Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Angraini
Baiq Dwi Suci Angraini Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah Untuk Mengubah Arah

Pegiat dan penikmat karya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Publik yang Paham Islam, Anti Politik Uang

27 Oktober 2020   10:15 Diperbarui: 27 Oktober 2020   10:27 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis Oleh: Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi

Diterbitkan: VOA ISLAM

Tahun 2019 disebut-sebut sebagai Tahun Politik yang sudah lama ditunggu para calon Pemilu demi mengamankan sepasang kursi atau satu kekuasaan tunggal. Kenikmatan lima tahun ke depan banyak diperebutkan dari kalangan partai, mulai dari jabatan Kepala dusun hingga ke posisi Pemimpin Negara. 

Kesempatan meraih kursi kosong ini diperlombakan melalui Pemilihan Umum yang berlangsung satu atau dua hari saja. Dalam rentang waktu yang singkat, ditentukan siapa pemenang dan siapa yang terkalahkan dari bilik suara. 

Pendeknya, tahun 2019 nanti akan menjadi ajang pertaruhan harga diri di antara calon terpilih dan yang hendak dipilih masyarakat.  Bahkan panas dinginnya isu perpolitikan jelang 2019 mulai menjangkiti benak publik, sadar tak sadar saat ini kita ikut-ikutan merasa harap-harap cemas menyambut datangnya musim Pemilu. 

Genderangnya mulai dibunyikan, kampanye-kampanye di daerah pun menyalakan percikan obornya agar masyarakat segera bangun dan menyongsong tibanya Pemilu. Jalanan mulai ramai sesak oleh arus konvoi pengusung pasangan calon Pemilu, begitu juga dunia sosial media mulai dipadati oleh pembicaraan-pembicaraan hangat seputar daftar nama calon peserta Pemilu. 

Hampir-hampir tak ada bahasan lain, selain publik dipaksa mengenal siapa-siapa yang kiranya layak memimpin daerah mereka masing-masing. Akhirnya terjadilah uji kekuatan demi memenangkan hati masyarakat, siapa cepat dia dapat dan siapa yang bermodal maka dia lah yang diprediksi akan memenangkan kompetisi lima tahunan.

Sebagian orang menganggap Pemilu merupakan lapangan basah tempat berlangsungnya persaingan secara terhormat, namun agaknya pernyataan ini keliru menurut akal sehat publik yang cerdas. 

Hemat saya, Pemilu hanya merupakan lapangan becek bagi para pemilik modal yang rela menghabiskan hartanya di jalan perpolitikan demokrasi. Lapangan becek ini dilumpuri tebaran uang dan sembako dari para pengusaha yang menginginkan kekuasaan atau pemikir ulung yang mengimpikan kursi panas. Semakin tinggi kedudukan kursi yang dibutuhkan, semakin besar modal yang harus dikeluarkan. 

Mereka yang tak bermodal tak mungkin dapat tempat di parlemen, sebab hanya yang berkantong tebal lah yang bisa dipastikan memperoleh suara terbanyak. Dengan demikian, Pemilu dalam sistem demokrasi hanya membuat pelakunya mengalami kebangkrutan harta dan jiwa raga. 

Publik yang pandai tentu tidak akan terjerumus pada lubang yang sama untuk kedua kalinya setelah dikhianati oleh wakil rakyat dan digadaikan suaranya seharga mie instan. Memang besar sekali efek politik uang ini mendera kepercayaan publik, karenanya setiap orang harus berhati-hati dalam menentukan pilihan mereka sendiri. 

Dampak perpolitikan uang ini mengakibatkan publik beranggapan buruk mengenai peserta Pemilu, oleh karena itu kita dengan cepat memahami bahwa pasangan Pemilu tersebut tidak berniat menjadikan kepemimpinannya sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat. Dengan uang mereka rela membeli suara rakyat, dengan sekardus sembako mereka beli identitas rakyat ini. 

Akhirnya, publik yang gampang terbeli akal sehatnya hanya dengan selembar uang seratus ribuan termasuk publik yang bodoh secara logika dan finansialnya. Serangan fajar dihantamkan kepada masyarakat yang buta peta politik negeri ini, padahal pengawasan ketat dan perhatian semua pihak selalu full tertuju pada proses kampanye hingga pelantikan pasangan terpilih. 

