Di sisi lainnya logika medis pun cukup beralasan karena penyebaran wabah yang sangat mudah dan cepat bisa saja semakin mendongkrak angka positif terjangkit, karena banyak juga yang tidak sakit (Orang Tanpa Gejala) tetapi virus sudah menjangkiti mereka.Â
Hal itupun membuat masyarakat kebingungan untuk memilih sisi mana mereka. Mengikuti logika masyarakat religius tradisional dengan ikut ibadah bersama untuk menolak bala', sementara merekapun ketakutan dengan logika medis yang sudah mapan juga di masyarakat.
Ketika banyak masyarakat kita menolak ibadah berjamaah ditiadakan, mereka pun membandingkan itu dengan pasar dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya masih tetap buka. Di sinilah muncul perdebatan bahwa pemerintah pun mengenteng-entengkan ibadah sebab kemalasan.Â
Tokoh agama yang lebih bijak dengan keluasan ilmu biasanya mengajukan alasan lainnya juga bahwa ketakutan atas terkena penyakit sudah cukup menjadi rukhshah (keringanan) dalam beragama, dan mentaati himbauan pemerintah untuk meniadakan ibadah berjamaah sementara waktu. Terlepas itu sebab kemalasan ataupun mengenteng-entengkan ibadah hanya Tuhan yang mengetahui hati hamba-Nya.
Karena itu, kekhawatiran masyarakat religius sehingga memunculkan pembangkangan (civil religious disobedience) dengan tetap melaksanakan ibadah berjamaah tidak serta merta juga mengesahkan aparat negara bisa bertindak represif terhadap masyarakat.Â
Perlu adanya komunikasi bersama terkait resiko wabah, ataupun kesepakatan-kesepakatan yang bisa lebih diterima masyarakat tanpa harus represif.
Begitupun dengan logika medis modern, tidak semua hal yang dikhawatirkan akan terjadi di masyarakat bisa begitu saja terjadi. Penting sekali memberikan pemahaman yang mapan kepada masyarakat terkait penyebaran wabah, dengan tetap berupaya menerima logika-logika keagamaan sebagai ikhtiar juga dalam menghadapinya.
Masyarakat kita yang yakin untuk mengadakan ibadah berjamaah, Â dipersangkakan baik saja semoga tidak ada yang terjangkit, bukan untuk diejek tidak mematuhi aturan pemerintah.Â
Mereka juga mempunyai logika keagamaan yang mapan dengan keyakinan mereka terkait ikhtiar untuk menolak bala' wabah ini. Karena keyakinan itu pun bisa menjadi obat, sugesti untuk senantiasa bisa terhindar dari bala' tersebut.
Begitu juga dengan masyarakat kita yang meyakini logika medis sebagai ikhtiar pencegahan yang mapan. Mereka tidak perlu dipersangkakan upaya mendukung peniadaan ibadah sementara karena sebab kemalasan ataupun mengenteng-entengkan ibadah.Â
Logika merekapun cukup berterima juga, ibadah masih bisa di rumah, doa bersama tetap dilaksanakan, dan tidak ada yang salah untuk sementara menghindari perkumpulan banyak orang, termasuk ibadah berjamaah ini. Karena tidak ada yang tahu virus bisa saja ada di antara mereka yang berkumpul itu meski tanpa gejala.