Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa dan Keadaban Sosial

19 Mei 2020   17:15 Diperbarui: 19 Mei 2020   17:10 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlihat sekali mata-mata yang sayu karena sepinya pembeli di antara pedagang pinggir jalan sore itu. Puasa ramadhan kali ini seolah hening menyelimuti. 

Para penunggu uluran tangan di pinggir jalan mungkin sudah kehilangan harapan karena belum ada satupun yang berhenti sekedar membagikan takjil untuk berbuka ataupun nasi bungkus. 

Semua terlihat muram, dan secara tak sengaja mataku menangkap sosok tua di depan gerobaknya sambil terkantuk menunggu pembeli. Sudah jauh terlewat, tetapi niat untuk mendekati sosok tua itu memaksaku berbalik arah.

Di atas gerobaknya berjejer buah sawo yang sudah matang. Kantuknya seolah hilang berganti gembira ketika ada yang berhenti di depan dagangannya. 

Sembari tangannya langsung meraih kantong plastik hitam dan mulai memilah buah-buah yang agak besar dan matang bersiap untuk disodorkan ke pembeli. Tetapi tentunya sebelum mengambil itu saya menanyakan dulu harga perkilonya. Beliau menyebut angka Dua puluh ribuan. 

Tetapi saya yang sudah kadung terbiasa membeli dengan harga Lima belas ribu mencoba menawar seharga itu. Beliau tetap mencoba menawarkan dengan harga tengah, diturunkan menjadi Delapan belas ribu.

Saya menawar untuk mengambil dua kilo dengan harga lima belas ribu perkilonya. Beliau tetap mengatakan tidak sesuai modalnya, sembari tangan keriputnya tetap memasukkan sawo yang dipilih ke kantong plastik di atas timbangan. 

Saya pun tetap menawar dengan harga awal, karena khawatir tidak cukup uang yang terbawa untuk membeli kebutuhan lainnya seperti yang sudah diniatkan untuk dibeli di awal.

Beliau menurunkan lagi dua kilonya itu, dipatok Tiga puluh lima ribu. Beliau mengatakan Lima ribu itu saja yang menjadi keuntungannya. Entah apa yang membuatku tak bergeming, dalih bahwa di penjual buah di depan, biasa juga menjual seharga Lima belas ribu, lalu bersiap pamit kalau tidak diberikan seharga itu.

Ternyata beliau mengalah dan memberikanku dengan harga itu. Raut yang tadinya ceria kembali sirna seperti awal pertama terlihat tadi. Ketika kusodorkan kertas Seratus ribu beliau berucap seolah menyindirku dengan banyak sekali uangnya. Saya berdalih, nanti tidak cukup untuk membeli kebutuhan lainnya. 

Beliau pun membuka kantong plastik hitam tempat menyimpan uangnya. Lalu menyodorkanku kembalian 3 lembaran, selembar lima puluh ribuan, selembar sepuluh ribuan, dan selembar lima ribuan. 

Saya kembali berdalih, tidak boleh mengubah harga yang sudah disepakati dalam transaksi, beliaupun mengalah, lalu menyodorkan selembar dua puluh ribuan dan mengambil lembaran sepuluh dan lima ribuan itu.

Saya pun berucap terimakasih dan pamit, beliau menjawab sekenanya bahkan tanpa menoleh. Melanjutkan perjalanan untuk membeli yang lain, saya kembali mampir di penjual buah tempat beli biasanya. Saya pilih buah Pear yang ternyata hanya dapat 4 buah saja dalam 1 kilogram. 

Harganya pun jauh dari harga sawo yang saya beli di sosok tua tadi. Begitu juga ketika menanyakan harga sawo di tempat itu, ternyata mereka menjual seperti harga yang disebutkan pertama oleh bapak tua itu.

Entah kenapa bathin saya terasa gusar. Saya telah menzhalimi seorang pedagang tua dengan keletihan mendorong gerobaknya. Mungkin rumahnya cukup jauh dari tempatnya mangkal tadi. 

Apalah arti lima ribu, keuntungan sekecil itu tidak lantas membuat mereka kaya, mereka masih banyak membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mungkin hanya diandalkan dari menjual sawo itu. 

Penjual buah dengan tempat yang lumayan besar, stok buah banyak, dan harga yang tidak bisa ditawar lagi, yang selama ini tempat saya biasa membeli pun mengambil keuntungan yang lebih dari pada penjual-penjual keliling yang hanya menjual satu jenis saja.

Prinsip bisnis mereka kali banyak, kali sering yang membeli tentunya menjadi keuntungan yang lebih banyak dari pedagang-pedagang yang mangkal di pinggir jalan dengan gerobaknya. 

Meskipun para pedagang dengan gerobak yang menjual di pinggir jalan mematok harga yang sedikit lebih tinggi pun semestinya tidak membuat kita membandingkan itu secara keras atas apa yang mereka jual. 

Terlebih di saat wabah corona yang melanda kita di bulan suci ramadhan ini, mereka tidak peduli akan itu, karena kebutuhan hidup yang mendesak untuk tetap keluar berjualan sebagai langkah menjemput rizki-Nya.

Logika Sedekah

Mereka yang berjualan di tengah wabah sedang melanda, apalagi dalam kondisi lapar sedang berpuasa, adalah saudara-saudara kita juga yang membutuhkan penghidupan yang layak. 

Meskipun mereka para pedagang asongan, gerobak yang mangkal di pinggir jalan itu menjual dagangannya dengan harga sedikit lebih tinggi dari harga biasanya yang dijual para pedagang-pedagang di toko atau di gerai yang lebih besar. 

Semestinya itu tidak menjadi hal yang patut kita bandingkan, di tengah puasa ramadhan kita yang menuntut untuk menghormati bulan suci ini. Salah satunya dengan banyak-banyak bersedekah dan berbagi makanan.

Mungkin persepsi kita masih mendikotomi antara sedekah dan jual beli. Padahal di dalam jual beli itupun sedekah bisa juga terlaksana. Salah satunya dengan melebihkan pembayaran, atau bahkan dengan langsung menyepakati harga yang ditawarkan oleh pedagang-pedagang asongan, gerobak dorong, itu karena mereka berharap keuntungan di dalamnya. Ramadhan ini juga mengajarkan kita tentang adab sosial dalam memuliakan saudara-saudara kita yang membutuhkan.

Kalau kita tidak bisa memberi terang, alangkah baiknya juga tak usah mengutuk kegelapan. Begitu juga dengan kita, ketika melihat saudara-saudara kita yang duduk menunggu uluran tangan di jalan atau menunggu para dermawan membagikan sekedar untuk berbuka puasa. 

Jika kita tidak mau memberikan mereka, tak usahlah mencibir dengan pandangan merendahkan kepada mereka yang meminta, meskipun dengan berdalih karena mereka masih muda, terlihat kuat, masih bisa bekerja dari pada meminta-minta.

Alangkah baiknya kita berbaik sangka saja, mereka mungkin juga dengan berat hati dan mental yang sangat dikuatkan melakoni itu sekedar untuk mendaptkan apa yang bisa dimakan hari itu. 

Terlebih di tengah wabah ini tidak semua bisa ter-cover dengan bantuan-bantuan dari pemerintah yang kadang juga tidak kita pungkiri sistem tebang pilih. Mereka mungkin tidak ada yang bisa mempekerjakan saat ini, mau berjualan pun mereka tidak punya akses untuk modal, meminjam modal pun mungkin tidak ada yang percaya kepada mereka.

Keadaban Sosial

Mereka terhimpit keadaan, sehingga memaksa untuk menunggu uluran tangan meski itu dilakoni dengan berat hati. Adab sebagai seorang muslim sudah semestinya mengikuti perintah dalam Al Qur'an, "Adapun kepada orang-orang yang meminta-minta, maka hendaklah jangan engkau menghardik"- Wa amma ssaa'ilaa fala tanhar. 

Lalu kita diperintahkan juga untuk senantiasa bersyukur menyebut atau terus mengingat-ingat nikmat yang sudah diberikan Tuhan kepada kita, karena jalan kesyukuran itu yang senantiasa menjadi penambah atas rizki itu, " Dan adapun atas nikmat Tuhanmu, hendaklah disebut-sebut (diingat-ingat)"- Wa amma bini'mati rabbika fahaddits.

Puasa ramadhan ini mencoba menarik simpul-simpul pemikiran kita untuk bersikap lebih peduli terhadap saudara-saudara kita yang keadaannya tidak seberuntung kita. 

Salah satunya dengan adab yang lebih sosialis supaya mereka bisa mendapatkan akses untuk kehidupan yang layak. Terlebih di tengah wabah dan bulan ramadhan saat ini negara sudah menggelontorkan bantuan-bantuan pangan dalam bentuk jaring pengaman sosial (JPS) yang dihajatkan untuk menjamin kehidupan warga negara.

Tentu saja banyak polemik yang muncul terkait distribusi itu. Apakah saudara-saudara kita yang masih menunggu uluran tangan di jalanan tidak mendapatkan itu, hal ini kembali lagi ke moralitas pemimpin-pemimpin, bahkan pemimpin terbawah yaitu RT yang diamanahkan untuk mendata saudara-saudara kita.

Jika yang disyaratkan yang dapat hanya yang mempunyai KTP atau dokumen identitas kependudukan lainnya, tentunya ini menjadi masalah ketika saudara-saudara kita yang mengemis di jalanan, mereka tidak peduli lagi dengan dokumen kependudukan. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mendapatkan sesuap nasi untuk hari itu.

Setelah cukup lama berkeliling mencari kebutuhan yang awalnya mau dibeli, ternyata masih ada tersisa uang di kantong jaket. Langsung terpikir sosok tua penjual sawo dengan gerobaknya di bawah pohon pinggir jalan itu. Saya bergegas putar balik lagi dengan harapan bisa bertemu untuk mengembalikan keuntungannya yang "tertunda" tadi. 

Sembari mengingat lokasi tepatnya saya terus menelusuri pinggir jalan itu bahkan sampai jauh dari tempat kami bertransaksi, berharap menemukan beliau yang mungkin sudah berpindah, mendorong gerobaknya karena hari hampir gelap.

Sampai jauh memutar lagi saya berkeliling, sosok itupun tak ketemu jua, sedangkan uang yang masih di kantong sudah terniatkan untuknya. Menunggu sampai esok hari mungkin tidak ada kesempatan untuk keluar lagi. Tentunya juga mengikuti anjuran untuk tidak terlalu banyak keluar, demi menghindari wabah corona. 

Sembari berpikir, mata saya tertuju pada seorang ibu paruh baya dengan pakaian lusuh bersama anaknya yang masih kecil duduk di trotoar menunggu uluran tangan para dermawan.

 Tanpa berpikir panjang lagi, uang yang di kantong jaket itu saya pindahkan ke mereka, untuk mengurangi beban karena itu semestinya menjadi hak sosok tua penjual sawo tadi. Semoga beliau ridha dengan bagian lainnya lagi untuk saudara kita yang juga membutuhkan.

*Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun