“Kau sabarlah kalau begitu,”
“Kenapa tidak abang tunaikan haji terlebih dahulu, lalu menunaikan haji kami sekalian,”
“Aku fokus dulu ke penelitian ini,”
“Penelitian abang tentang haji, alangkah baiknya jika dipraktikkan langsung,”
“Ilmu haji yang kumiliki telah cukup. Tak perlu buang-buang uang penelitian ke tanah suci. Orang-orang yang telah pulang dari sana cukup sebagai sampel penelitian ini. Lagi pula, masa tunggu haji itu bertahun-tahun, tak akan dapat gelar profesor itu lagi nanti!”
Istri Rasman tak lagi berkutik. Rasman mengacungkan tangan. Tanda bahwa dirinya tak lagi mau diganggu.
Malam semakin larut. Besok wukuf di Arafah. Salat hari raya sudah lebih dari cukup bagi yang tak mampu ke Padang Arafah.
Di pagi yang begitu cerah. Takbir berkumandang. Rasman berkemas dengan rapi karena ia akan menjadi khatib di kampungnya sendiri.
Berdirilah Rasman di atas mimbar setelah salat hari raya. Rasman berapi-api menerangkan perjalanan Ibrahim dan Ismail. Di akhir khotbah, Rasman menambahkan jurus ampuh, ia terlupa posisinya sebagai khatib, bukan penceramah di warung kopi.
“Sebentar lagi saya akan menjadi profesor!”
Rasman lupa mengucap salam penutup khutbah.