Selama jabatan tertua diembannya, Hakim semakin taat kepada agama. Lima waktu ibadah Hakim tunaikan di masjid yang selalu sepi. Masjid yang dulu tak diisi dengan kegiatan apa-apa semakin semarak semenjak Hakim memegang amanah kampung. Pengajian anak-anak sampai remaja dibangun kembali sejak mati sepuluh tahun terakhir. Suara-suara bising anak-anak dan remaja mengaji sering terdengar di masjid dari habis ashar sampai menjelang senja tiap Senin, Rabu dan Jumat. Hakim sendiri mengajari anak-anak dan remaja ditemani tiga orang guru lain secara sukarela.
Sepulang dari hutan, membawa harapan penghasilan Hakim menyempatkan diri istirahat sejenak. Setelah lelah kabur dari pelupuk matanya Hakim menunggu langkah-langkah kecil merapat ke masjid. Di awal pengajian tersebut berjalan lancar, Hakim tak pernah meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya. Setahun berjalan pengajian mulai hilang gaungnya, satu persatu anak-anak dan remaja menghilang. Yang laki-laki memilih main bola di lapangan kampung, yang perempuan memilih nonton televisi dengan berbagai acara tak mendidik.
Hakim sendiri juga sesekali menghilang, tiga guru lain ikut-ikutan absen. Sebagian anak-anak dan remaja yang masih rajin tetap menunggu di teras masjid. Begitu matahari mulai tenggelam, guru tak ada yang datang, dengan raut wajah lesu anak-anak tersebut pulang membawa tanya akan guru mereka. Sampai akhirnya pengajian itu tutup kembali, pemangku kebijakan di kampung juga tidak ada yang peduli. Dan Hakim, pergi pagi pulang malam hari. Bukan ke hutan menarik karet, tidak ada yang tahu tujuan Hakim selain dirinya sendiri.
***
Tiba-tiba saja Hakim sudah membeli karet hasil panen warga. Banyak tanda tanya. Banyak pula yang diam. Tak ada yang berani mengajukan pertanyaan kepada Hakim. Warga kampung lebih memilih menjual karet hasil lelah mereka kepada Hakim dengan harga lebih mahal. Hakim tidak memerlukan waktu yang lama menaikkan nama baiknya menjadi tauke ternama. Tauke Hakim melekat pada pundaknya sampai ke kampung-kampung tetangga. Orang-orang berdatangan ke rumah Hakim, jarang yang bersilaturahmi selain meminta pinjaman. Tauke-tauke lain kian geram dengan kematangan hidup Hakim. Tauke-tauke lain jadi miskin orang yang menjual karet. Hakim makin disayang, Hakim makin dicerca.
Hakim terus bergerak cepat dalam angan yang selama ini dibangun sendiri. Usaha Hakim berbuah manis saat rumah dan harta benda tertata sejajar dalam jajaran matanya. Hakim tidak perlu menggais sendu pada tauke Majid di setiap dua hari sekali saat hasil panen karet tak ada. Hakim malah menjadi tauke besar dibandingkan tauke Majid. Hutang-hutang Hakim pada tauke Majid tertunailah sudah. Tauke Majid makin sekarat, tauke Majid yang tak pernah mau membeli karet warga dengan harga lebih mahal dari tauke kampung sebelah kini tinggal nama. Orang-orang berdatangan ke rumah Hakim, meminta pinjaman dan bisa dianggap lunas saat hasil panen.
Hakim tinggal menunggu orang ke rumah menawarkan hasil panen, kerjanya sekarang hanya bermain dengan angka-angka. Waktu dilalui Hakim semakin cepat. Tidak ada lagi waktu untuk istirahat sebelum pembukuan selesai. Hutang piutang harus dibuat catatan berwarna merah, kalau tidak Hakim akan rugi besar. Pemasukan demi pemasukan langsung ditulis besar-besar sebelum disimpan dengan nyaman di bank. Upah pekerja selalu dipenuhi di awal bulan agar mereka sejahtera. Hakim hanya memperkerjakan tiga orang saja, sopir dan kernek truk pengangkut karet ke Medan dan satu orang penjaga kolam karet di belakang rumah. Biar Hakim murah hati kepada pekerjanya, Hakim tetap terkenal tauke baru yang angkuh.
Hakim yang dulu sering duduk bersama pemuda lain sudah tidak pernah menampakkan diri lagi di antara mereka. Hakim yang dulu sering ikut rapat di balai kampung tidak pernah tahu menahu urusan kampung mereka. Hakim yang dulu dikenal guru mengaji sekarang sudah lupa tata cara mengajarkan agama kepada anak-anak dan remaja.
Hakim sudah tidak ada waktu lagi untuk itu. Bagi Hakim, waktu yang diberikan sekarang adalah untuk mencari nafkah!
***
 Sehari-hari Hakim bekerja di rumah saja. Kulit yang dulu hitam pekat kini hampir kuning langsat. Badan yang dulu sering bau kini berubah wangi semerbak kasturi. Suara yang dulu hilang di antara kerumun anak-anak mengaji sekarang terdengar sering membentak di telepon genggam. Entah siapa yang dimarahi, mungkin saja rekan kerja atau sopir dan kernek yang sering salah perhitungan sesampai ke pabrik besar di Medan.