Masyarakat religius tradisional tentu saja banyak yang menentang penutupan tempat ibadah karena wabah ini. Mereka bahkan meromantisir, bernostalgia dengan kejadian-kejadian masa lalu ketika wabah atau bala' terjadi, justru mereka semakin giat mengumpulkan masyarakat untuk ibadah bersama, membaca amalan-amalan doa, zikir bersama, berkeliling ke seluruh penjuru kampung dengan membaca shalawat atau diistilahkan selakaran.Â
Sampai pada tindakan ekstrim menancapkan bambu yang digantungkan berbagai macam penganan dari ketan yang dibungkus daun kelapa, ketupat, juga ketupat yang di dalamnya di isi telur ayam utuh bukan beras seperti biasanya. Bambu itu ditancapkan di kiri kanan setiap jalan pintu masuk ke kampung tersebut.
Persepsi mereka bahwa Tuhan yang menurunkan wabah ini, maka salah satu ikhtiar yang harus dilakukan dengan memperbanyak memohon kepada Tuhan, bukan semakin menjauhkan diri dari ibadah-ibadah berjamaah.
Logika seperti ini tentunya cukup berterima di masyarakat tradisional, terlebih dibarengi dengan pengalaman yang pernah dilalui.Â
Apa bedanya bala' kekeringan, panas yang luar biasa menyengat, gempa, bahkan penyakit-penyakit lainnya yang menimpa masyarakat, mereka hadapi dengan logika keagamaan bahwa itu sebagai cobaan Tuhan. Dan mereka diminta kembali untuk lebih dekat kepada Tuhan, salah satunya dengan Ibadah berjamaah dan memohon ampun bersama.
Tetapi ketika wabah penyakit yang disebut virus yang bisa dengan cepat menjangkiti masyarakat justru mereka dilarang untuk beribadah berjamaah, yang sama artinya itu menjauhkan diri dari Tuhan, padahal tidak ada yang terjangkiti di wilayah tersebut. Begitulah dalih yang dijadikan dasar.
Dalih-dalih masyarakat religius tradisional seperti ini tentu membutuhkan penyadaran bersama bahwa upaya meniadakan sementara ibadah berjamaah sebagai tindakan pencegahan karena banyak pula masyarakat yang terlihat sehat (OTG) tetapi ternyata di dalam tubuh mereka sudah terjangkiti oleh virus.
Hal ini mungkin belum bisa berterima di mereka, karena yang dipahami bahwa individu yang terkena wabah, yang sakit itu sendiri yang harus diisolasi untuk tidak bergaul dengan masyarakat.
Logika Keagamaan VS Logika Medis
Logika mereka, jika semua masyarakat tidak diizinkan untuk beribadah berjamaah baik jumatan maupun shalat fardhu setiap waktu, justru bukan hanya wabah yang menjadi cobaan, tetapi juga ujian keimanan karena masyarakat justru berjamaah meninggalkan ibadah yang salah satunya sebagai upaya memohon kepada Tuhan untuk menghentikan bala'.Â
Pemerintah tentu saja dilematis menyikapi ini, kecuali memang pemerintah yang juga lemah iman karena kemalasan seperti yang disangkakan di atas.
Di satu sisi logika keagamaan cukup berterima dengan mengadakan doa bersama bahkan setiap waktu harus memakmurkan tempat-tempat ibadah untuk memohon terhindar bala'.