Namun tetap ada saja pihak berwenang yang kecolongan, faktanya black campaign terjadi dimana-mana dan peristiwa serupa sangat mencederai kecerdasan masyarakat. Mulai dari petugas KPU hingga pejabat pelantik agaknya alpa dan menyengaja terjadinya penyerangan fajar, akibatnya publik yang lemah pemahaman politiknya terus-menerus dibodohkan oleh sistem demokrasi sebagai alat perebutan kekuasaan. 

Mulai sekarang tidak perlu ada pertimbangan panjang lebar untuk melakukan sidak, para pejabat berwenang harus sigap merazia para pencuri suara rakyat ini dengan lebih tegas, bila perlu berikan sanksi di tempat sebab mereka telah menyengaja berlangsungnya money politik yang menjadikan Indonesia sebagai Negara terburuk pelaksana Pemilu lima tahunan. 

Pemilu yang dilaksanakan oleh negeri bermadzhab demokrasi agaknya tampak seperti skenario perputaran roda uang, rentan menghasilkan perpecahan antar golongan partai atau pejabat dengan sesama kubunya. Diakibatkan kurangnya modal, tidak sedikit peserta Pemilu dalam ranah demokrasi rela menghancurkan kolega sendiri hanya untuk mengamankan satu kursi. Seperti inilah wajah demokrasi yang secara terang-terangan menampakkan kecacatan konsep dan metodenya dalam proses Pemilihan Pemimpin. 

Dengan kata lain, demokrasi hanya melahirkan persaingan antar kawan dan lawan untuk menghalalkan segala cara demi menjatuhkan satu sama lain. Harus ada common awareness atau kesadaran bersama dari semua pihak terkait buruknya perpolitikan uang yang mencabik-cabik wajah Indonesia hari ini. 

Penyadaran bersama perlu dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan tertinggi di negeri ini agar kebiasaan bagi-bagi duit kepada rakyat tidak lagi menjadi fenomena mengerikan yang mencoreng muka para pemimpin. Kesadaran bersama ini mestinya menjadi tanggungjawab bersama untuk memperbaiki penilaian busuk dunia terhadap cacatnya perpolitikan negeri berdemokrasi. 

Untuk itu para wakil rakyat harus segera turun tangan untuk mengatasi permasalahan ini tanpa menundanya barang sehari pun, bukan malah membiarkan masyarakat hanya dijadikan sebagai perantara untuk mendapat kedudukan yang diincar dalam rentang waktu lima tahunan sekali. Seorang rakyat harus beridealisme sempurna untuk membangun sebuah negeri yang berperadaban, bukan justru menjadikan lapangan kampanye dan bilik Pemilu sebagai ajang menumpuk-numpuk harta bagi dirinya atau keluarganya. 

Sangat jelas seseorang berlogika cacat mental apabila ia dengan sukarela menerima pundi-pundi uang yang ditawarkan padanya untuk menyoblos satu nama. Padahal setidaknya kita telah belajar dari kesalahan-kesalahan black campaign dan politik uang tahun-tahun lalu, dimana calon yang tak terpilih akhirnya mengalami depresi akut atau minimal menghadapi stress berkepanjangan disebabkan habislah uang kalah pula suaranya. 

Publik hari ini harusnya lebih teliti dan cerdik menilai serta menjaga kualitas suara mereka, alangkah bijaknya nama baik kita tidak tercoreng oleh segelontoran janji-janji palsu dan berlembar--lembar uang panas. Disinilah urgen dan pentingnya kita menjaga idealisme sebagai publik yang cerdas untuk membangkitkan sebuah negeri yang berperadaban. *Cerminan Pemilu Di dalam Islam Berkacalah pada sistem Pemilu yang terbukti dan terjamin keamanannya, terhindar dari money politic, black campaign, atau perseteruan yang riskan saling sikut dan baku hantam. Kondisi Pemilu di dalam islam mencerminkan hak-hak publik terlindungi, baik identitas dan kualitas harga dirinya. 

Berbeda dengan kondisi sekarang, dimana Pemilu hanya dijadikan alat untuk menurunkan taraf berpikir rakyat yang sudah berijazah tinggi kemudian tergadaikan dengan selembar uang lima puluh ribuan. Oleh karena itu, islam memberikan tauladan dalam melaksanakan Pemilu yang terjaga kebenaran suara dan keabsahan janji-janji para pemimpin terpilih. Sehingga cerminan pemilihan pemimpin di dalam islam hampir tidak pernah menemukan jalan buntu atau sampai mengakibatkan pemimpinnya saling menjatuhkan martabat satu dengan yang lainnya. 

Bagi islam, Pemilu hanyalah pengantar untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang paling utama. Kilas balik pada sejarah peristiwa wafatnya Rasulullah, ketika itu para sahabat sampai terlambat memakamkan jasad Nabi Muhammad SAW. dikarenakan di antara mereka masih belum ditentukan siapa yang menggantikan kepemimpinan Nabi untuk memimpin masyarakat islam. Kemudian terpilihlah Abu Bakar Ash Shiddiq untuk memimpin masyarakat muslim dan mengisi kekosongan tampuk kepemimpinan islam. 

Sederhananya di dalam islam, setiap orang diminta haknya untuk bersuara dan memilih secara cerdas berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki terhadap orang yang hendak diusulkan tersebut. Islam sangat memuliakan hak-hak publik dan melindungi kualitas keimanan mereka, masyarakat tidak dibiarkan terlena oleh janji-janji palsu dan terbuai oleh amplop-amplop putih penggadai iman. 

Islam tidak membiarkan visi misi utama menyejahterakan rakyat diraih melalui proses yang dilarang pelaksanaannya. Sistem ini jelas tidak membolehkan siapapun menggunakan jalan yang haram demi meraih sesuatu yang dianggap membawa kemaslahatan untuk umat. Demi mendapatkan seorang pemimpin, islam tidak menganjurkan calon pemimpin membagi-bagikan uang panas agar dimenangkan. Sehingga wajar, di dalam islam suara mayoritas bukanlah suara Tuhan. 

Dalam islam, kedaulatan sepenuhnya ada di tangan syariat dan dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan syariat tersebut. Untuk itulah peraihan kekuasaan ini ditempuh oleh manusia dengan cara mengangkat seorang pemimpin ke tengah-tengah umat.Adapun metode dan cara yang digunakan untuk mengangkat seorang pemimpin dalam proses pemilihan ditunaikan pula sebagaimana islam mencontohkan. Tidak ada black campaign atau money politic. 

Ketika terjadi kekosongan pemimpin, islam mengumpulkan rakyat untuk melakukan musyawarah mufakat dan berlangsunglah proses pemilihan tersebut. Dengan syarat, rakyat memang telah memahami betul sepak terjang dan karakteristik calon-calon pemimpin yang disediakan di hadapan mereka. Publik di dalam islam tidak dibiarkan melanggar aturan Tuhan dengan jalan menerima uang haram atau iming-iming jabatan, mereka justru dibebaskan memberikan voting suara kepada calon pemimpin yang dipilihnya dengan terhormat dan penuh pengharapan bahwa seorang pemimpin tersebut mutlak memenuhi kewajibannya sebagai pelindung dan pengurus urusan rakyat. 

Singkatnya, publik dituntut untuk mampu mengembalikan segala urusan kepada islam yang menjadi sumber terbaik dalam memutuskan setiap persoalan bangsa hari ini. Hatta dalam urusan Pemilu, publik dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ideologi dan idealisme para calon pemimpin. Apabila mereka tidak menjadikan aturan Tuhan sebagai basis perjuangan, minimal janganlah minta mereka memasuki masjid hanya ketika jelang Pemilu saja. 

Apabila mereka tidak menyandarkan urusan kampanye dan pemilihannya kepada aturan Tuhan, minimal publik jangan bersimpati kepada mereka yang hanya menyerukan sekolah dan kesehatan gratis saat jelang Pemilu saja. Toh, siapapun yang memenangkan Pemilu tahun depan tak akan mengubah negeri ini lebih beradab kecuali pemimpinnya menjadikan islam sebagai solusi atas semua problematika perpolitikan negerinya. Wallaahu'alam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun