Sayang sekali, orangtua di era digital lebih banyak mempercayakan kontrol putra-putri mereka kepada sekolah sebagai satu-satunya pendidik utama. Tak salah pepatah populer berbunyi, buah tak jatuh jauh dari pohonnya.Â
Meskipun premis ini tak lantas bisa dijadikan generalisir untuk membenarkan semua remaja mengikut perilaku orangtua, tetapi cukup ampuh dijadikan patokan bahwa generasi yang baik biasanya lahir dari orangtua yang lebih baik. Menjadi orangtua berarti siap menyelesaikan amanah sebagai pengajar sekaligus pemimpin bagi remajanya, agar mereka tidak mudah terjerumus pada lubang kemaksiatan. Orangtua memiliki posisi penting dalam menentukan identitas dan kepribadian remaja.
Peranan faktor eksternal bagi remaja begitu besar, sampai-sampai remaja diprediksi masa depannya hanya dengan melirik bersama siapa dan dengan apa ia berkembang. Jika remaja tumbuh dengan kasih sayang, bisa dipastikan ia akan memiliki ciri khas berbahasa yang santun, sopan dan penuh tata krama. Jika remaja tumbuh dengan cacian atau makian, jangan salahkan kelak mereka cenderung bergaya premanisme dan banyak meresahkan orang lain.Â
Begitu pula jika remaja tumbuh didalam lingkungan yang penuh nasehat dan teguran agar selalu menjadi tangguh menghadapi tantangan zaman, kita optimis mereka akan punya masa depan yang cerah. Untuk itu, pihak diluar diri remaja sebagai suri tauladan dituntut menyumbangkan pola asuh dan pola ajar yang sesuai dengan kebutuhan remaja kekinian.
Â
Pemerintah Harus Serius Membina Remaja
Sebab musabab problematika remaja di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah yang sistemik sebagai pangkal tonggak perubahan generasi. Apabila kebijakan yang lahir mendukung remaja giat berprestasi dan berevolusi, kita tidak usah kerepotan menakar dan mengukur jumlah kenakalan mereka setiap hari.Â
Namun sayang, berbagai kasus merebak menimpa remaja, mulai dari kasus married by accident; bullying, atau bahkan remaja tak lepas dari kondisi menyakitkan sebagai korban kehancuran rumah tangga orangtuanya. Hatta sampai saat ini, remaja Indonesia yang paling banyak menyumbangkan problem sosial kriminal di Indonesia, akibatnya kenakalan remaja merupakan sebuah permasalahan sistemik yang mestinya diselesaikan dengan solusi sistemik.
Menghadapi kasus kekerasan di rumah, sekolah, atau tawuran antar pelajar misalnya, pemerintah dapat secara bijak menggunakan kekuatan mereka untuk melakukan pencegahan dan pembinaan lebih intens terhadap remaja Indonesia.Â
Bukan tidak mungkin kedepan remaja berterimakasih jika sistem pemerintahan memberi ruang dan fasilitas bagi mereka untuk menyalurkan potensi pada tempatnya, bukan malah menyediakan bangku kosong bagi remaja hanya ketika mereka telah genap berusia 17 tahun lalu digadang sebagai peserta penyumbang suara terbesar saat pemilu.Â
Pada akhirnya remaja akan merasa bahwa dirinya tak diurusi secara sungguhan oleh pemerintahan ini, karenanya mereka hanya dipakai saat usianya telah sampai pada angka 17 dan telah dapat difungsikan suaranya untuk memilih konstituen peserta dari partai-partai politik. Ketidakseriusan pemerintah dalam membina generasi muda ini kemudian menimbulkan ketidakoptimisan dalam diri remaja untuk hijrah lebih baik.