Kasus video kekerasan yang terjadi di sebuah SD dan menggegerkan jagad pendidikan benar-benar membuka mata kita. Bahwa, ada yang “kurang benar” dalam kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah. Dalam video tersebut nampak jelas perbuatan itu dilakukan saat guru TIDAK berada di tempat. Dari beberapa sumber, sang guru berada di lokasi lain di sekolah tersebut. Ini saja yang gurunya masih di sekolah, siswa mampu berbuat seperti itu. Tak terbayangkan, andai guru yang bersangkutan tak berada di tempat alias absen !!
Semua perlu introspeksi...Siapa saja?
1.
Dinas Pendidikan
Oleh karenanya, saya sangat prihatin dengan apa yang dilakukan oleh Beberapa Dinas Pendidikan (atau banyak?) pada saat melaksanakan Diklat kurikulum 2013. Sebuah sekolah wajib mengirimkan 10 guru pada saat JAM EFEKTIF. Andai sekolah tersebut adalah sekolah kecil yang gurunya Cuma beberapa belas orang, tak terbayangkan bagaimana sibuknya guru piket meng-handle KBM pada hari itu. Di saat seperti inilah kejadian seperti di video itu bisa berulang. Dinas pendidikan harusnya konsisten.
2.
Guru
Kehadiran seorang guru adalah hal paling prinsipil dalam kegiatan belajar mengajar apa pun kurikulum yang dipergunakan. Terutama pada level sekolah Dasar dan Menengah Pertama. Kenapa? Karena anak-anak usia ini masih sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan. Kita tidak bisa langsung berkata
“Khan ini kurikulum 2013...guru Cuma sebagai fasilitator... siswa bisa kerja sendiri dan mandiri”
Lalu, sang guru lenyap entah kemana........................
Dengan adanya kenaikan kesejahteraan, harusnya guru pun meningkatkan pelayanannya kepada siswa. Tidak masuk mengajar tanpa alasan jelas adalah SEBUAH DOSA. Ini harus dipegang teguh. Yang terjadi kadang sebaliknya. Jadi gak heran, di beberapa tempat, banyak sekali PNS Guru (dan Non guru) tertangkap Pol PP sedang asyik belanja saat jam kerja. Juga, hindarilah acara-acara keluarga yang tidak terlalu penting pada hari-hari efektif seperti mengkhitankan anak, jagong manten de el el. Ingat, kasian anak-anak yang kita tinggalkan di sekolah. LKS tak bisa menggantikan peran guru. LKS Tak bisa memberi nasehat. LKS tak bisa memberi sentuhan sayang pada anak.
3.
Orang Tua dan masyarakat
Mendidik anak bukan Cuma tugas guru. Ingat, anak berada di sekolah paling lama 6 jam. Setelah itu dia kembali ke masyarakat. Kepedulian orang tua sangat dibutuhkan. Di tulisan terdahulu saya pernah menyampaikan
“ada orang tua kaget saat menerima surat dari sekolah tentang undangan sosialisasi Ujian Nasional...lalu si orang tua berkomentar:
Loh...anak saya sudah kelas 9 toh?”
Bayangkan, orang tua sampai tidak tahu anaknya kelas berapa !!!!!! Kenapa ini bisa terjadi? Karena banyak orang tua sekarang KIAN MALAS. Malas mencari nafkah dan memperhatikan anaknya akibat banyaknya beasiswa yang digelontorkan ke anak. Kebetulan, di banyak sekolah pedesaan/pinggiran, mayoritas siswa mendapat BSM (bantuan Siswa Miskin). Ya, Miskin...bukan beasiswa prestasi. Anak bak INVESTASI berkepanjangan (3 tahun) bagi orang tua. Lumayan, sekolah dibayar! Buku Gratis!!!! Bahkan, pada kasus tertentu seperti siswa yang “retrieval”, siswa-siswa ini dibelikan tas, sepatu dan peralatan tulis menulis...ckckckckkckkk. Dan dari sinilah kepedulian orang tua dan masyarakat kian pudar. Bukan Cuma peduli saat menerima UANG beasiswa sepetti BSM sehingga mau antre hingga berjam-jam!
Saya pernah bertanya ke siswa saya selepas Mid Semester
“Coba tunjuk jari...ada berapa siswa yang ditanyai orang tua tentang hasil Mid-nya?”
Dari 30-an anak, paling banter Cuma 4-6 anak yang ditanya. Orang tua lain tidak peduli sedikit pun.Bahkan, saat belajar, nyaris anak-anak tak pernah ditemani orang tuanya. Nah, setelah ada kasus, mulailah Orangtua dan masyarakat “menyalahkan sekolah” seakan mereka telah berlepas tangan atas masa si anak. Inilah yang terjadi. Mereka bahkan tak tahu apa yang terjadi pada anaknya di rumah, di warnet dan di lingkungan bermain temannya.
4.
Komite Sekolah
Tugas Komite sekolah yang utama adalah untuk melakukan pertimbangan dan pengawasan terhadap mutu dan pelayanan sekolah sesuai dengan Pasal 56 Ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berbunyi “Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri, yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”.
Selain itu, Komite Sekolah dibentuk bertujuan untuk menjembatani hubungan antara pihak sekolah dan masyarakat. Pun, komite sekolah bisa menjadi corong sekolah untuk menyampaikan program-program sekolah. Namun, yang terjadi, ada komite sekolah (oknum) yang datang ke sekolah hanya saat rapat atau proyek pembangunan !! Nyaris, tak pernah mereka bertanya tentang perkembangan siwa secara keseluruhan, mulai dari nilai, sikap dan perilaku mereka. Mereka menganggap itu urusan guru. Bahkan, yang terjadi di beberapa sekolah, Komite sekolah berusaha “menjegal” program-program sekolah demi mendapat nama di tengah masyarakat karena beberapa oknum Komite ternyata menggunakan jabatannya untuk kepentingan Politik (Pilkades, misalnya). Dan, baru setelah ada kasus, pihak Komite mulai urun suara (bukan solusi). Oleh karenanya, memang sangat diperlukan anggota Komite yang betul-betul Komitmen ikut memajukan dan mengawal pendidikan di sekolah.
Jadi, introspeksi dan tidak saling menyalahkan adalah solusi terbaik.
Salam pendidikan !!
........................
Poentjakgoenoeng, 15-10-14
(tumben...koq guwe bisa serius, ya?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H