Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Televisi Masjid

16 Juli 2015   09:26 Diperbarui: 16 Juli 2015   09:26 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hakim pun kerap menjalani perjalanan ke Medan bersama kedua anak buahnya itu. Perjalanan Hakim bisa sampai berminggu-minggu sebelum pulang dengan uang berlimpah. Anak istri bahagia dengan kekayaan Hakim. Anak istri duduk menunggu kepulangan Hakim di rumah. Anak istri sering mendapat hadiah baju baru. Anak istri makan enak di depan televisi dengan suara keras. Itulah pekerjaan baru keluarga Hakim.

Saat Hakim pulang dengan senyum menawan, anak istri sudah menunggu di ruang keluarga. Suara bising terdengar sampai ke mana-mana. Suara tawa. Suara canda. Suara musik. Suara demi suara bercampur jadi satu. Tidak pernah kenal waktu.

Hakim sudah lupa di depan rumah mereka berdiri masjid dengan kokoh. Masjid yang selalu sepi. Masjid yang dulu ditemani Hakim dan keluarga. Masjid yang jarang terdengar azan. Masjid yang terbengkalai dengan arsitektur termahal. Masjid dengan mimbar utama dari kayu jati warna emas. Masjid yang dibangun dengan puluhan pintu. Masjid yang ditinggal warga kampung yang sibuk berkelana mencari rejeki. Masjid yang dilupakan oleh yang bangun. Termasuk Hakim, yang langkahnya hanya berselang sepuluh kaki ke teras masjid.

Seperti hari ini, Hakim berbaring di ruang keluarga, anak dan istri pun melakukan hal yang sama. Televisi menyala dengan suara menggema. Gadis-gadis cantik berurai airmata menampakkan diri silih berganti di layar kaca. Sesekali lelaki muda menghampiri dengan bunga merah di tangan diiringi musik bertempo cepat. Tanda bahagia.

Keluarga Hakim terpana, menonton pelakon seni dengan seksama. Episode yang tidak boleh dilewatkan, karena sore hari ini drama favorit keluarga mereka akan masuk episode satu juta.  

Di hari semakin senja, suara tangisan silih berganti, suara musik ikut-ikutan menguras pikiran penonton. Keluarga Hakim semakin terpana. Hakim tak mau ketinggalan, tauke muda itu terus menanti akhir cerita walau tidak paham asal mula.

Waktu terus lewat, keluarga Hakim tetap memandang ke layar televisi. Dari barat sinar matahari sudah sangat jongkok. Keluarga Hakim tidak memperhatikan hal ini karena jendela rumah mereka sudah ditutup gorden pekat. Dari masjid depan rumah Hakim sedang terdengar suara azan magrib. Lagi-lagi keluarga Hakim tidak mendengar panggilan ibadah kepada Tuhan mereka. Bahkan, suara televisi rumah Hakim bersahutan dengan suara azan dari pengeras suara di masjid. Beberapa orang yang hari itu terketuk hatinya menunaikan magrib di masjid melihat bayangan dari jendela bergorden rumah Hakim. Bayang gambar silih berganti dari layar televisi dengan suara menyeruak keluar.

Beberapa langkah warga kampung memasuki masjid. Mereka menunggu seorang imam. Dalam hitungan waktu magrib yang singkat tidak ada seorang yang paham agama pun masuk ke masjid. Beberapa pandangan berpaling ke pintu rumah Hakim yang tidak terbuka. Satu dua jamaah magrib memilih menunaikan kewajiban mereka tanpa imam. Lainnya mengikuti. Tidak ada yang berani berdiri di sajadah imam. Mereka beribadah sendiri-sendiri di masjid yang sepi.

Ibadah mereka tidak khuyuk, suara-suara lain mengganggu bacaan shalat mereka. Dialog-dialog panjang penuh amarah memekak kuping mereka. Musik pelan dan cepat silih berganti. Suara nyanyian berhamburan memekik suasanan masjid yang hening.

Suara itu dari rumah Hakim. Suara televisi dengan drama pilihan keluarga Hakim. Hakim ikut terpana bersama keluargnya. Lupa pada waktu yang mengharuskan mereka diam sejenak.

Dan seakan, suara televisi Hakim terputar di dalam masjid yang sedang magrib!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun