandakan waktu berjalan ke angka berapa. Salman tersadar saat bongkahan batu sudah selesai dibelah. Orang-orang itu tertawa lebih girang. Orang-orang itu akan memikul bongkahan batu milik mereka masing-masing. Tak akan ada sisa untuk Salman.

Salman berlari. Menjerit panjang. Suara pukulan diiringi jeritan lain dan tubuh linglung ke tanah bekas bongkahan batu giok berada. Salman berdiri tegak dengan mata menyala. Parang yang terhunus di tangan kanannya memercikkan sisa darah segar. Seonggok tubuh terbujur diam tak bernapas. Orang-orang itu terpana. Seorang teman telah tiada. Menatap Salman penuh amarah.

“Siapa kau?” tanya seorang dari mereka. Bongkahan batu di pundaknya tak juga diletakkan ke tempat semula.

“Kalian siapa?” hardik Salman murka. “Berani-beraninya kalian mengambil giok di sini!”

Tawa membahana.

“Kau pikir, giok ini milik nenek moyangmu?” ledek suara lain. Orang-orang itu kembali tertawa. Terlupa pada satu nyawa yang baru saja hilang.

Salman mengangkat parang. Menghardik ke arah orang-orang rakus itu. Orang-orang itu sudah kebal gertakan, dengan sumringah membentengi diri dengan bongkahan batu giok dari pundak mereka.

“Giok itu milikku!” ujar Salman tak gentar.

“Tidak ada nama kau di sana!”

“Aku menjaga hutan dan seluruh isinya!” bualan Salman kembali menjadi cercaan dari orang-orang itu. Salman tak gentar. Menghunuskan parang berkali-kali. Kesabaran orang-orang itu menghilang saat Salman mengiris pelipis seorang dari mereka. Orang yang pedih di pelipis melempar bongkahan giok ke arah Salman. Seketika, Salman rubuh ke tanah berumput hijau. Parang di tangannya terpelanting jauh. Salman mendesis. Bongkahan batu giok yang menumbuk tubuhnya seolah-olah sangat berat. Salman menjerit dalam hati. Salman seorang pekerja keras. Bongkahan batu giok tidak seberapa. Panjang selengannya, lebar setengah lengannya. Salman harus menyingkirkan bongkahan batu itu sebelum orang-orang itu merapat.

Sebuah pukulan terlebih dahulu mendarat di pipi Salman. Pukulan lain menyusul. Salman digebuk. Beramai-ramai. Kata ampunan tak keluar dari mulut Salman. Hukum alam akan berlaku sebentar lagi. Hutan tak pernah meninggalkan dirinya seorang diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun