Bagaimana jika wabah ini semakin meningkat setiap hari, apa kita akan tetap mendekam di rumah seperti ini sampai akhir tahun?
Begitulah kira-kira pertanyaan pesimistis dari banyak orang terkait kondisi yang semakin mencekam karena ketakutan terhadap wabah corona yang hampir menuntaskan bulan ketiganya menjangkiti masyarakat Indonesia.
Tentu saja hal itu bukan sekedar ungkapan pesimistis, tetapi semua kemungkinan yang bisa terjadi hatta itu terburuk sekalipun patut untuk direnungkan dari sekarang.Â
Masyarakat pun sepertinya sudah bosan dengan ketidakpastian yang mereka hadapi, terutama kaitannya dengan ekonomi yang bisa menopang kelangsungan asap dapur supaya bisa tetap mengepul.
Kebosanan yang melanda masyarakat lalu bertindak di luar himbauan protokol kesehatan sepertinya bisa saja terjadi jika tidak ada kejelasan kapan wabah ini akan mau diselesaikan. Pun kejelasan atas nasib mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.Â
Tidak hanya itu, masyarakat religius yang sudah rindu untuk beribadah bersama merasa dibodohi oleh penguasa ketika larangan-larangan ibadah berjamaah justru dilakoni dengan tindakan represif aparat-aparat negara, sementara pusat-pusat hiburan, perbelanjaan justru diberikan kelonggaran untuk tetap beroperasi. Pun dengan pemerintah yang mengadakan konser meski tujuan ceritanya untuk mengais donasi.
Tentu hal itu memicu polemik, ketika pemerintah menghimbau untuk semua tempat ibadah meliburkan dulu ibadah berjamaah, di satu sisi muncul pembangkangan dari masyarakat religius (civil religious disobedience) yang tetap merasa harus beribadah dengan dalih untuk menolak bala'.
Mereka pun menganggap orang-orang yang mendukung pemerintah meniadakan kegiatan-kegiatan ibadah berjamaah sebagai lemah iman dan itu muncul sebab kemalasan beribadah. Persangkaan atas kemalasan beribadah menjadikan masyarakat terdikotomi antara kelompok yang mendukung upaya pemerintah dalam pencegahan penyebaran wabah.Â
Kelompok lainnya pun berdalih harus tetap diadakan ibadah berjamaah untuk menolak bala'. Toh juga di masyarakat mereka tidak ada yang terjangkit, itu hanya ketakutan berlebih dari kelompok yang didasari kemalasan beribadah. Begitulah kira-kira persangkaannya.
Masyarakat Terdikotomi
Polemik masyarakat yang terdikotomi ini jelas bukan tanpa sebab. Pemerintah yang gagap dengan komunikasi risiko langsung saja mengambil keputusan pukul rata dengan meniadakan ibadah berjamaah tanpa memikirkan terlebih dahulu sejauh mana persebaran wabah di wilayahnya.Â
Begitu pun dengan MUI sebagai representasi intelektual keagamaan, lembaga ini turut larut dengan kekhawatiran berlebihan disebabkan moral panic (kepanikan moral) atas pemberitaan-pemberitaan terkait penyebaran wabah.
Masyarakat religius tradisional tentu saja banyak yang menentang penutupan tempat ibadah karena wabah ini. Mereka bahkan meromantisir, bernostalgia dengan kejadian-kejadian masa lalu ketika wabah atau bala' terjadi, justru mereka semakin giat mengumpulkan masyarakat untuk ibadah bersama, membaca amalan-amalan doa, zikir bersama, berkeliling ke seluruh penjuru kampung dengan membaca shalawat atau diistilahkan selakaran.Â
Sampai pada tindakan ekstrim menancapkan bambu yang digantungkan berbagai macam penganan dari ketan yang dibungkus daun kelapa, ketupat, juga ketupat yang di dalamnya di isi telur ayam utuh bukan beras seperti biasanya. Bambu itu ditancapkan di kiri kanan setiap jalan pintu masuk ke kampung tersebut.
Persepsi mereka bahwa Tuhan yang menurunkan wabah ini, maka salah satu ikhtiar yang harus dilakukan dengan memperbanyak memohon kepada Tuhan, bukan semakin menjauhkan diri dari ibadah-ibadah berjamaah.
Logika seperti ini tentunya cukup berterima di masyarakat tradisional, terlebih dibarengi dengan pengalaman yang pernah dilalui.Â
Apa bedanya bala' kekeringan, panas yang luar biasa menyengat, gempa, bahkan penyakit-penyakit lainnya yang menimpa masyarakat, mereka hadapi dengan logika keagamaan bahwa itu sebagai cobaan Tuhan. Dan mereka diminta kembali untuk lebih dekat kepada Tuhan, salah satunya dengan Ibadah berjamaah dan memohon ampun bersama.
Tetapi ketika wabah penyakit yang disebut virus yang bisa dengan cepat menjangkiti masyarakat justru mereka dilarang untuk beribadah berjamaah, yang sama artinya itu menjauhkan diri dari Tuhan, padahal tidak ada yang terjangkiti di wilayah tersebut. Begitulah dalih yang dijadikan dasar.
Dalih-dalih masyarakat religius tradisional seperti ini tentu membutuhkan penyadaran bersama bahwa upaya meniadakan sementara ibadah berjamaah sebagai tindakan pencegahan karena banyak pula masyarakat yang terlihat sehat (OTG) tetapi ternyata di dalam tubuh mereka sudah terjangkiti oleh virus.
Hal ini mungkin belum bisa berterima di mereka, karena yang dipahami bahwa individu yang terkena wabah, yang sakit itu sendiri yang harus diisolasi untuk tidak bergaul dengan masyarakat.
Logika Keagamaan VS Logika Medis
Logika mereka, jika semua masyarakat tidak diizinkan untuk beribadah berjamaah baik jumatan maupun shalat fardhu setiap waktu, justru bukan hanya wabah yang menjadi cobaan, tetapi juga ujian keimanan karena masyarakat justru berjamaah meninggalkan ibadah yang salah satunya sebagai upaya memohon kepada Tuhan untuk menghentikan bala'.Â
Pemerintah tentu saja dilematis menyikapi ini, kecuali memang pemerintah yang juga lemah iman karena kemalasan seperti yang disangkakan di atas.
Di satu sisi logika keagamaan cukup berterima dengan mengadakan doa bersama bahkan setiap waktu harus memakmurkan tempat-tempat ibadah untuk memohon terhindar bala'.
Di sisi lainnya logika medis pun cukup beralasan karena penyebaran wabah yang sangat mudah dan cepat bisa saja semakin mendongkrak angka positif terjangkit, karena banyak juga yang tidak sakit (Orang Tanpa Gejala) tetapi virus sudah menjangkiti mereka.Â
Hal itupun membuat masyarakat kebingungan untuk memilih sisi mana mereka. Mengikuti logika masyarakat religius tradisional dengan ikut ibadah bersama untuk menolak bala', sementara merekapun ketakutan dengan logika medis yang sudah mapan juga di masyarakat.
Ketika banyak masyarakat kita menolak ibadah berjamaah ditiadakan, mereka pun membandingkan itu dengan pasar dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya masih tetap buka. Di sinilah muncul perdebatan bahwa pemerintah pun mengenteng-entengkan ibadah sebab kemalasan.Â
Tokoh agama yang lebih bijak dengan keluasan ilmu biasanya mengajukan alasan lainnya juga bahwa ketakutan atas terkena penyakit sudah cukup menjadi rukhshah (keringanan) dalam beragama, dan mentaati himbauan pemerintah untuk meniadakan ibadah berjamaah sementara waktu. Terlepas itu sebab kemalasan ataupun mengenteng-entengkan ibadah hanya Tuhan yang mengetahui hati hamba-Nya.
Karena itu, kekhawatiran masyarakat religius sehingga memunculkan pembangkangan (civil religious disobedience) dengan tetap melaksanakan ibadah berjamaah tidak serta merta juga mengesahkan aparat negara bisa bertindak represif terhadap masyarakat.Â
Perlu adanya komunikasi bersama terkait resiko wabah, ataupun kesepakatan-kesepakatan yang bisa lebih diterima masyarakat tanpa harus represif.
Begitupun dengan logika medis modern, tidak semua hal yang dikhawatirkan akan terjadi di masyarakat bisa begitu saja terjadi. Penting sekali memberikan pemahaman yang mapan kepada masyarakat terkait penyebaran wabah, dengan tetap berupaya menerima logika-logika keagamaan sebagai ikhtiar juga dalam menghadapinya.
Masyarakat kita yang yakin untuk mengadakan ibadah berjamaah, Â dipersangkakan baik saja semoga tidak ada yang terjangkit, bukan untuk diejek tidak mematuhi aturan pemerintah.Â
Mereka juga mempunyai logika keagamaan yang mapan dengan keyakinan mereka terkait ikhtiar untuk menolak bala' wabah ini. Karena keyakinan itu pun bisa menjadi obat, sugesti untuk senantiasa bisa terhindar dari bala' tersebut.
Begitu juga dengan masyarakat kita yang meyakini logika medis sebagai ikhtiar pencegahan yang mapan. Mereka tidak perlu dipersangkakan upaya mendukung peniadaan ibadah sementara karena sebab kemalasan ataupun mengenteng-entengkan ibadah.Â
Logika merekapun cukup berterima juga, ibadah masih bisa di rumah, doa bersama tetap dilaksanakan, dan tidak ada yang salah untuk sementara menghindari perkumpulan banyak orang, termasuk ibadah berjamaah ini. Karena tidak ada yang tahu virus bisa saja ada di antara mereka yang berkumpul itu meski tanpa gejala.
Klaim Kebenaran
Pertentangan-pertentangan pemahaman seperti ini tidak perlu dibiarkan berlarut-larut. Perlu adanya kesepakatan bersama jika memang ibadah berjamaah tetap dilaksanakan dengan dalih di wilayah itu tidak ada yang terjangkit, tetapi tetap memperhatikan protokol kesehatan ketika itu dilaksanakan.
Misalnya dengan tetap menggunakan masker, menyediakan tempat cuci tangan sebelum masuk ke tempat ibadah, membersihkan area tempat ibadah dengan disinfektan, menghindari persentuhan, dan menghimbau kepada jamaah yang merasa sakit untuk tetap berdiam di rumah.
Hal ini juga memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk merubah pola pikir terkait pemahaman atas penyebaran wabah ini, bukan terus-menerus direpresif dengan meniadakan ibadah berjamaah yang justru menimbulkan reaksi di masyarakat, terutama yang menolak karena menganggap itu mengenteng-entengkan ibadah.
Logika medis yang dijadikan dasar untuk menutup sementara tempat ibadah pun mestinya dilihat dahulu kondisi wilayah itu dengan persebaran yang sudah positif, apakah memang ada yang terjangkit di wilayah itu atau tidak.
Masyarakat pun berhak tahu atas keterbukaan informasi sejauh mana zona-zona penyebaran wabah sehingga mereka bisa lebih waspada, dan menerima logika-logika medis yang menganjurkan jaga jarak, ataupun menghindari perkumpulan banyak orang, termasuk jamaah ibadah.
Adapun logika yang menyebutkan tempat ibadah ditutup lalu pasar dibiarkan tetap beroperasi, ini sebenarnya perbandingan yang kurang tepat juga. Karena tempat ibadah tidak bisa disamakan dengan pasar, bahkan ada yang menyebutkan bahwa itu justru merendahkan tempat ibadah jika disamakan.
Ibadah berjamaah (terutama di masyarakat Muslim) tidak bisa dilakukan dalam keadaan was-was, takut karena penyakit, dan ibadah itu menuntut kita untuk tidak berjarak. Ibadah itu pun bukan hanya di tempat ibadah, bisa dilakukan di rumah juga, dan tidak mengurangi nilai ibadah itu sendiri.
Sedangkan pasar adalah tempat yang dibutuhkan banyak orang baik penjual dan pembeli. Dan orang bisa membentuk jarak ketika di pasar. Begitu juga orang yang datang belanja bisa sekali dua minggu agar tidak terlalu sering ke pasar agar menghindari terjangkit. Jika pasar ditutup, pemerintah harus siap menopang semua gaya hidup, kebutuhan masyarakatnya, termasuk penjual yang tidak lagi bisa berjualan.
Jadi, perbandingan antara penutupan sementara tempat ibadah, yang masih bisa dilaksanakan di rumah, dengan pasar yang juga sama-sama terkonsentrasi banyak orang bukanlah perbandingan yang setara. Pasar ditutup, ekonomi akan lumpuh.
Untuk itu, pertentangan-pertentangan logika dalam masyarakat sudah semestinya disudahi. Tidak ada yang boleh mengklaim bahwa mereka yang tetap ibadah berjamaah, berdoa bersama, sebagai pihak yang paling benar. Lalu menuding yang mendukung penutupan sementara tempat ibadah sebagai bagian dari kemalasan, lemah iman, ataupun mengenteng-entengkan ibadah.
Begitu juga dengan mereka yang yakin dengan logika medis untuk mencegah penyebaran, tidak semestinya menganggap yang tetap berjamaah itu sebagai bagian dari yang membangkang atas himbauan pemerintah, tidak taat. Selama tidak ada korban, dan penyebaran bisa ditekan, layaklah ikhtiar-ikhtiar ini tetap digalakkan.
Termasuk ikhtiar melalui doa bersama, selama tidak ada yang terjangkit yang ikut. Pun ikhtiar dengan menghindari perkumpulan, salah satunya ibadah berjamaah jika memang diyakini itu bisa mencegah penularan, di samping upaya-upaya masif lainnya.
*Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H