Â
Senja ini masih sama seperti yang sudah. Suara bising terdengar sampai ke radius beberapa meter. Suara itu telah menghilangkan hening jadi gaduh di saat orang-orang tekun pada lelah. Saat orang-orang berhambur ke tempat peribadatan. Saat orang-orang baru pulang dari segenap penat. Saat suara-suara lain terdiam menunggu nafas kembali tertata dengan rapi. Saat semua raga menyentuh dinginnya air di pancuran.
Di saat itu pula suara-suara itu mulai gemuruh!
Awal mula masalah ini saat Hakim menjelma jadi manusia kaya. Memang tidak ada yang pungkiri hal tersebut. Hakim mendadak kaya raya. Hakim semula hanya seorang penarik karet di hutan belantara, sama seperti warga kampung lain. Baru setahun belakangan Hakim berubah. Ulahnya pun berbeda. Sifat alimnya sudah berkurang. Sifat pendiamnya jadi tak bersahabat; berulang kali Hakim mencemooh orang-orang di sekelilingnya.
Hakim menjadi sangat angkuh pada teguran orang padanya. Hakim sudah menjadi bos, sikapnya ikut-ikutan jadi atasan. Entah dapat modal dari mana, tiba-tiba saja Hakim menjadi tauke karet. Hakim membeli karet dengan harga lebih tinggi dari orang lain. Tak perlu waktu lama, Hakim menjadi tauke kesayangan. Banyak orang yang menjual hasil panen karet kepada Hakim. Tak tanggung-tanggung, Hakim memberi bonus untuk mereka yang rajin menjual karet kepadanya.
Hakim terbahak. Impiannya sudah tercapai. Hakim tidak lagi miskin. Sudah saatnya berpesta foya!
Rumah Hakim sudah megah. Rumah kayu kini berubah bata dengan warna putih menggilap. Atap rumbia menjadi seng putih belum berubah menjadi kecoklatan. Lantai semen kasar jadi keramik berwarna putih susu. Gorden transparan berganti warna-warni dan lebih pekat. Teras yang tak pernah ada sudah berubah menjadi luas dengan sebuah mobil pribadi terparkir di sana. Ruang tamu yang tak pernah terisi kursi apa-apa, kini sudah terduduk sofa keemasan dengan bantal sebagai penghias. Dapur yang dulu hanya dihiasi kompor minyak tanah, sudah berubah dengan ruangan serba berkecukupan, mulai dari kompor gas, lemari es, lemari peralatan dapur, sampai meja makan berlapis alas dengan corak bunga mawar besar. Ruang keluarga yang dulu hanya impian keluarga Hakim, sekarang dibangun sangat luas agar bisa menampung seisi keluarga yang ramai. Dan dari sinilah seluruh anggota keluarga berkumpul.
Hakim sudah mulai duduk-duduk tersenyum senang di rumahnya, waktu muda yang lebih banyak ia habiskan dengan menarik karet sampai keluar getahnya dalam masa tunggu sampai seminggu, sudah dibuang Hakim jauh-jauh. Kakinya tak akan pernah penat lagi berjalan ke hutan dengan jarak lebih kurang hampir dua kilometer dari rumahnya. Badan Hakim tidak akan pernah kusut lagi di siang hari, berbau getah karet yang tak ada tandingannya sebelum dicuci dengan sabun bermerek murahan. Hakim sudah bisa menyimpan langkah demi langkah kakinya saat keluar rumah, karena Hakim sudah punya kendaraan pribadi. Jika dulu sepeda motor satu saja tak sanggup Hakim beli, sekarang mulai dari mobil pribadi sampai sebuah truk pengangkut karet ke Medan sudah dimiliki. Jika dulu Hakim jadi anak buah, sekarang Hakim malah memerintah. Dunia memang sangat cepat berputar dalam hidup Hakim. Hakim sangat yakin, bahkan dari dulu Hakim sudah percaya Tuhan tidak akan menyia-nyiakan usahanya!
***
Azan berkumandang Hakim sudah berdiri di saf terdepan. Tak jarang pula Hakim yang mengumandangkan Azan. Hakim menjadi imam shalat. Hakim menjadi makmum. Hakim menempati semua posisi di dalam masjid. Hakim punya kuasa karena sejak kecil sudah mengaji dan belajar agama. Orang-orang kampung juga tidak meragukan ketaatan Hakim pada agama.
Hakim tak hanya pintar dalam agama, Hakim juga sangat pandai bergaul. Di mana-mana orang mengenal Hakim sebagai pencerita ulung, paham kaidah-kaidah kitab gundul dan bisa menjelaskan maksud dengan benar. Hakim pun disegani kawan bahkan lawan. Dan selama itu, Hakim tak pernah punya lawan. Hakim selalu berjalan di atas hal yang benar. Hakim dipercaya sebagai orang tua kampung, jabatan yang tak pernah ada kini disandang di pundaknya. Hakim melenggang dengan pasti ke seluruh penjuru kampung.
Selama jabatan tertua diembannya, Hakim semakin taat kepada agama. Lima waktu ibadah Hakim tunaikan di masjid yang selalu sepi. Masjid yang dulu tak diisi dengan kegiatan apa-apa semakin semarak semenjak Hakim memegang amanah kampung. Pengajian anak-anak sampai remaja dibangun kembali sejak mati sepuluh tahun terakhir. Suara-suara bising anak-anak dan remaja mengaji sering terdengar di masjid dari habis ashar sampai menjelang senja tiap Senin, Rabu dan Jumat. Hakim sendiri mengajari anak-anak dan remaja ditemani tiga orang guru lain secara sukarela.
Sepulang dari hutan, membawa harapan penghasilan Hakim menyempatkan diri istirahat sejenak. Setelah lelah kabur dari pelupuk matanya Hakim menunggu langkah-langkah kecil merapat ke masjid. Di awal pengajian tersebut berjalan lancar, Hakim tak pernah meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya. Setahun berjalan pengajian mulai hilang gaungnya, satu persatu anak-anak dan remaja menghilang. Yang laki-laki memilih main bola di lapangan kampung, yang perempuan memilih nonton televisi dengan berbagai acara tak mendidik.
Hakim sendiri juga sesekali menghilang, tiga guru lain ikut-ikutan absen. Sebagian anak-anak dan remaja yang masih rajin tetap menunggu di teras masjid. Begitu matahari mulai tenggelam, guru tak ada yang datang, dengan raut wajah lesu anak-anak tersebut pulang membawa tanya akan guru mereka. Sampai akhirnya pengajian itu tutup kembali, pemangku kebijakan di kampung juga tidak ada yang peduli. Dan Hakim, pergi pagi pulang malam hari. Bukan ke hutan menarik karet, tidak ada yang tahu tujuan Hakim selain dirinya sendiri.
***
Tiba-tiba saja Hakim sudah membeli karet hasil panen warga. Banyak tanda tanya. Banyak pula yang diam. Tak ada yang berani mengajukan pertanyaan kepada Hakim. Warga kampung lebih memilih menjual karet hasil lelah mereka kepada Hakim dengan harga lebih mahal. Hakim tidak memerlukan waktu yang lama menaikkan nama baiknya menjadi tauke ternama. Tauke Hakim melekat pada pundaknya sampai ke kampung-kampung tetangga. Orang-orang berdatangan ke rumah Hakim, jarang yang bersilaturahmi selain meminta pinjaman. Tauke-tauke lain kian geram dengan kematangan hidup Hakim. Tauke-tauke lain jadi miskin orang yang menjual karet. Hakim makin disayang, Hakim makin dicerca.
Hakim terus bergerak cepat dalam angan yang selama ini dibangun sendiri. Usaha Hakim berbuah manis saat rumah dan harta benda tertata sejajar dalam jajaran matanya. Hakim tidak perlu menggais sendu pada tauke Majid di setiap dua hari sekali saat hasil panen karet tak ada. Hakim malah menjadi tauke besar dibandingkan tauke Majid. Hutang-hutang Hakim pada tauke Majid tertunailah sudah. Tauke Majid makin sekarat, tauke Majid yang tak pernah mau membeli karet warga dengan harga lebih mahal dari tauke kampung sebelah kini tinggal nama. Orang-orang berdatangan ke rumah Hakim, meminta pinjaman dan bisa dianggap lunas saat hasil panen.
Hakim tinggal menunggu orang ke rumah menawarkan hasil panen, kerjanya sekarang hanya bermain dengan angka-angka. Waktu dilalui Hakim semakin cepat. Tidak ada lagi waktu untuk istirahat sebelum pembukuan selesai. Hutang piutang harus dibuat catatan berwarna merah, kalau tidak Hakim akan rugi besar. Pemasukan demi pemasukan langsung ditulis besar-besar sebelum disimpan dengan nyaman di bank. Upah pekerja selalu dipenuhi di awal bulan agar mereka sejahtera. Hakim hanya memperkerjakan tiga orang saja, sopir dan kernek truk pengangkut karet ke Medan dan satu orang penjaga kolam karet di belakang rumah. Biar Hakim murah hati kepada pekerjanya, Hakim tetap terkenal tauke baru yang angkuh.
Hakim yang dulu sering duduk bersama pemuda lain sudah tidak pernah menampakkan diri lagi di antara mereka. Hakim yang dulu sering ikut rapat di balai kampung tidak pernah tahu menahu urusan kampung mereka. Hakim yang dulu dikenal guru mengaji sekarang sudah lupa tata cara mengajarkan agama kepada anak-anak dan remaja.
