Mohon tunggu...
Baiq Cynthia
Baiq Cynthia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger, Content Writer, dan Mom to Be

Menulis membuatmu ada. Email: Baiq_cynthia@yahoo.com IG : BaiqCynthia Facebook : Baiq Cynthia Sribulancer : Baiqcynthia

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebelum Waktunya Tiba Pasti Butuh Persiapan

20 Januari 2022   06:06 Diperbarui: 20 Januari 2022   06:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu momen yang awalnya bagiku hal yang berat untuk dijalani tetapi hikmahnya sangat besar untuk bekalku di hari-hari berikutnya.

Ketika aku mulai semangat membangun bisnis, tinggal di rumah sendiri dan mengurus semuanya seorang diri. Aku yang tengah hamil muda, saat itu sedang membuat samosa. Semacam makanan timur tengah yang kujual online dalam bentuk Frozen. 

Di saat yang sama aku ditelepon oleh pamanku. Bawasannya nenekku jatuh dan kini kondisinya parah (tidak bisa berdiri dan hanya berbaring di kasur). Anak-anaknya sibuk, karena aku dari kecil dirawat oleh nenek. 

Pamanku yang semuanya laki-laki kecuali ibuku aja. Seakan menunjukku sebagai satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Apalagi bagi mereka aku cuma anak kecil yang tidak memiliki kesibukan. Aku bertambah sedih, hancur, remuk batinku ketika melihat fotonya yang habis dilarikan ke UGD. 

Saat itu covid masih melonjak tajam. Beruntung Umik (panggilan untuk Nenekku) negatif hasilnya setelah di swab. Hasil Rontgen kakinya, tidak ada yang bermasalah dengan tulangnya. Tidak retak apalagi patah.

Baiklah aku nelpon adikku yang di Bali, untuk bantu merawat Umik. Pasalnya mamaku sendiri juga belum bisa merawat Umik. Jauh-jauh adikku, datang ke Ambulu. Ia menjemputku karena aku belum bisa naik sepeda motor. Kami memutuskan naik bus. 

Sungguh, aku berasa traveling dadakan dengan adikku. Aku pulang ke Situbondo sore itu, setelah semalaman begadang dengannya membuat samosa. 

Kalau ingat perjuangan pulang yang berjarak seratus km, dengan kendaraan umum itu menegangkan. Masih tinggi, angka covid, kendaraan umum beroperasi hanya sampai jam 20.00 WIB. 

Saat itu juga rata-rata penumpang menempuh jarak dekat dan ketika sampai terminal Bondowoso, hanya aku dan adikku penumpangnya. Bus tidak melanjutkan perjalanan ke Situbondo. 

Beruntung aku memiliki saudara di daerah sekitar terminal Bondowoso. Ya walhasil, bermalam di sana. Karena teminal juga udah sepi dan tidak ada bus lagi yang berangkat ke Situbondo. 

Esoknya aku lebih awal balik. Sudah ketar-ketir dengan keadaan Nenek yang kata pamanku enggak mau pakai popok, berjalan ke kamar mandi juga enggak bisa. Akhirnya pamanku membawa kursi roda yang dimodifikasi.

Aku sedih, kaget, bercampur aduk ketika sampai rumah. Kondisi tubuh nenek semakin ringkih, tidak ada yang merawat semenjak aku tinggal. Hingga akhirnya ia jatuh, kesandung karpet. 

Mata ini mulai panas, mulai berair dan aku kadang merasa bersalah tidak bisa membawa ke rumah baruku. Nenekku juga tipikal tidak kerasan di tempat baru. Belum lagi suhu udara di Ambulu lebih dingin daripada Situbondo.

Tempat tinggalnya sudah seperti kapal pecah, dan maklum pamanku hanya tinggal berdua dengan Umik. Maka hari itu aku dan adikku mulai merawat umi. Kami yang jarang bertemu akhirnya bisa merasakan kebersamaan. Terlebih pas lebaran ia tidak pulang.

Satu momen yang tidak bisa aku lupakan menemani Umik yang sejak muda cerita beliau yang bekerja keras, kini ia sudah berbaring saja. Sudah waktunya istirahat. Entahlah, beban apa yang masih ditanggung di usianya yang sudah hampir 80 tahun. 

Terkadang yang diucapkan olehnya itu tentang anak-anaknya. Walaupun anaknya sibuk dengan dunianya, menjenguk jarang-jarang. Tapi, samar-samar kudengar suaranya. 

Seakan mendoakanku, mendoakan anak-anaknya yang sudah memiliki cucu bahkan cicit. Aku terharu, dengan sosoknya yang Masyaallah. Ia terbaring lemah, tetapi yang dipikirkan justru kebahagiaan anak-anaknya.

Sebulan berlalu, Umik tetap tidak bisa duduk. Tulang tuanya makin rapuh, didatangkan beberapa tabib dan ahli syaraf maupun pengobatan tradisional. Tukang urutnya bilang kalau posisi tulang paha keluar dari pangkalnya. Sehingga ia tidak bisa duduk lama, apalagi berdiri. 

Mustahil bisa kembali, karena bagian otot ligamen sudah kendor. Pun kami berunding untuk pengobatan Umik di masa pandemi. Ternyata anak-anaknya lebih memilih suaranya sendiri-sendiri. 

Tidak ada yang mau mengalah, yang satu ingin dibawa ke mantri, satunya ke dokter umum, satunya mendatangkan tukang urut yang ahli dan terakhir mau bawa ke RS untuk diterapi. Kacau! 

Semuanya punya pandangan berbeda dan masing gak mau kalah dengan pendapatnya. Hingga Umik semakin bertambah parah penyakitnya. Ia pernah berkata padaku, "Aku Ridha kalau anak-anak mau ambil hartaku, tetapi tidak Ridha kalau berantem satu sama lainnya."

Di akhir bulan-bulan sebelum kepergiannya, aku benar-benar tertekan cukup dalam. Menjadi perawat pribadinya, kondisinya juga makin melemah. Kami membawa dokter yang bisa datang ke rumah, setiap hari. 

Nenekku sudah tidak bisa jalan dan keluarga kami tidak punya mobil. Aku menjaga siang-malam, karena dokter dari RS hanya membantu memasangkan infus dan memberikan suplemen agar mau makan dan pulih. Tetapi yang terjadi Umik kesakitan dengan jarum infus, terkadang menolak diinfus, meracau minta dibuka infusnya, enggak mau makan. 

Mengalami pendarahan hebat, sampai aku sendiri yang membersihkan darah maupun gumpalan-gumpalan itu. Tiap hari sebelum mau pakai popok dewasa, ia bolak-balik ke kamar mandi menungguku. Mandi juga dengan bantuanku.

Menurut dokter yang sering berkunjung, kondisinya memang udah menurun. Gumpalan darah yang keluar itu lumrah terjadi pada lansia, kemungkinan organ-organ yang sudah tidak produktif itu dikeluarkan. Aku sedih, melihat keadaannya yang semakin ringkih.

Aku sendiri memeluk diri, karena jauh dari suami, merawat balita dan tengah hamil masa pandemi.

Namun, aku bahagia menjalaninya bisa mengabdi untuknya. Aku terbiasa bangun tengah malam. Ketika Umi memanggil aku yang tadinya tidur langsung bangun. Kadang tengah malam beliau merasa haus atau lapar. Kadang hanya butuh ditemani. 

Perjuangan beliau merawatku dari bayi sampai aku dewasa begitu besar. Ia menjalani dengan sabar dan ikhlas. Walaupun udah janda, beliau masih mau bekerja (jualan jamu keliling) untuk biaya sekolahku. Sejak kecil pun aku terpisah dengan orang tuaku.

Kini aku sadari, perjuangan menjadi ibu itu tidak mudah. Mengorbankan diri demi anak, bahkan rela menukar nyawa agar anak bahagia, anak tidak seperti orang tua. Pun tidak melihat sang anak menangis.

Beliau meninggal ketika aku hamil 7 bulan. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah. Kehilangan orang yang kita cintai itu memang berat. Tetapi kepergiannya ialah sudah suratan takdir.

Aku udah ikhlas, ia sudah tidak merasa sakit lagi di dunia. Orang yang mengajarkanku bicara, makan, dan mengajarkan sejak dini untuk bertanggung jawab. Dia memang tidak melahirkanku, tetapi kasih sayangnya melebihi ibu kandungku.

Aku banyak merefleksikan makna hidup ini, tidak ada yang abadi. Kita tidak bisa bergantung pada orang lain, harus tetap mandiri dan mempersiapkan apa pun yang harus disiapkan.

Kematian itu hanya memisahkan jiwa dan raga tetapi kenangan tidak bisa dipisahkan di ingatan kecuali kita sendiri yang mengalihkan pikiran. Sebelum lahiran aku butuh persiapan, begitu juga dengan kematian yang datangnya mendadak. Tentunya butuh persiapan lebih banyak lagi.

Masih kuingat suara paraunya, kini aku sadari beliau sudah pergi. Tetapi beliau sudah banyak menanam bibit kebaikan di dalam diriku. Setiap akan aktivitas seperti ada yang ikut mengajariku. Ya kata-kata beliau sudah menetap di hati.

Setelah kepergiannya aku jadi lebih bersemangat lagi untuk bekerja lebih keras lagi. Mencari pekerjaan freelance karena sudah tidak mampu membuat kue samosa, waktunya hampir habis untuk membersamai dua bocilku. 

Aku sudah lahiran di akhir tahun 2021. Penutupan tahun yang manis. Bertaruh dengan nyawa demi kelahiran bayi yang manis ini. Tanpa kusangka setiap melihat bayi ini, aku ingat dengan Umik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun