Bagi islam, Pemilu hanyalah pengantar untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang paling utama. Kilas balik pada sejarah peristiwa wafatnya Rasulullah, ketika itu para sahabat sampai terlambat memakamkan jasad Nabi Muhammad SAW. dikarenakan di antara mereka masih belum ditentukan siapa yang menggantikan kepemimpinan Nabi untuk memimpin masyarakat islam. Kemudian terpilihlah Abu Bakar Ash Shiddiq untuk memimpin masyarakat muslim dan mengisi kekosongan tampuk kepemimpinan islam.Â
Sederhananya di dalam islam, setiap orang diminta haknya untuk bersuara dan memilih secara cerdas berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki terhadap orang yang hendak diusulkan tersebut. Islam sangat memuliakan hak-hak publik dan melindungi kualitas keimanan mereka, masyarakat tidak dibiarkan terlena oleh janji-janji palsu dan terbuai oleh amplop-amplop putih penggadai iman.Â
Islam tidak membiarkan visi misi utama menyejahterakan rakyat diraih melalui proses yang dilarang pelaksanaannya. Sistem ini jelas tidak membolehkan siapapun menggunakan jalan yang haram demi meraih sesuatu yang dianggap membawa kemaslahatan untuk umat. Demi mendapatkan seorang pemimpin, islam tidak menganjurkan calon pemimpin membagi-bagikan uang panas agar dimenangkan. Sehingga wajar, di dalam islam suara mayoritas bukanlah suara Tuhan.Â
Dalam islam, kedaulatan sepenuhnya ada di tangan syariat dan dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan syariat tersebut. Untuk itulah peraihan kekuasaan ini ditempuh oleh manusia dengan cara mengangkat seorang pemimpin ke tengah-tengah umat.Adapun metode dan cara yang digunakan untuk mengangkat seorang pemimpin dalam proses pemilihan ditunaikan pula sebagaimana islam mencontohkan. Tidak ada black campaign atau money politic.Â
Ketika terjadi kekosongan pemimpin, islam mengumpulkan rakyat untuk melakukan musyawarah mufakat dan berlangsunglah proses pemilihan tersebut. Dengan syarat, rakyat memang telah memahami betul sepak terjang dan karakteristik calon-calon pemimpin yang disediakan di hadapan mereka. Publik di dalam islam tidak dibiarkan melanggar aturan Tuhan dengan jalan menerima uang haram atau iming-iming jabatan, mereka justru dibebaskan memberikan voting suara kepada calon pemimpin yang dipilihnya dengan terhormat dan penuh pengharapan bahwa seorang pemimpin tersebut mutlak memenuhi kewajibannya sebagai pelindung dan pengurus urusan rakyat.Â
Singkatnya, publik dituntut untuk mampu mengembalikan segala urusan kepada islam yang menjadi sumber terbaik dalam memutuskan setiap persoalan bangsa hari ini. Hatta dalam urusan Pemilu, publik dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ideologi dan idealisme para calon pemimpin. Apabila mereka tidak menjadikan aturan Tuhan sebagai basis perjuangan, minimal janganlah minta mereka memasuki masjid hanya ketika jelang Pemilu saja.Â
Apabila mereka tidak menyandarkan urusan kampanye dan pemilihannya kepada aturan Tuhan, minimal publik jangan bersimpati kepada mereka yang hanya menyerukan sekolah dan kesehatan gratis saat jelang Pemilu saja. Toh, siapapun yang memenangkan Pemilu tahun depan tak akan mengubah negeri ini lebih beradab kecuali pemimpinnya menjadikan islam sebagai solusi atas semua problematika perpolitikan negerinya. Wallaahu'alam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H