Hakim sudah tidak ada waktu lagi untuk itu. Bagi Hakim, waktu yang diberikan sekarang adalah untuk mencari nafkah!
***
 Sehari-hari Hakim bekerja di rumah saja. Kulit yang dulu hitam pekat kini hampir kuning langsat. Badan yang dulu sering bau kini berubah wangi semerbak kasturi. Suara yang dulu hilang di antara kerumun anak-anak mengaji sekarang terdengar sering membentak di telepon genggam. Entah siapa yang dimarahi, mungkin saja rekan kerja atau sopir dan kernek yang sering salah perhitungan sesampai ke pabrik besar di Medan.
Hakim pun kerap menjalani perjalanan ke Medan bersama kedua anak buahnya itu. Perjalanan Hakim bisa sampai berminggu-minggu sebelum pulang dengan uang berlimpah. Anak istri bahagia dengan kekayaan Hakim. Anak istri duduk menunggu kepulangan Hakim di rumah. Anak istri sering mendapat hadiah baju baru. Anak istri makan enak di depan televisi dengan suara keras. Itulah pekerjaan baru keluarga Hakim.
Saat Hakim pulang dengan senyum menawan, anak istri sudah menunggu di ruang keluarga. Suara bising terdengar sampai ke mana-mana. Suara tawa. Suara canda. Suara musik. Suara demi suara bercampur jadi satu. Tidak pernah kenal waktu.
Hakim sudah lupa di depan rumah mereka berdiri masjid dengan kokoh. Masjid yang selalu sepi. Masjid yang dulu ditemani Hakim dan keluarga. Masjid yang jarang terdengar azan. Masjid yang terbengkalai dengan arsitektur termahal. Masjid dengan mimbar utama dari kayu jati warna emas. Masjid yang dibangun dengan puluhan pintu. Masjid yang ditinggal warga kampung yang sibuk berkelana mencari rejeki. Masjid yang dilupakan oleh yang bangun. Termasuk Hakim, yang langkahnya hanya berselang sepuluh kaki ke teras masjid.
Seperti hari ini, Hakim berbaring di ruang keluarga, anak dan istri pun melakukan hal yang sama. Televisi menyala dengan suara menggema. Gadis-gadis cantik berurai airmata menampakkan diri silih berganti di layar kaca. Sesekali lelaki muda menghampiri dengan bunga merah di tangan diiringi musik bertempo cepat. Tanda bahagia.
Keluarga Hakim terpana, menonton pelakon seni dengan seksama. Episode yang tidak boleh dilewatkan, karena sore hari ini drama favorit keluarga mereka akan masuk episode satu juta. Â
Di hari semakin senja, suara tangisan silih berganti, suara musik ikut-ikutan menguras pikiran penonton. Keluarga Hakim semakin terpana. Hakim tak mau ketinggalan, tauke muda itu terus menanti akhir cerita walau tidak paham asal mula.
Waktu terus lewat, keluarga Hakim tetap memandang ke layar televisi. Dari barat sinar matahari sudah sangat jongkok. Keluarga Hakim tidak memperhatikan hal ini karena jendela rumah mereka sudah ditutup gorden pekat. Dari masjid depan rumah Hakim sedang terdengar suara azan magrib. Lagi-lagi keluarga Hakim tidak mendengar panggilan ibadah kepada Tuhan mereka. Bahkan, suara televisi rumah Hakim bersahutan dengan suara azan dari pengeras suara di masjid. Beberapa orang yang hari itu terketuk hatinya menunaikan magrib di masjid melihat bayangan dari jendela bergorden rumah Hakim. Bayang gambar silih berganti dari layar televisi dengan suara menyeruak keluar.
Beberapa langkah warga kampung memasuki masjid. Mereka menunggu seorang imam. Dalam hitungan waktu magrib yang singkat tidak ada seorang yang paham agama pun masuk ke masjid. Beberapa pandangan berpaling ke pintu rumah Hakim yang tidak terbuka. Satu dua jamaah magrib memilih menunaikan kewajiban mereka tanpa imam. Lainnya mengikuti. Tidak ada yang berani berdiri di sajadah imam. Mereka beribadah sendiri-sendiri di masjid yang sepi.
Ibadah mereka tidak khuyuk, suara-suara lain mengganggu bacaan shalat mereka. Dialog-dialog panjang penuh amarah memekak kuping mereka. Musik pelan dan cepat silih berganti. Suara nyanyian berhamburan memekik suasanan masjid yang hening.
Suara itu dari rumah Hakim. Suara televisi dengan drama pilihan keluarga Hakim. Hakim ikut terpana bersama keluargnya. Lupa pada waktu yang mengharuskan mereka diam sejenak.
Dan seakan, suara televisi Hakim terputar di dalam masjid yang sedang magrib!
***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H