Giok Aceh.
Suatu ketika begitu mempesona. Dipuja-puja. Dihargai jutaan sampai miliaran. Dipakai oleh anak-anak hingga dewasa. Perempuan dan laki-laki.
Kini?
Belumlah tahun berselang satu dekade. Giok Aceh memudar entah ke mana.
Giok Aceh pernah menjadi primadona di segala sisi pencaharian. Orang-orang rela bertukar posisi pekerjaan hanya untuk menjadi pengasah batu giok atau akik. Di mana-mana, di segala tempat yang berbau giok atau akik, orang-orang akan berkerumun, mencari tahu si madu atau si anu lain berapa harganya. Desak-desakan begitu terasa karena giok maupun akik yang dijual beragam rupa. Tak hanya jadi cincin saja, bagi perempuan yang perkasa menjadikan giok atau akik sebagai liontin untuk menambah gaya, atau pertama pada gelang emas mereka. Semua ditempa dengan tamak dan berharap umurnya diingat sepanjang masa. Giok dan akik tetap berjaya sampai zaman mengubah segala.
Giok dan akik itu telah hilang mata asahnya. Di tempat orang berjualan itu tak lagi ramai orang. Di hutan hanya sebagian kecil saja yang bertahan mencari giok atau akik tersembunyi. Di gunung sebagai paku dunia telah menerima larangan pengambilan batu giok dan akik. Alasannya, gunung yang ditebus dengan alat berat kemudian menimbulkan bencana berat bagi pemukiman penduduk.
Giok dan akik di Aceh hampir seperti durian di kala musim. Harumnya musiman saja. Setelah itu dilupa dan tunggu lagi suatu masa akan muncul kembali. Karena apa?
Pemain giok itu sungguh terlalu suka!
Berfoya-foya dengan harga giok dan akik yang berat di kantong. Menjarah giok dan akik tanpa memikirkan petaka setelah itu selesai. Semua dijalankan karena manusia ingin cepat kaya raya.
Karena giok dan akik di Aceh ini, pada musim lalu, sebagian mereka kaya raya dan sebagian lagi kehilangan harta benda akibat bencana. Memang giok dan akik tidak mengatakan mereka penyebabnya. Namun giok dan akik digali dari dasar gunung tersembunyi. Tak ayal, longsor terjadi di ruas jalan Meulaboh-Banda Aceh karena penopangnya tak lagi kuat.
Giok Aceh punya pesona di masa itu. Di masa ini, orang-orang tidak lagi heboh. Entah karena telah memiliki satu cincin. Entah karena terlalu mahal. Entah karena telah bosan.
Para pengasah batu giok tak lagi melihat antrian panjang di kedai miliknya dari pagi menjelang malam. Kadang ada yang asah. Kadang pun sepi.
Giok bukanlah emas yang semakin lama disimpan semakin menguning. Giok akan memudar bahkan akan pecah terberai begitu jauh ke lantai. Giok tak dapat dijadikan mahar pernikahan karena tak bisa abadi. Bahwa giok dianak-tirikan sebagai mahar di Aceh sungguhlah membawa malu. Saat orang-orang berderet di kedai asah giok, toko emas malah sepi. Saat orang-orang ingin menikah, toko emas adalah tujuan utama.
Seberapa mahalnya giok di Aceh tetaplah tak berharga dibanding emas. Miliaran rupiah dihabiskan untuk giok belum tentu bisa mengganti emas 20 mayam untuk meminang seorang gadis di Aceh. Begitulah giok, diagungkan tetapi dilupa.
Akhir perantauan giok hanya terpajang di toko-toko yang sepi. Orang mau melamar tak akan melirik ke sana. Orang mau berinvestasi akan mikir-mikir panjang memilih giok. Puluhan sampai ratusan batu giok dibeli, terbanting semau ke lantai, pecah harapan dan hilang miliaran.
Nasibmu giok. Begitulah dunia mengabadikanmu, sementara saja...
Sudahkah Anda memakai giok?
[caption caption="Giok Aceh - MajalahAceh.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H