Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Profesor Haji

23 September 2015   20:45 Diperbarui: 23 September 2015   20:45 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sunyi yang melabuhkan rindu.

Rasman berdiri di ambang pintu. Malam kian berderit. Nyanyian bersenandung dari dahan pohon rumbia di belakang rumahnya. Telah lama sekali ia menikmati kesyahduan alam ini. Hawa menggelora yang menggetarkan nada-nada cinta dalam dirinya. Ia telah melayang tinggi. Ke puncak menara tak bernama dan tak bertuan. Ia menyaksikan kain-kain putih beterbangan. Mungkin saja membawa harapan, bisa juga karena angin terlalu kencang.

Pada biduk yang meliuk asa itu. Rasman menaruh harap. Oh, bukanlah semata khayalan atau mimpi. Ia bersemangat menggapai tujuan karena mata memandang penuh iri dari orang lain. Kemenangan untuknya semata-mata ia dapat karena pandangan berbeda di sekitar nyawanya terkembang.

Rasman meraih cita-cita. Ia bersikap layaknya anak kecil yang mengimpikan mainan baru. Ia pamerkan kepada semua khayalak. Bahwa dirinya yang mampu mendapatkan mainan tersebut. Ia merasa tidak goyah atau terhina dengan ucapan orang lain. Ia merasa setiap omongan adalah motivasi untuk meluruskan yang benar dalam dirinya.

Ibarat cobaan, Rasman merasa itulah masanya. Silih berganti orang memandangnya iri. Berpacu dalam waktu orang menyela keinginannya. Ia tak habis pikir dengan ucapan demi ucapan. Ia tak terkendali pula untuk memamerkan kekuasaan dirinya.

Ke mana-mana ia berkata, “Menuntut ilmu itu wajib!”

Di lain kesempatan ia pula menyuarakan dengan tegas, “Menunaikan ibadah haji wajib bagi yang mampu!”

Namun Rasman alpa. Ia terus mengejar cita-cita. Harta dan tahta ia raih dalam sekejap mata. Tiap Jumat ia berkhotbah di masjid-masjid berbeda. Mendengungkan keagungan ilahi. Mendendangkan ayat-ayat tentang haji tatkala musim haji tiba. Meneriaki orang-orang berharta untuk segera menunaikan ibadah haji. Padahal, dirinya sendiri belum melangkah ke tanah suci.

Khotbahnya tak berhenti sampai di mimbar Jumat. Di warung kopi kampung sebelah, hampir tiap malam ia bercakap-cakap hingga larut. Rasman menjelaskan secara detail pengetahuannya mengenai haji. Orang-orang yang awam – kebanyakan tak sekolah – menyimak dengan saksama ceramah agama. Rasman semakin menggelora. Sesekali ia berucap, “Saya sedang menempuh pendidikan tinggi di Kota!”

Rasman tak pernah berhenti menceritakan mengenai hajar aswad di dalam kabah, kemegahan Masjidil Haram, kemewahan Masjid Nabawi, orang-orang yang berlari kecil antara bukit Safa dan Marwah, tangan-tangan yang melempar batu, dan semua rukun serta syarat haji lainnya. Tiap malam Rasman duduk di warung kopi, tiap malam pula ia menceritakan hal yang sama. Berulang kali pula ia berucap dengan makna yang sama sambil tertawa kecil, “Sebentar lagi saya selesai pendidikan tinggi di Kota!”

Jika mendengar penjelasan haji dari Rasman, benarlah adanya jikalau ia telah menunaikan ibadah wajib tersebut. Ceritanya tak pernah terpenggal. Ia menceritakan sekonyong-konyong telah berhaji puluhan kali. Seakan-akan Rasman paham betul letak koordinat utara, selatan, barat dan timur di tanah Arab. Sepertinya, Rasman paham benar toko-toko penjual aksesoris di Mekkah maupun Madinah. Padahal, langkah kaki Rasman belum pernah tersentuh di bandar udara Jeddah sekalipun. Dan di akhir cerita, Rasman akan menambahkan, “Tak lama lagi saya akan menerima gelar profesor!”

Orang-orang terkagum. Entah karena bodoh. Entah karena tak mau tahu. Entah karena pura-pura tuli. Entah karena sudah tahu ucapan cerita pengantar tidur dari Rasman.

Di malam berikutnya, saat Rasman menceritakan hal serupa, orang-orang juga mendengarnya. Karena tak ada orang lain yang pandai menceritakan banyak ilmu agama selain Rasman. Di sana pula, hanya Rasman seorang saja yang menempuh pendidikan tinggi. Katanya akan mendapat gelar profesor. Walaupun, Rasman kuliah ke Kota pada hari Sabtu dan Minggu saja. Orang-orang di warung kopi tetap tak mengambil tanya, karena mereka tidak tahu soal itu, juga karena mereka tak berani menyanggah omongan Rasman.

“Mana kau tahu, kau tidak sekolah setinggi aku!” begitu kilah Rasman saat ada suara bising di dekatnya.

Cerita Rasman selalu mengenai haji. Seakan-akan ia paham betul bagaimana cara melunasi dana pembayaran haji. Ia menjelaskan seluk-beluk pembayaran haji kepada orang-orang. Ia mengatakan betapa rumitnya mengurus haji kepada orang-orang. Ia mengatakan kenal si ini dan si itu yang bisa meluruskan orang yang ingin menunaikan ibadah haji. Di akhir cerita ia mengulang, “Aku selesaikan profesor terlebih dahulu, haji itu tak pandang umur!”

Di lain waktu, Rasman mengatakan kenal dengan petugas haji dari kampung sebelah. Tak lama setelah itu ia mengatakan mengetahui tata cara manasik haji. Bahkan, ia pernah mengikutinya untuk coba-coba. Seperti biasa, di akhir cerita ia mengatakan, “Aku tak mau membuang waktu meraih profesor selagi muda!”

Tak hanya di warung kopi saja Rasman bercakap banyak. Di dalam rumah, ia pun demikian. Istri dan anaknya meraung dalam gelap. Istrinya meratap sedih. Anaknya menyendiri.

Rasman sering berujar, “Minta saja uang jajan pada ibu kau itu!”

Pada istrinya, Rasman berucap, “Belilah kebutuhan rumah tangga ini dengan gaji kau itu!”

Karena gaji Rasman tak pernah lagi keluar serupiah saja semenjak dirinya mengejar profesor. Pulang pergi ke Kota dalam jarang lima jam perjalanan darat, membuat tabungan Rasman berkurang dengan cepat. Gajinya sebagai guru pegawai negeri sudah tak cukup menampung semua kebutuhan ini dan itu. Pendidikan doktoral yang telah selesai belum terasa cukup sebelum profesor tersemat di depan namanya. Gaji tambahan dari perguruan tinggi swasta tempatnya mengajar sore juga tak bisa menambal kebolongan di sana-sini.

Istrinya, sebagai guru pegawai negeri harus menambal bolong-bolong di tubuh suaminya yang penuh gengsi.

Rasman tak pernah mau mendengar kata tidak ada. Setiap kali ia membutuhkan, pada masa itu pula semua harus tersedia. Wewenang pendidikan anaknya ia limpahkan kepada istri. Ia tak akan melepaskan cita-cita yang sebentar lagi akan tercapai.

“Kapan abang melunasi biaya haji?” tanya istri Rasman malam itu.

“Nantilah. Kau tak tahu aku sedang fokus pada penelitian profesor?”

Profesor itu milik dunia, sedangkan haji tidak demikian…,”

“Banyak kali cakap kau. Kau cuma lulus sarjana, aku sebentar lagi akan dapat profesor. Seharusnya kau bangga punya suami hebat macam aku ini!”

Haji itu lebih wajib…,”

“Aku lebih paham soal itu. Kau pun cuma pelajari dan mengajar ilmu hitung. Aku ini mempelajari dan mengajari ilmu agama sejak jadi guru sampai dosen. Apa yang aku tak bisa? Aku bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, aku bisa mengartikan al-Quran dengan benar, aku memahami isi kandungan al-Quran dan hadits, aku tahu betul ajaran agama karena telah kumakan sampai habis semua itu!” Rasman berkacak pinggang. “Soal haji itu, aku sudah hapal di luar kepala tata cara pelaksanaannya,”

“Abang kan belum menunaikannya,”

“Panggilan haji itu telah ada, aku saja belum sempat mengerjakannya. Sampai di tanah suci, aku sudah tahu ibadah apa saja dan tempat pelaksanaannya. Kau tak perlu ragu!”

“Apakah abang akan membawa kami serta jika menunaikan haji?”

“Oh tidak! Kau lunasi sendiri biaya haji itu. Kau sudah tahu biaya kuliah sampai mendapat profesor sering tak cukup. Aku wajib melakukan penelitian dan membuat karya ilmiah dengan bagus supaya cepat mendapat profesor,”

“Kami belum mampu melunasinya,” istri Rasman menggigit bibir. Pikirannya menari-nari akan biaya pendidikan anak mereka dan kebutuhan rumah tangga yang diabaikan Rasman.

“Kau sabarlah kalau begitu,”

“Kenapa tidak abang tunaikan haji terlebih dahulu, lalu menunaikan haji kami sekalian,”

“Aku fokus dulu ke penelitian ini,”

“Penelitian abang tentang haji, alangkah baiknya jika dipraktikkan langsung,”

“Ilmu haji yang kumiliki telah cukup. Tak perlu buang-buang uang penelitian ke tanah suci. Orang-orang yang telah pulang dari sana cukup sebagai sampel penelitian ini. Lagi pula, masa tunggu haji itu bertahun-tahun, tak akan dapat gelar profesor itu lagi nanti!”

Istri Rasman tak lagi berkutik. Rasman mengacungkan tangan. Tanda bahwa dirinya tak lagi mau diganggu.

Malam semakin larut. Besok wukuf di Arafah. Salat hari raya sudah lebih dari cukup bagi yang tak mampu ke Padang Arafah.

Di pagi yang begitu cerah. Takbir berkumandang. Rasman berkemas dengan rapi karena ia akan menjadi khatib di kampungnya sendiri.

Berdirilah Rasman di atas mimbar setelah salat hari raya. Rasman berapi-api menerangkan perjalanan Ibrahim dan Ismail. Di akhir khotbah, Rasman menambahkan jurus ampuh, ia terlupa posisinya sebagai khatib, bukan penceramah di warung kopi.

“Sebentar lagi saya akan menjadi profesor!”

Rasman lupa mengucap salam penutup khutbah.

Rindu tak lagi menggetarkan hatinya…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun