"Ada anak bertanya pada bapaknya,Â
buat apa berlapar-lapar puasa, ...Â
"Lapar mengajarmu rendah hati selalu"Â
Semasa kecil dahulu, menjelang berbuka puasa biasanya mulai rame anak-anak berseliweran dengan nampan di kepala. Sebagai sebuah tradisi, masing-masing rumah yang mempunyai kelebihan rizki biasanya akan membuat penganan berbuka lebih banyak yang nantinya itulah yang diantarkan oleh anaknya ke rumah tetangga.Â
Tetangga yang diantarkan pun akan memberikan juga apa yang sudah di masak di rumah itu, meskipun hanya sayur bening.
Di hari-hari biasa hal itu juga lumrah kita temui dahulu, meskipun dengan intensitas yang agak jarang. Di bulan Ramadhan, selama 1 bulan penuh biasanya tetangga saling berbagi antarkan makanan apa yang dimasak di rumahnya.Â
Tentunya konteks berbagi itu bukan sekedar untuk mengharapkan pemberian lagi yang lebih banyak, tetapi itu adalah strategi untuk menguatkan keterjalinan persaudaraan di antara mereka.
Untuk konteks sekarang, hal itu sangat jarang kita temukan, gaya hidup individualis yang dipengaruhi modernitas justru telah menepis jejak-jejak solidaritas yang sudah mapan dahulunya.Â
Apa yang keliru dengan konteks sosial kita sekarang ini?Tak lain karena kita sudah merasa lebih percaya diri untuk melakukan segala sesuatu sendiri.Â
Sikap individualisme yang akut justru membelenggu dengan rasa khawatir akan kekurangan ketika apa yang ada pada kita diberikan ke orang lain.
Hal yang menarik jika dikaitkan dengan konteks berlapar-lapar puasa seperti lirik lagu di atas yaitu, apakah sudah benar model kita berpuasa ketika berlapar-lapar itu membentuk sikap rendah hati, senantiasa berpikir juga untuk orang lain ketika mendapat rizki yang lebih dibandingkan mereka.Â
Solidaritas sosial merujuk ke konsepnya Emile Durkheim(The division of Labour in Society, Ritzer: 2003) tidak berhenti hanya pada tataran berpikir untuk pemenuhan kebutuhan bersama dalam hal materil.
Akan tetapi solidaritas dalam konteks Islam merujuk kepada anjuran dalam kitab suci Al Qur'an yang menyatakan "mereka mendahulukan kebutuhan saudara-saudaranya dari pada mereka sendiri, bahkan sekalipun mereka dalam keadaan membutuhkan itu (Al Hasyr: 9).Â
Solidaritas dalam bentuk kepedulian sosial yang tinggi atas orang lain, inilah yang menjadi harapan sebagai suatu kekuatan dari masyarakat Islam untuk benar-benar bertekad bersama menunjukkan jargon rahmatan lil alamin.
Konteks puasa sebagai momen untuk menggembleng solidaritas sosial itu pun nyatanya bukan hanya muncul dari masyarakat Islam sendiri.Â
Bahkan masyarakat non-muslim pun berlomba-lomba menyediakan makanan untuk berbuka bagi masyarakat muslim sebagai tetangganya atau dibagikan di jalan-jalan di mana orang yang membutuhkan itu, terlebih di tengah wabah yang sedang melanda saat ini.
Apakah ini akan menjadi sebuah ironi, ketika masyarakat non-muslim begitu tingginya solidaritas sosial mereka untuk berbagi tanpa peduli agama apa orang yang diberikan.Â
Sementara masyarakat muslim justru kehilangan spirit solidaritas itu. Bahkan semakin berusaha menimbun harta/barang berguna sebagai pihak yang disebut mendustakan agama dalam konteks surat Al Ma'un: 6, atau yang selalu bermegah-megahan dengan itu dalam konteks At Takatsur: 1, pada surat Al Qur'an yang lain.
Memupuk Solidaritas
Tentu ini menjadi sebuah titik balik peradaban kita ke arah kemunduran. Di saat semua kalangan masyarakat sedang bersolidaritas bahkan di tengah wabah saat ini, semestinya masyarakat muslim muncul di garda terdepan untuk memupuk nilai-nilai solidaritas itu menjadi semakin mapan.Â
Jika seorang muslim yang patuh dan sangat meyakini bahwa bersedekah di jalan Allah itu ibarat menanam 1 biji lalu menumbuhkan 7 tangkai, lalu pada tiap tangkai itu ada 100 biji (dalam Surat Al Baqarah : 261), maka untuk apa lagi keraguan itu masih bersemayam. Logika matematika pun tidak bisa digunakan dalam konteks solidaritas sosial melalui sedekah.
