Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nelangsa dalam Secangkir Cinta

1 Juni 2015   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sebuah karya fiksi, entah ranah puisi, entah belum jadi puisi. Terima kasih sudi kiranya membaca...

/1/

Adalah Inong, seorang istri dan ibu dari anak-anaknya,

Usianya belum melewati kepala tiga,

Belum genap pula ia menyusui si bungsu dua tahun,

Perutnya terasa membesar kembali,

Bukan karena ia terlalu banyak makan minum,

Bukan juga karena ia menderita penyakit akut,

Bukan juga karena ia mengada-ngada suara; ia benar telah hamil lagi!



Ah, rasanya baru kemarin isi perutnya diaduk-aduk gerakan kecil,

Belum pula sebatang bunga mawar layu di depan rumahnya,

Tak juga ia menuai beberapa potong kata dari mulut di bungsu,

Dan belum pulih rasa perih dan pedih di bagian dada saat di bungsu menyusu,

Ia telah mengandung anak kelima!

Usianya memang belum genap delapan belas kala itu,

Saat Ayah memperkenalkan seorang lelaki padanya,

Tak ada istimewa dari lelaki itu,

Jangkung seperti kebanyakan lelaki di kampung,

Berkulit kuning langsat; hampir gelap sering di bakar matahari,

Bertani seperti orang lain; bukan pegawai seperti impian banyak orang,

Berlabuh pula hatinya secara terpaksa,

Pun ia tunggu lelaki dalam mimpi tiap malam sunyi tak datang juga,

Menikah muda adalah pilihan hidupnya,

Ayah Ibu sudah lama menunggu menantu mengetuk pintu tiap senja,

Dengan sekantong ikan teri untuk santapan malam nanti.

Tidak ada pilihan,

Hanya menikah, sekamar dengan lelaki asing itu,

Sebelum pindah ke rumah petak dekat sungai sebelum jembatan gantung,

Di penghujung jalan menuju sawah mereka.

Inong Cut Jeumpa,

Perempuan bermata gelap, warna kulit seperti batu bata tua,

Duduk bersimpuh di teras rumah; menanti suami pulang mengais rejeki!

/2/

Dialah Agam, lelaki biasa yang beruntung mempersunting Inong,

Ibarat mendapatkan bunga di taman penuh lebah,

Agam menari di antara pucuk-pucuk berduri mencium harum sang bunga,

Lebah lain berharap mengejar; sayap mereka tak sampai,

Bunga nan wangi seakan dipagari duri-duri beracun,

Hanya Agam yang mampu menyingkirkan racunnya,

Dengan Rengcong di tangan kanan dan Kopiah di kepala,

Agam mendapat restu dari calon mertua!

Agam sumringah, nyalinya telah teruji, ia menyeringai menang!

Pinangan di terima, sehari sebelum Agam menginjak langkah di dua puluh tahun,

Sudah hampir sepuluh tahun Agam serumah dengan Inong,

Perempuan pujaan para pemuda kampungnya,

Sudah empat anak mereka, bahkan hampir lima!

Si sulung sembilan tahun,

Adiknya tujuh tahun,

Anak ketiga empat tahun,

Si bungsu dua tahun, mungkin belum sampai,

Dan seorang lagi dalam kandungan istri tercinta.

Agam lagi-lagi tersenyum senang, dalam tatap senja ke barat,

Ia tak lepas berharap akan beranak lagi setelah ini!

Anak itu anugerah dari khalik,

Tidak boleh ditunda-tunda selama masih mampu!

Agam Muhammad Isa, laki-laki yang menyemat dua nama Rasul dalam namanya!

Mengangkat cangkul, mencuci tangan dan kaki,

Bergegas pulang menjumpai anak istri di hari hampir menutup diri.

/3/

Lantunan alif, lam, mim, terdengar syahdu,

Agam duduk terpaku di depan putra sulungnya,

Menyimak setiap lafal,

Membenarkan panjang pendek bacaan.

Sulung itu, Damanhuri namanya, baru saja bisa mengeja hijaiyah,

Waktu yang lama dibandingkan dengan umurnya,

Fatimah, adiknya, bisa membaca dengan benar di umur enam setengah tahun,

Tak ada yang beda antara keduanya,

Tengoklah adik Fatimah, Rijalul; sudah mampu menghafal Fatihah,

Umurnya baru saja empat tahun.

Si bungsu Indrawan bahkan belum bisa bercakap-cakap di umur dua tahun.

Agam tertegun,

Apa kata orang-orang jika Damanhuri belum bisa mengaji,

Diejekkah? Didiamkan saja?

Dibandingkan dengan dirinya yang pernah menang lomba?

