Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Angraini
Baiq Dwi Suci Angraini Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah Untuk Mengubah Arah

Pegiat dan penikmat karya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Islam dan Rahmat di Meja Makan

11 Agustus 2020   11:37 Diperbarui: 11 Agustus 2020   12:00 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa yang sembunyi di ranselmu itu?"

Lah, memangnya ada aktivitas mudik cuma berbekal tas kosong? Aneh sekali komentarnya, tentu saja isi tas Arsi tak lain sekumpulan pakaian ganti dan beberapa buku bacaan. Justru akan bosan selama perjalanan pulang kampung tak membawa satu pun buku sebagai teman duduk. 

Maklum, perjalanan dua puluh jam baginya sangat menyita waktu. Akan banyak hal bermanfaat yang bisa dikerjakan daripada mantengin GPS nunggu kapal mendarat, habis waktu hanya di depan gadget.

"Isi tasku, nih.." Sambil membuka ransel, Arsi tampak tersenyum kecut menandakan ia sebetulnya gerah ditanya begitu.

"Isinya cuma baju kotor, kan. Ada sisa cemilan dan air gelasan, selebihnya gak ada yang mencurigakan toh?" timpalnya setengah kesal.

"Ya sudah, sana. Bersihkan diri, ganti baju, istirahat." Pesan Kak Rizky sehabis memeriksa kesehatan adiknya baik-baik saja di rantauan.

"Mana bisa aku istirahat memikirkan kondisi umat yang makin darurat," batinnya menggerutu. 

Beberapa tahun silam, semua yang melekat di dirinya seolah barang langka. Bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya dianggap tidak biasa, sebab tiba-tiba ia pulang dengan mengenakan jilbab dan khimar. Jauh berbeda saat pertama kali ia berangkat tinggalkan rumah.

Saat itu Arsi masih belum mengenal islam secara kaffah, baginya celana atau rok asal jadi saja tak perlu dipersoalkan selama tujuan membungkus aurat sudah ter-cover. Tapi ternyata pemahamannya selama itu keliru, ia mulai mengenal konsep penutup aurat yang benar dalam islam.

"Sepantasnya memang begini, tidak boleh tampak sedikit pun dari aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan," perlahan tapi terang ia coba jelaskan hal itu pada Kakaknya yang sibuk memprotes perubahan penampilan Arsi.

"Tapi, kamu sekarang berubah.." timpal Kak Rizky seolah tak terima.

"Alhamdulillah kalau berubahnya karna Allah, jadi lebih baik. Lah, kalau berubahnya lebih buruk.. emang siapa yang mau tanggung dosa-dosa saya nanti?"

"Ya sudah, gak usah ceramah. Sana mandi," tanggapan Arsi dipotong saat telinganya mungkin sudah kebal dengan penolakan.

Arsi lebih memilih masuk kamar mandi dan mensucikan dirinya dari debu-debu jalanan.

Empat tahun tak kembali membuat semua orang kebingungan menyaksikan perubahan yang terjadi pada Arsi dari ujung kepala hingga kaki. Mau keluar rumah saja harus pakai kaos kaki, mau menikah pun ada aturan memisahkan tamu lelaki dan wanita, ditambah mau wisuda harus bebas make up.

Tentu semua orang bertanya, "Apa maunya anak ini?" Untuk apa begini? Mengapa harus begitu? Ah, semua pertanyaan mereka membuat kepala Arsi cenat-cenut. 

Mulai dikeluarkannya tabloid islam dan langsung diletakkan di atas meja. Diskusi panas pun mulai berselancar di atas meja tamu.

"Amerika hanya membuat propaganda kepada islam. Mereka pintar mengatur jalannya peristiwa besar seperti 911, opini masyarakat dunia dihadapkan kepada islam. Seolah dalam hancurnya tower itu, islam yang patut disalahkan, umat islam dituduh sebagai teroris, belum lagi penderitaan saudara kita di wilayah konflik. Di Palestina, sekutu Israel itu ya Amerika. Tapi anehnya, umat islam cuma duduk bengong dan pura-pura gak ngerti nasib saudaranya di Gaza. Mereka lebih heboh dengan isu 911," panjang lebar Arsi memaparkan analisa padatnya di tengah ruangan. 

Semua orang ternganga menyimak ia bicara lompat sana lompat sini. Diputarnya video penderitaan warga Gaza, semua orang makin merinding menyaksikan pembunuhan besar-besaran di Suriah. Tak sadar, satu per satu makin antusias mendengarkan ia berargumen kesana kemari. Sampai kemudian muncul sebuah tanggapan mengejutkan, Arsi pun meresponnya dengan santai.

"Oo.. jadi Amerika itu bukan polisi dunia, ya?"

"Jadi, Amerika itu benar-benar musuh islam. Astaghfirullah.." satu per satu respon ia tanggapi dengan cepat.

"Terus, sejak kapan kamu belajar politik?"

"Sejak saya ngaji islam secara totalitas dari akar sampai daunnya. Islam itulah yang membina saya agar taat dari masuk kamar mandi sampai masuk surga. Dan islam inilah yang mengenalkan saya cara membangun rumah tangga hingga bangun Negara," 

Percakapan dan kekepoan semua orang hari itu berakhir di atas meja makan. Perubahan drastis Arsi tak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang utopis. Islam memang mengejutkan, siapapun akan terpana ketika tau bahwa agama ini mengatur sejak kamu lahir hingga mengurusi kematianmu.

Islam satu-satunya agama paling komplit yang mengurusi cara kamu bersuci sampai berpolitik. Ini bukan agama gado-gado, melainkan rahmat. Ya, islam memang rahmatan lil 'alamin dengan segala perangkat aturannya yang membuat orang akan terperanjat dengan kedetailannya.

Islam mah gitu, mengistimewakan bagi yang mau berpikir dan sekedar formalitas bagi yang enggan diajak mikir. Arsi mengajak kita semua berpikir bahwa islam itu hadiah dari langit kepada penduduk bumi. 

Jangan kau pikir bingkisan di dalamnya adalah bom molotov, padahal bungkusan itu hanya berupa seperangkat alat yang akan menuntun jalanmu menuju rahmat. Islam dan Rahmat, itulah sebaik-baik hadiah bagi kaum yang berakal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun