Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wa Din

2 Oktober 2015   20:23 Diperbarui: 2 Oktober 2015   20:23 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lelaki tua itu mendayuh sepeda tiap hari. Usainya sudah melewati angka enam puluh. Mungkin enam puluh satu, enam puluh tiga, enam puluh empat, atau malah enam puluh tujuh! Usia boleh saja renta, kedua otot kakinya masih kuat memutar sepeda tak kalah tua dari dirinya. 

Tiap hari lelaki itu meninggalkan istri yang terbaut umur lebih muda dua tahun darinya, di rumah. Sendiri. Pagi buta, begitu azan subuh mengumandang ke seluruh bumi Teuku Umar, lelaki itu sudah bersiul seorang diri di jalanan berembun.

Siulannya kecil saja. Sekadar melatih kembali vocal suaranya. Dulu, dia adalah seorang yang pandai membaca al-Quran. Saban waktu shalat dia selalu menyempatkan diri membaca satu dua ayat menunggu waktu azan tiba. Kini, semua sudah berubah. Semenjak kejadian itu. Sudah tidak sempat lagi ia berkemas ke masjid, lebih awal dari biasanya. Bahkan mengaji lagi seperti biasanya.

***

Orang memanggil lelaki itu Wa Din. Nama yang asing untuk orang yang baru mendengar. Apalagi jika melihat kartu pengenal, tentu bukan Wa Din tertera di sana. Ada nama lain yang lebih bijaksana jika orang sudah menyebutnya.

Lelaki tua itu tidak peduli. Wa Din sudah cukup. Namanya memang bukan Wa Din. Adalah ponakan istrinya memanggilnya Yahwa lalu di singkat Wa yang berarti paman. Jadilah hampir semua orang memanggilnya Yahwa dan Wa saja. Karena banyak sekali Yahwa dan Wa di kampungnya, datanglan Din sebagai gelar berikutnya. Din itu panggilan yang diambil dari nama lengkapnya. Syarifuddin.

Wa Din, tak marah pula pada orang yang memanggilnya demikian. Ia sadar umurnya sudah patut dipanggil dengan panggilan itu. Orang-orang yang memanggil Wa Di kebanyakan orang yang jauh lebih muda darinya. Seperti ponakan istrinya, yang selalu mengantar lauk seminggu sekali, kini umurnya sudah melewati angka dua puluh. Sebentar lagi akan dilamar kekasihnya.

Wa Din melempar senyum. Pada udara pagi yang masih ceria!

***

Lelah Wa Din berdebat dengan putranya. Bahkan ia lebih memilih tak melakukan perdebatan itu sama sekali. Putraya sudah sangat mengerti posisi si tua bangka seperti dirinya. Sebentar lagi akan menjemput maut, jika tak datang maka ia sendiri yang mengejar. Umur sudah tua mana mungkin maut tak datang-datang! Pikir Wa Din kala itu.

Saban hari, Wa Din selalu menasehati putranya. Umur belia putranya masih mendengar. Masih menginjak kaki di masjid sore hari belajar membaca al-Quran. Masih tak perlu dipukul dengan lidi begitu azan Jumat berkumandang. Masih menahan lapar dan haus saat puasa. Masih baik-baik saja. Waktu itu. Waktu yang lama sekali, bagi Wa Din yang sudah lupa nama hari apalagi tanggal! Hanya perhitungan untung rugi yang masih kekal di ingatannya.

***

Bermula di sini. Hujan lebat. Badai menyapu atap rumbia rumah mereka. Langit semakin gelap. Derasnya hujan meluncur tanpa penghalang ke dalam rumah petak dua kamar, beralas semen kasar, dinding kayu sudah bolong-bolong di makan rayap, dan atap rumbia yang sudah berubah warna kecoklatan tua!

 Wa Din hanya mempunyai seorang putra. Jamhur. Putra yang sudah sangat lama ia tunggu. Menikah di umur dua puluh satu, baru di umur dua tujuh istrinya mengandung. Penantian panjang baginya yang gagah di masa muda. Badanya tegap. Dadanya bidang. Rahangnya kokoh. Kakinya kuat. Bahunya sanggup memikul beban berat. Lelaki jantan adalah dirinya di masa muda!

Menikah saat umur masih muda, tak lain tujuannya agar keturunannya banyak. Namun harapannya kian menipis saat usia perkawinan semakin berjalan cepat. Istrinya tak juga mengandung. Berbagai upaya dilakukan Wa Din muda. Tak juga berbuah hasil. Baru saat kepasrahan hingga putus asa melanda, ia menerima kabar istrinya hamil.

Antara senang dan terharu, Wa Din menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut anak pertamanya di usia pernikahan ke enam tahun. Penantian yang sungguh lama, temannya yang lain baru dua bulan menikah langsung menerima kabar bahagia itu.

Wa Din tak mau ambil pusing lagi. Ia tetap bahagia. Harapan sudah terbuka, umurnya pun masih muda. Anak pertama lahir, ia akan bertempur lagi agar anak kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, sampai selusin pun akan ada untuk menemani hidupnya!

Wa Din sumringah. Anak pertamanya putra, diberi nama Jamhur. Jamhur terus berkembang menjadi laki-laki gagah seperti dirinya. Tahun-tahun terlewati, istrinya tak juga mengandung lagi. Usia jamhur tak lagi muda, saat usia putranya di usia yang sama saat ia menikah, Wa Din sadar bahwa ia tak akan punya harapan mempunyai keturunan lagi.

Pada usia itu pula, Jamhur berubah. Bertingkah aneh. Merengek. Merajuk. Merayu. Mendayu. Dan lupa pada si tua Wa Din!

Inilah saatnya, hujan masih lebat, angin masih kencang. Sesekali petir. Menyetrum dan menyayat hati Wa Din yang terduduk diam ditemani istri yang sama renta seperti dirinya.

Jamhur mulai membentak!

Wa Din terdiam. Antara petir dan kilat seakan suara Jamhur masih bayi, seperti isak tangis. Wa Din tak punya harta lain selain Jamhur. Dia satu-satunya pertama yang dikasih Tuhan untuk dirinya.

Jamhur duduk di antara atap bocor. Tidak menoleh pada kedua orang tuanya. Matanya memerah. Menyala-nyala. Petir menyambar, raut wajah Jamhur membekas merah padam.

Jamhur sudah tak sabar rupanya. Dia makin membuat tingkah, bahwa dirinya adalah segala bagi Wa Din. Apapun yang dimintanya akan dikasih. Wa Din rela menukar nyawa untuk putra satu-satunya. Jamhur tahu hal itu. Penantian Wa Din akan kelahiran seorang anak begitu panjang, tak mungkin Wa Din sukar memenuhi keinginannya.

“Besok, saya sudah harus punya motor!”

Wa Din menunduk. Di alas kasar tak bermarmer sudah mulai dipenuhi air hujan. Jika bocor atap itu tak dibenahi, malam ini Wa Din dan istri tak tahu tidur di mana. Jamhur tak pernah tidur lagi di rumah semenjak usianya melewati tujuh belas. Jamhur lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Di kantor pos ronda, balai desa, musalla tua dan usang tak terpakai lagi, jangan harap ke masjid, hanya sesekali saja di hari Jumat. Tidak rutin setiap minggu.

Wa Din mendesah. Ia tidak salah mendidik Jamhur sejak kecil. Seperti tradisi kampung dan Aceh. Jamhur sudah diajarkan sopan santun sesuai ajaran yang benar, sudah dikasih tahu baik buruk, halal haram, shalat, puasa, zakat dan mengaji. Semua sudah diajarkan. Tak ada yang luput dari pandangan Wa Din. Pendidikan agama sangat penting untuk bekal Jamhur, namun putranya sudah berubah. Sejak usianya baligh dan sudah banyak mengenal teman.

Wa Din tak akan mengeluh. Itulah sifatnya. Wa Din hanya diam saja. Ternyata, Tuhan masih sangat sayang padanya, hanya diberikan satu anak saja, bayangkan jika sampai selusin, Wa Din tak akan sanggup membimbing ke jalan yang benar.

Hujan tinggal gerimis, Jamhur berdiri.

“Besok, saat saya pulang, Bapak sudah harus ada uang beli motor!”

Bayang Jamhur hilang ditelan malam yang tak lagi berpetir. Gelap. Meninggalkan Wa Din bersama istri, ibunya sendiri.

Dalam remang, tak ada pembicaraan, Wa Din berdiri, lampu minyak di sudut ruang keluarga tak bersofa itu menyala tak gairah. Wa Din berjalan ke belakang rumah, ada sisa daun rumbia kering di sana, paling tidak cukup untuk menambal atap yang bocor. Agar istrinya bisa tidur nyenyak malam ini.

Dalam syahdu malam, udara dingin menggigit kulit, Wa Din tak berkata apa-apa mengenai permintaan Jamhur pada istrinya. Wa Din hanya akan menambah beban perempuan yang sudah melahirkan Jamhur dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih itu.

Besok adalah besok, tak perlu dipikirkan apa yang terjadi!

***

Motor sudah dibeli, sangat lama sekali. Keinginan Jamhur semua terpenuhi termasuk menikahinya dengan gadis tetangga di usia kedua lima. Begitu hari pernikahan berlalu, Jamhur ikut bersama istri tinggal di rumah mertua. Tak ada perpisahan dengan ibunya. Tak ada pula sedikit rupiah ditinggal. Semua dibawa pergi bersama raganya.

Acara pesta pernikahan yang digelar, menghabiskan harta benda Wa Din. Jamhur meminta demikian, tuntutannya agar semua harta Wa Din dijual dan dibuat acara pernikahan dengan mewah. Karena calon istrinya orang kaya, dia pun harus ikut jadi orang kaya, jika tidak Jamhur akan malu!

Wa Din menuruti permintaan Jamhur. Dia adalah anak satu-satunya.

Acara selesai. Harta pun tergadai. Tinggal sepetak tanah tempat berdiri rumah beratap rumbia yang masih saja bocor jika hujan. Dan Jamhur, sudah bahagia bersama istri di rumah mertua yang megah. Mertuanya yang baik hati dan kaya, memberikan modal untuk Jamhur yang pandai menjilat. Jamhur yang banyak pergaulan berhasil membangun sebuah minimarket. Jamhur si anak Wa Din, si miskin itu sudah kaya sekarang!

***

Datanglah Jamhur ke rumah orang tuanya. Wa Din sudah siap menuju masjid. Sebentar lagi waktu magrib tiba.

Bukannya bertanya kabar, bukan pula menyalami tangan ibu dan bapaknya, Jamhur langsung membabi-buta!

“Saya tak mau lagi mendengar omongan orang, Pak!”

Wa Din tertegun. Belum mengerti maksud kedatangan putranya.

“Orang-orang banyak menghujat Bapak di belakang saya! Bapak sudah tua, bukannya beribadah di rumah saja, ini malah ke masjid dan ngaji dengan suara gemetar tak jelas!”

Wa Din tak membantah. Mungkin Jamhur ada benarnya.

“Kita tinggal tak jauh, dari rumah saya di kampung seberang masih terdengar suara cempreng Bapak mengaji! Tak enak saya dengar, apalagi kalau orang lain mendengar pula! Bikin malu saya saja!”

Wa Din memadang Jamhur lekat-lekat. Jamhur malah melotot.

“Pokoknya, mulai hari ini Bapak di rumah saja! Tak perlu repot-repot mengaji dan azan di masjid, masih ada anak muda yang mau melakukan itu!”

Jamhur menghambur keluar. Meninggalkan Wa Din tertegun. Wa Din tak bisa membantah, tak bisa juga berbuat apa-apa.

Jamhur putranya, hanya dia yang Wa Din punya!

***

Wa Din tak lagi ke masjid. Di rumah saja. Hanya hari Jumat ia ke sana, pun tidak lagi mengaji.

Hari berlalu, Wa Din tak lagi mengaji di masjid, tak ada pula yang menganti. Azan pun kadang ada kadang tak ada.

***

Sepeda Wa Din bergerak pelan. Hari ini sangat mendung. Musim hujan belum berakhir rupanya.

Gerimis datang.

Wa Din mengambil jas hujan. Memakainya. Hari ini sial sekali hidupnya, hanya seperempat dagangannya laku. Mungkin karena hujan. Mana ada orang beli jeruk bali segitu banyak.

Wa Din bersiul. Tanpa sadar di sampingnya ada genangan air, ia membelok, sebuah kendaraan pribadi melintas. Tak bisa dihindari jipratan air itu mengenai wajah Wa Din.

Lelaki tua itu memaki. Baru kali ini dia terbawa emosi.

Orang kaya, sombong sekali kau! Tak tahu hartamu milik-Nya!

***

Dari dalam kendaraan pribadi itu, lelaki gagah berbadan tegap bersama istri dan anaknya juga mencaci-maki pengendara sepeda tua.

“Sudah tua masih saja bekerja cari uang! Ke mana anaknya tak peduli orang tua?”

Lelaki itu, Jamhur, menancap gas kendaraan mewahnya dengan sangat kencang.

Hujan makin deras.

Di belakang Jamhur, Wa Din – bapaknya – mendayuh sepeda pelan-pelan. Berharap rumahnya tak jauh lain!

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun