Orang-orang terkagum. Entah karena bodoh. Entah karena tak mau tahu. Entah karena pura-pura tuli. Entah karena sudah tahu ucapan cerita pengantar tidur dari Rasman.
Di malam berikutnya, saat Rasman menceritakan hal serupa, orang-orang juga mendengarnya. Karena tak ada orang lain yang pandai menceritakan banyak ilmu agama selain Rasman. Di sana pula, hanya Rasman seorang saja yang menempuh pendidikan tinggi. Katanya akan mendapat gelar profesor. Walaupun, Rasman kuliah ke Kota pada hari Sabtu dan Minggu saja. Orang-orang di warung kopi tetap tak mengambil tanya, karena mereka tidak tahu soal itu, juga karena mereka tak berani menyanggah omongan Rasman.
“Mana kau tahu, kau tidak sekolah setinggi aku!” begitu kilah Rasman saat ada suara bising di dekatnya.
Cerita Rasman selalu mengenai haji. Seakan-akan ia paham betul bagaimana cara melunasi dana pembayaran haji. Ia menjelaskan seluk-beluk pembayaran haji kepada orang-orang. Ia mengatakan betapa rumitnya mengurus haji kepada orang-orang. Ia mengatakan kenal si ini dan si itu yang bisa meluruskan orang yang ingin menunaikan ibadah haji. Di akhir cerita ia mengulang, “Aku selesaikan profesor terlebih dahulu, haji itu tak pandang umur!”
Di lain waktu, Rasman mengatakan kenal dengan petugas haji dari kampung sebelah. Tak lama setelah itu ia mengatakan mengetahui tata cara manasik haji. Bahkan, ia pernah mengikutinya untuk coba-coba. Seperti biasa, di akhir cerita ia mengatakan, “Aku tak mau membuang waktu meraih profesor selagi muda!”
Tak hanya di warung kopi saja Rasman bercakap banyak. Di dalam rumah, ia pun demikian. Istri dan anaknya meraung dalam gelap. Istrinya meratap sedih. Anaknya menyendiri.
Rasman sering berujar, “Minta saja uang jajan pada ibu kau itu!”
Pada istrinya, Rasman berucap, “Belilah kebutuhan rumah tangga ini dengan gaji kau itu!”
Karena gaji Rasman tak pernah lagi keluar serupiah saja semenjak dirinya mengejar profesor. Pulang pergi ke Kota dalam jarang lima jam perjalanan darat, membuat tabungan Rasman berkurang dengan cepat. Gajinya sebagai guru pegawai negeri sudah tak cukup menampung semua kebutuhan ini dan itu. Pendidikan doktoral yang telah selesai belum terasa cukup sebelum profesor tersemat di depan namanya. Gaji tambahan dari perguruan tinggi swasta tempatnya mengajar sore juga tak bisa menambal kebolongan di sana-sini.
Istrinya, sebagai guru pegawai negeri harus menambal bolong-bolong di tubuh suaminya yang penuh gengsi.
Rasman tak pernah mau mendengar kata tidak ada. Setiap kali ia membutuhkan, pada masa itu pula semua harus tersedia. Wewenang pendidikan anaknya ia limpahkan kepada istri. Ia tak akan melepaskan cita-cita yang sebentar lagi akan tercapai.