Alkisah...di sebuah sekolah saat pelajaran Bahasa Indonesia
Guru:
“Anak-anak.......tolong buat sebuah cerita esei sebanyak minimal 2 halaman folio”
Siswa:
Maaf bu.......kami siap melaksanakan tugas ini. Tapi.....bisakah ibu menunjukkan karya esei yang pernah ibu buat agar kami bisa jadikan pedoman?”
Dan Ibu guru itu pun terdiam......Beliau pantas terdiam karena selama ini beliau hanya memperkaya diri dengan ribuan teori tulis menulis bukan dengan menghasilkan karya, bahkan sebiji pun.
Menulis sepertinya menjadi momok menakutkan bagi sejumlah (baca: tidak semua) guru. Mengapa momok? Karena selama ini mereka terlena. Terlena dengan pangkat yang begitu mudah dicapai. Apalagi saat itu naik pangkat menggunakan angka kredit. Dengan modal puluhan sertifikat (meski Cuma sebagai peserta dan bahkan ada yang Cuma beli) hingga tugas mendidik dan mengajar pun jadi terbengkalai, para guru ini melenggang tiap 2 tahun sekali dengan pangkatnya. Dan, anehnya tak satu pun poin itu dari MENULIS !!!
Saat diminta menulis, maka ribuan dalih akan terucap:
Ngapain nulis, wong bentar lagi juga pensiun
Ngapain nulis, pangkat sudah mentok IV/a
Ngapain nulis, emang dibayar berapa? Tanpa nulis, sertifikasi udah dapet
Ngapain nulis, toh tiap tahun gaji naik
Nulis? Emang ada sertifikatnya???
Itulah mental-mental yang perlu direvolusi. Mental yang terlena di zona nyaman.
Kembali ke cerita di atas, lalu apa yang kita peroleh sebagai guru dari kegiatan tulis menulis? Saya hanya ingin berbagi pengalaman sejak nge-Blog di Kompasiana. Menjadi Kompasianer sejak 1999, sudah 1000 lebih tulisan yang saya buat. Saya sendiri tidak menyangka kenapa bisa segitu banyaknya padahal sebelumnya sekali pu saya belum pernah mempublikasikan tulisan. Ternyata dengan menulis saya menarik berbagai kesimpulan tentang pentingnya guru menulis
1.
Kepuasan Batin.
Guru adalah Gudang Ilmu. Dengan menulis, guru bisa berbagi kepada siapa saja. Bisa ke sesama guru, ke pada siswa dan orang lain. Sharing and Connecting itu kuncinya! Bagaimana caranya, selain menulis CAR (Class Action Research/Penelitian Tindakan Kelas) Guru pun dapat menulis apa saja sesuai dengan kemampuannya. Dengan menjadi Blogger seperti Kompasianer, guru dapat men-sharing ilmu yang dimilikinya. Bisa berupa tips-tips belajar, semisal. Bahkan, di Kompasiana, ada banyak guru yang tak hanya menulis masalah edukasi. Tetapi, juga Olahraga, politik, budaya, sosial dll. Terlebih, banyak yang berusaha tidak melewatkan haritanpa sebuah tulisan. Inilah seninya dan indahnya menulis. Saat tulisan kita dibaca, di komentari lalu di-vote. Apalagi sampai tulisan kita menjadi Head Line yang menjadi diskusi terbuka. Di sinilah kita akan menemukan sebuah kenikmatan menulis dan makna sharing akan kian terasa.
2.
Manfaat secara Materi
Menulis bisa membuat kita men jadi KAYA. Tidak percaya, baca saja royalti yang dimiliki oleh penulis Laskar Pelangi Andrea Hirata! Okelah, Andrea Hirata BUKAN GURU. Saya punya sahabat baik seorang guru bernama Johan Wahyudi. Dengan menulis buku, di antaranya buku Pelajaran Bahasa Indonesia dan kolumnis media cetak, beliau mendapat royalti yang berbuah menjadi Ruko, rumah yang bagus dan kendaraan.
Tentunya, dengan kehidupan lebih baik. Begitu pula denangan Om Jay (Wijaya Kusumah) yang bukunya tentang edukasi telah menghiasi rak-rak buku Gramedia. Lalu, bagaimana dengan saya sendiri? Meski tidak sehebat beliau, dua tulisan saya bisa masuk Kompas Cetak dan dibayar
Lalu, salah satu puisi saya berhasil menjadi runner-up puisi Ramadhan dengan hadiah lumayan gedhe. Senang? Jelasss.....Apalagi saya BUKAN guru Bahasa Indonesia, BUKAN penyair handal dan cuma guru pedalaman Gunungkidul.
3.
Efek Motivasi
Menulis bikin terkenal? Ya..... Nama kita akan terbaca dan diingat. Semakin baik tulisan kita, maka tulisan kita akan banyak di-share orang lain. Dan efek ini akan berimbas pada memotivasi orang lain untuk juga ikut menulis. Sebagai guru, ternyata tulisan saya di blog Kompasiana banyak dibaca oleh siswa saya. Dan mereka pun termotivasi untuk ikut menulis seperti Muhammad Muizzudin (salah satu siswa di Madrasah saya). Dia mendaftar Kompasiana beberapa bulan lalu. Saat saya tanya alasannya ikut menulis adalah dia ingin berbagi dan menuangkan pemikirannya agar dibaca orang lain dan tentunya tidak mau kalah dari gurunya.
Anak yang sebelumnya TIDAK PERNAH ikut tulis menulis, tahu-tahu mendadak bisa menulis Puisi, Budaya dan politik. Kini dia sedang semangat-semangatnya menulis. Dalam satu hari bisa 2-3 postingan. Dan saya pun menulis pada awalnya juga termotivasi dari rekan sekantor saya yang juga guru.
4.
Mempermudah Munculnya Inspirasi
Practice Makes Perfect..... nampaknya sangat sesuai dengan kebiasaan tulis-menulis yang saya lakukan. Tulisan pertama saya di Kompasiana memakan waktu sekitar 2 minggu. Selanjutnya, terkadang hanya dalam hitungan bahkan menit sebuah tulisan bisa saya buat. Inspirasi muncul begitu mudahnya hanya karena hal-hal sepele, semisal membaca tulisan teman/orang lain, diskusi. Tiba-tiba terlintas ada inspirasi yang muncul. Langsung jadi tulisan.
Lalu, bagaimana caranya agar Guru mendapat wadah untuk mengembangkan tulisannya? Silakan bisa membuat blog sendiri. Namun, resikonya terkadang blog kita sepi pembaca sehingga semangat yang semula menyala perlahan padam. Akibatnya, sharing dan connecting tak bisa tercapai. Oleh karenanya, saya sangat menganjurkan agar para Guru bisa ikut Blog keroyokan seperti Kompasiana. Di mana, sesama Kompasianer saling mengapresiasi tulisan dan saling berbagi
Jadi, buat rekan-rekan guru ayo kita menulis. Apa pun itu.
Mau buku pelajaran, karya Ilmiah, PTK, teori kependidikan, pengalaman mengajar, humor, Puisi, atau apa pun. Selama tujuan dan maksud kia berbagi demi kebaikan. Ingatlah.....
We cannot teach A ROSE to our students through R-O-S-E but by showing what is a rose like....
(kita tak bisa mengajarkan MAWAR pada siswa HANYA melalui huruf M-A-W-A-dan R.....tapi tunjukkan, bagaimana rupa MAWAR itu)
Juga, percayalah...menulis akan membuat kita HIDUP DUA KALI. Pertama, saat KITA menuliskannya dan kedua, saat KITA membacanya kembali.............
Terakhir, saya sampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Tanoto Foundation dan pemprakarsanya, Bapak Sukanto Tanoto, atas komitmennya untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia
Salam menulis!
..................................
Poentjakgoenoeng, 211114
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H