Damanhuri memang berbeda, dari kecil sampai kini,

Putra sulung itu kerap diperlakukan kurang adil,

Begitu Fatimah lahir, Damanhuri seakan dilupakan,

Tangis Fatimah, Damanhuri diabaikan,

Fatimah diceraikan dari ASI, tak berselang hari sudah minum susu,

Damanhuri tidak mendapatkan susu,

Karena ia tidak membeli bukan karena tak sanggup beli!

Fatimah yang cantik, putri satu-satunya,

Minta dibelikan baju, langsung dikasih tak menunggu fajar esok pagi,

Sekolah diantar, pulang dijemput, tiap malam dininabobokan sampai tertidur,

Damanhuri?  Rijalul? Dan, Indrawan?

Belum pernah Agam mendongeng pahlawan negeri sebelum mereka terlelap.

/4/

Rijalul merebut mobil-mobilan Indrawan setelah subuh,

Baru tiga puluh menit lalu azan berkumandang,

Dan baru lima menit berlalu setelah shalat subuh ditunaikan.

Rijalul punya mainan sendiri,

Mobil-mobilan pada masanya, sudah hancur lebur pula karena ulah tangannya,

Dikutak-katik sesuai selera,

Dibuang ke sungai belakang rumah,

Disimpan jauh-jauh agar Indrawan tidak menemukannya,

Sampai lupa akhirnya,

Melihat Indrawan punya mainan baru,

Rijalul cemburu,

Ingin punya,

Merebut,

Bahkan mengambil paksa dari tangan kecil adiknya.

Sengaja Rijalul mengajak ribut,

Setelah Indrawan histeris di pagi buta, Rijalul beranjak tidur kembali,

Matahari akan menyingsing sebentar lagi,

Namun tangis Indrawan belum henti juga.

Lihatlah si cantik Fatimah, hampir siap berseragam merah putih,

Sekarang dia sudah kelas satu,

Manis sekali anak itu,

Ditambah kerudung putih,

Makin memberi kharisma calon anak gadis si Agam!

Palingkan wajah pada Damanhuri,

Masih mendengkur dalam tidur,

Subuh berlalu sambil terkantuk, terhantuk-hantuk di atas sajadah,

Tak pernah memberi contoh pada ketiga adiknya,

Malasnya membuat Agam geram,

Kadang main tangan,

Plak! Dipukul sekali,

Di pundak, tidak keras, pelan saja,

Damanhuri tidak mengubris,

Terkekeh,

Agam tidak habis pikir,

Sulungnya itu entah karena apa,

Berpikir sedikit berbeda dibandingkan Fatimah.

Lagi-lagi putri kesayangannya,

Dia menjadi bidadari semenjak kecil ini!

Belum juga tangis Indrawan terhenti,

Ibunya, Inong, yang sedang hamil, muntah-muntah tak karuan,

“Kau diamlah dulu, lihat makmu sedang sakit!”

Indrawan tak bergeming,

Tangisnya menjadi,

Rijalul acuh,

Damanhuri bergegas mandi,

Hanya Fatimah termangu,

Menatap Indrawan tersedu-sedu,

Dipangku adiknya menjauh dari ayah dan ibu,

Menyimak jendela,

Mengintip matahari sebentar lagi bersinar!

Muntah-muntah Inong makin menjadi,

Agam berleha saja di tikar pandan,

Secangkir kopi di depan mata,

Baru setengah gelas diminumnya.

“Ambilkan minum untuk makmu, Fatimah!”

Putri cantik itu bergegas, dengan Indrawan dalam gendongan,

Menuruti perintah sang ayah,

Mengambil segayung air bersih,

Menyuguhkan pada maknya yang sedang muntah-muntah.

/5/

Inong tinggal di rumah bersama Indrawan,

Si bungsu dengan dunia khayalnya,

Rijalul sudah bersekolah di taman kanak-kanak,

Di antar ayahnya tadi pagi,

Dengan sepeda warisan keluarganya,

Sembari mengantar di cantik Fatimah.

Damanhuri berlari-lari kecil ke sekolah dekat masjid tua,

Tak seberapa jauh dengan rumahnya,

Berselang tiga rumah di jalan setapak belum teraspal,

Bercampur kerikil,

Kerap kali Damanhuri tersungkur, tergores di lutut,

Dimarahi ayahnya, Inong diam saja,

Membela berarti melawan suami,

Pikirnya!

Sekolah Fatimah dengan Damanhuri memang beda,

Damanhuri sekolah di madrasah ibtidaiyah swasta di kampungnya,

Fatimah sekolah di sekolah dasar negeri di kampung seberang,

Dengan kualitas berbeda,

Guru berbeda kompetensi,

Fasilitas tidak sama,

Damanhuri tidak pernah memberi protes,

Di pagi hari ia tetap ceria bersekolah,

Karena sebentar lagi akan bertemu teman-temannya,

Bermain bola; baju kotor pulang sekolah selalu ia sembunyikan dari suami,

Menghindari berang,

Perang mulut,

Menghadirkan lupa,

Sehingga Agam tak pernah memukul Damanhuri lagi!

Waktu mengandung Rijalul ia sempat meminta,

“Kita ikut KB dulu setelah ini, Bang?”

Tak pernah ada jawaban,

Tidak juga ada anggukan,

Jangan harap ada gelengan kepala,

Agam tidak mengubris,

Rijalul lahir, belum sampai sebulan dia menyusui,

Agam – suaminya tercinta,

Menidurinya kembali,

“Anak itu anugerah Tuhan, Abang tak akan mengelak jika diberi lagi!”

Perih di dada Inong,

Dalam hati ia meringis,

‘Saya yang mengandung, melahirkan, membesarkan, memberi perhatian, memilah-milah makanan!’

Inong meresapi sabar,

Menjadi rasa bahagia melihat tawa anak-anaknya,

Terkadang sering perutnya terasa sakit,

Badannya letih,

Terobati – sedikit saja – melihat mereka!

Hati kecilnya mempunyai rencana,

Tidak beranak sebelum usia mereka sampai remaja,

Harapnya tak jadi nyata,

Perutnya tak lama lagi akan membesar!

/6/

Cinta?

Benarkah ada semenjak ia menikahi lelaki ini?

Inong bersitatap dengan Agam yang terlelap,

Malam sudah sangat larut,

Gemericik gerimis di atap rumbia,

Anak-anak sudah nyenyak sehabis isya,

Malam yang dingin,

Sesekali petir menyambar,

Kilat menerangi gelap.

Dulu ia tak cinta laki-laki ini,

“Apa yang membuatmu istimewa, Bang?”

Jawab Agam,

“Tak ada,”

“Kenapa saya harus mencintaimu, Bang?”

“Karena cinta menghadirkan bahagia di harimu,”

“Mengapa kita menikah?”

“Karena denganmu akan ada suara tawa dan tangis lain di rumah kita.”

Cinta itu datang tiba-tiba,

Setelah Damanhuri hadir dalam hidup mereka,

Ia mengagumi Agam,

Cara berpakaian,

Menutur kata,

Bersila di depan orang tuanya,

Cara makan, dengkur halus dalam tidur,

Semua; yang dulu tak pernah hinggap dalam hatinya!

/7/

Sudah dikatakan dari dulu,

Inong tak ingin beranak lagi sebelum Rijalul empat atau lima tahun,

Agam tak menerima alasan apapun dari istrinya.

“Damanhuri butuh kasih sayang kita, Bang!”

“Fatimah juga butuh,”

“Damanhuri lebih butuh!”

“Lantas, kenapa Damanhuri harus lebih?”

“Karena dia sulung dari adik-adiknya,”

“Fatimah perempuan,”

“Karena Damanhuri terabaikan setelah adik-adiknya ada,”

“Dia anak sulung!”

“Dan dia masih belum remaja bahkan dewasa!”

“Lalu?”

“Belum mampu membeda baik buruk,”

“Tugasmu mendidiknya,”

“Tugas Abang?”

“Mencari nafkah untuk menghidupkan keluarga!”

Pilu,

Haru,

Kecewa,

Ingin rasanya membatasi kelahiran anaknya,

Agar kasih sayang terbagi dengan sepenuhnya!

/8/

Rijalul demam tinggi,

Indrawan merengek minta disuapi makan,

Fatimah belum pulang dari mengaji,

Damanhuri juga demikian,

Agam; tak akan pulang sebelum senja menyongsong magrib!

Inong kalang kabut,

Kepalanya seperti di paku,

Belum pulih rasa mual dan pusing; selalu begitu di bulan pertama mengandung.

Tangis Indrawan pecah,

Brak! Seiring piring nasi dilempari ke lantai!

Badan Rijalul menggigil,

Bibirnya membiru,

Matanya melotot,

Mungkin, sebentar lagi akan tidak sadarkan diri!

Keringat membasahi kerudung usang di kepalanya,

Dibiarkan Indrawan menangis,

Sesak di dada sampai ia tak bisa bernapas,

Kakinya berlari ke kamar dan ke dapur,

Melihat Indrawan,

Menjaga Rijalul,

Sampai letih langkahnya di depan pintu kamar.

Rijalul sudah memejamkan mata,

Badanya sudah sangat panas!

Dan Indrawan,

Gelas kaca melayang ke lantai,

Pecahan piring belum sempat ia bereskan,

Lagi, pecahan gelas berserakan!

Tiba-tiba perutnya diaduk,

Rumah bergoyang,

Ah, gempa lagi,

Inong; ambruk di depan pintu kamar,

Indrawan berhenti menangis!