Puasa di tengah wabah kali ini menjadi momentum untuk menunjukkan itu. Apakah keyakinan kita dalam beragama sudah mapan untuk membangun solidaritas sosial itu semakin kuat, ataukah bias-bias perbedaan masih menjadi hal yang bersemayam dalam diri kita.Â
Masyarakat muslim senantiasa dituntut juga untuk menjadi kaya (Quwwatul maal, kekuatan harta) sebagaimana itu menjadi salah satu kekuatan yang mesti dipersiapkan dalam konteks surat Al Anfal :60 (Wa'a'iddu mastatho'tum min quwwatin).Â
Kekuatan harta itu bukan untuk ditimbun atau digunakan untuk bermegah-megahan, tetapi bagaimana kekuatan itu bisa menjadi modal/kapital untuk membangun peradaban masyarakat muslim lebih memapankan lagi konsep solidaritas itu.
Sejauh ini model solidaritas masyarakat muslim masih belum berwujud sebagaimana konteks surat Al Hasyr ayat 9 di atas. Padahal skema untuk itu pun terbuka lebar misalnya melalui pengumpulan Zakat, Infak, Wakaf (ZISWAF) nasional yang menjadi kekuatan terpusat untuk pembangunan ekonomi umat.Â
Begitu juga dengan baitul mal, ini mestinya menjadi solusi bagaimana solidaritas itu dibangun di atas kekuatan umat, alih-alih individual. Boleh saja kekuatan harta berada pada satu individu, selama solidaritas sosial itu bisa dimapankan untuk mendukung kepentingan umat lebih banyak, bukan semata-mata untuk semakin menimbun barang berguna itu (Wayamna'unal ma'un).
Bisakah momentum puasa ini menjadi arena untuk kembali memapankan solidaritas sosial itu ataukah di saat wabah ini justru semakin membentuk sikap individualis kita.Â
Kesemuanya bisa kita lewati tentunya dengan mekanisme kesadaran atas apa yang kita alami bersama, lalu menanamkan dalam diri masing-masing bahwa kita kuat untuk bersama dan bagaimana kekuatan itu bisa terdistribusikan lagi ke lebih banyak masyarakat muslim untuk saling menopang.
Menggembleng Sikap Sosial
Bahwa berlapar-lapar saat berpuasa sedianya ditujukan kepada kita untuk merenungkan bagaimana saudara kita yang berlapar-lapar karena memang tidak berpunya di hari-hari lainnya sebelum ramadhan.Â
Kerendahan hati dengan sama-sama berlapar-lapar saat puasa semata-mata bukan hanya tunai kewajiban. Akan tetapi bagaimana itu menggembleng kita untuk membelenggu nafsu, amarah, bahkan membelenggu syaitan sekalipun dalam konteks puasa itu menyadarkan kita bahwa ada yang lebih utama dari sekadar menahan lapar, yaitu membiasakan kita untuk tawadhu', rendah hati, memupuk kepedulian kepada orang lain.
Itulah yang menjadi visi bahwa berlapar-lapar puasa itu mendatangkan kenikmatan sebagai orang yang menang ketika itu bisa terlewati. Sikap-sikap yang tersebutkan di atas bisa melekat untuk menjadi sikap kita sehari-hari pasca ramadhan.
Konsep puasa yang menggembleng solidaritas sosial mestinya juga terpupuk dengan kita menyadari bahwa kenikmatan atas apa yang kita miliki bukan hanya ketika itu semakin ditimbun semakin banyak.
Namun, bagaimana itu bisa menghadirkan kebahagiaan-kebahagiaan ketika digunakan, ataupun ketika hal itu mengundang tangis haru kebahagiaan bagi orang lain yang membutuhkan?
Kalaupun mungkin kita bertanya dalam hati, misalnya apa sebenarnya yang diharapkan masyarakat non-muslim ketika membagikan makanan kepada masyarakat muslim di saat puasa, mungkin jawaban mereka akan beragam, akan tetapi cukuplah itu menjadi bahan renungan kita bahwa solidaritas sosial itu pun tidak disekat bahkan oleh identitas agama sekalipun.Â
Solidaritas sosial itu menunjukkan bahwa masyarakat kita mestinya lebih mapan lagi untuk membangun kekuatan itu, terlebih di tengah wabah saat ini. Dan ramadhan kali ini menjadi momentum untuk memupuk itu, dimulai dari diri kita sendiri di lingkungan terdekat.
Dari kepedulian saudara kita yang non-muslim ketika membagikan makanan di saat puasa seperti ini kita perlu menyadari bahwa solidaritas sosial itu menjadi kunci bagaimana masyarakat madani yang selama ini menjadi jargon bisa kita wujudkan.Â
Dan masyarakat muslim mestinya harus menunjukkan itu di garda terdepan sebagai kekuatan jamaah (quwwatul jama'ah) untuk menyongsong peradaban yang rahmatan lil alamin itu.
Ketika itu sudah terwujud, maka tak salah pula ketika jargon solidaritas tanpa sekat identitas agama itu pun kita gaungkan lagi, Bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku. Ramadhan kali ini menjadi momentum pembuktian itu, bukan hanya solidaritas yang sarat kepentingan di balik itu.
*Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H