Nomor Peserta 42...
***
“Ya Tuhan!”
Ia bersimpuh di atas panggung. Matanya berkunang-kunang. Bibirnya kelu. Lidahnya kaku. Tak ada suara yang dapat ia keluarkan. Ia hanya mampu memainkan koreografi yang itu pun lupa-lupa ingat, ingat-ingat lupa gerakannya, apakah ke kiri, ke kanan, ke belakang, ke depan, ke mana-mana. Ia kalut. Kalang-kabut. Mau nangis, airmata tak kunjung keluar. Mau berteriak, itu bukan lirik yang sebenarnya. Mau meminta pertolongan, itu pun entah kepada siapa ia memintanya. Aungan penonton semakin membuatnya patah arah. Ia merintih dalam hati. Ke mana akan ia bawa rasa malu ini. Tidak mungkin ia simpan percuma jika semua orang menertawakannya.
Nggak mungkin ini terjadi padaku!
Bentaknya dalam hati. Lagu ini pun kenapa pula terlalu rumit. Kenapa pula pencipta lagu ini tidak mengulang lirik di bagian kedua, ketiga atau keempat. Kenapa pula ia harus menyanyinya lagu yang mempunyai lirik berbeda di tiap bait dari awal sampai akhir. Kenapa pula ia menerima tawaran juri menyanyikan lagu ini. Kenapa pula ia mengikuti ajang pencarian bakat ini!
Ini sudah keterlaluan. Ia tidak pernah terpikir akan terpikat dengan malu. Rasa yang enggan dibuang karena datang tiba-tiba. Ia berpikir, hanya berpikir saja bahwa ia akan terkenal berkat ajang pencarian bakat ini. Ia akan mempunyai penggemar. Ia akan banyak tawaran bernyanyi on air dan off air. Ia akan banyak uang. Ia akan kaya raya!
Ia harus mengubah persepsi itu. Jika anggapan ini terus tersarang dalam dirinya, ia tak bisa kembali ke alam nyata. Ke atas panggung gemerlap lampu. Di depan empat orang juri. Di hadapan ribuan mata memandang dari tribun gedung ini maupun dari televisi di rumah-rumah mereka.
Betapa memalukan. Mimpi apa ia semalam sampai begini sialnya.
“Oh….,”