/9/

Agam termangu,

Bersimpuh di dekat pembaringan istrinya,

Inong berpaling,

Sudah pernah ia katakan; lebih baik menunda dulu,

Indrawan belumlah lewat dua tahun!

“Bagaimana Rijalul?”

“Dia sudah sehat,”

“Di mana dia?”

“Dijaga Fatimah!”

Inong memejamkan mata,

Meneguk secangkir cinta yang ia semai sembilan tahun lalu,

Pada lelaki yang kini di sebutnya suami,

Cangkir itu berwarna emas,

Ada goresan bunga di bagian kanan dan kiri,

Bunga Seulanga

Semerbak harum seperti aslinya.

Cangkir itu,

Sudahkah pecah?

Menuangkan serpihan cinta pada lantai basah rumah mereka,

Lari menjemput raga lain,

Tak lagi ia harapkan,

Cangkir itu tak pernah menjadi miliknya,

Jika ego masih menyertainya!

/10/

Inong tidak sengaja,

Apapun itu bukan salahnya,

Ia tidak meminta Rijalul sakit,

Bukan pula dia mau menyuapi Indrawan makan.

“Ini bukan salah saya, Bang!”

Suami istri mulai bersiteru,

Anak-anak mereka membisu,

Agam tidak terima,

Mustahil,

Hanya karena Rijalul sakit,

Indrawan menangis,

Di siang bolong,

Kandungan istrinya gugur?

“Mungkin saya harus istirahat dulu, Bang,”

“Kau tidak memikirkan hasratku?”

“Abang pernah memikirkan hasrat istrimu?”

Inong mengangkat parang jika diajak perang,

Saya yang mengandung!

Merasakan sakit melahirkan!

Tiap dua tahun sekali!

Menyusui,

Meninabobokan,

Mencuci baju mereka,

Menyuapi makan mereka,

Mengobati saat sakit,

Mengajari sopan santun,

Mengajari bahasa,

Mengajak bermain,

Hanya saya, Bang!

Cuma dalam hati; tak berani ia utarakan!

Inong berpindah ke kamar,

Bersungkur ke arah kiblat,

Di atas sajadah,

Sebentar lagi magrib tiba,

Cepatlah malam; agar tertidur

Melupakan hari ini dan menjemput esok pagi cerah!

***

Inong dalam bahasa Aceh berarti perempuan, pemanggilan inong digunakan untuk menggantikan kata dia; perempuan. Ada pula inong digunakan untuk nama seseorang, namun ini tidak banyak ditemui mengingat inong hanya sebutan saja. Memanggil seorang perempuan dengan inong sudah lazim didengar di seluruh Aceh.

Pada umumnya orang mengenal Cut sebagai gelar bangsawan perempuan Aceh; mereka yang berdarah biru. Selain gelar tersebut, kata cut dalam bahasa Aceh mempunyai arti paling kecil atau anak bungsu.

Bunga Cempaka, karena sangat terkenal di Aceh sehingga bunga tersebut diabadikan dalam lagu Bungong Jeumpa (Bunga Cempaka).

Agam mempunyai arti laki-laki (anak laki-laki). Agam digunakan untuk mengganti kata dia; laki-laki.  Pada dasarnya agam hanya sebutan untuk anak laki-laki, namun ada juga menjadikan Agam sebagai nama untuk anak laki-laki mereka, dipercaya lambang pemberani.

Rencong adalah sejata khas Aceh, yang pada masa dahulu dikenal sebagai senjata perang melawan penjajah.

Kopiah berarti peci. Jika seorang laki-laki berkopiah; menafsirkan pemahaman agamanya kuat dan dapat dijadikan imam, kebanyakan yang mengenakan kopiah adalah alumni pesantren bahkan orang yang sedang nyantri.

Pada umumnya masyarakat Aceh sangat memperhatikan jodoh untuk anak-anak mereka, hal yang paling diperhatikan adalah akhlak/budi pekerti, agama/ketaatan menjalankan perintah agama (Islam), pendidikan, keturunannya (harus seagama), sedangkan untuk pekerjaan bukan perhatian utama serta kaya miskin bukan faktor yang menentukan orang tua tidak menerima pinangan tersebut. Lihat, Muhammad Umar, Peradaban Aceh; Tamadun, (Banda Aceh: Boebon Jaya, 2008), h. 155.

Sebagian ulama masih berbeda pendapat tentang Keluarga Berencana, masih menganggap bahwa KB itu tidak dibenarkan dalam Islam, berpatokan pada Qur’an Surat Al-Isra’ Ayat 31; Artinya “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian.” Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga_Berencana, Keluarga Berencana.

Ayat pertama Qur’an Surat Al- Baqarah yang terdiri dari tiga huruf, alim, lam dan mim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun