Namun, bagaimana itu bisa menghadirkan kebahagiaan-kebahagiaan ketika digunakan, ataupun ketika hal itu mengundang tangis haru kebahagiaan bagi orang lain yang membutuhkan?
Kalaupun mungkin kita bertanya dalam hati, misalnya apa sebenarnya yang diharapkan masyarakat non-muslim ketika membagikan makanan kepada masyarakat muslim di saat puasa, mungkin jawaban mereka akan beragam, akan tetapi cukuplah itu menjadi bahan renungan kita bahwa solidaritas sosial itu pun tidak disekat bahkan oleh identitas agama sekalipun.Â
Solidaritas sosial itu menunjukkan bahwa masyarakat kita mestinya lebih mapan lagi untuk membangun kekuatan itu, terlebih di tengah wabah saat ini. Dan ramadhan kali ini menjadi momentum untuk memupuk itu, dimulai dari diri kita sendiri di lingkungan terdekat.
Dari kepedulian saudara kita yang non-muslim ketika membagikan makanan di saat puasa seperti ini kita perlu menyadari bahwa solidaritas sosial itu menjadi kunci bagaimana masyarakat madani yang selama ini menjadi jargon bisa kita wujudkan.Â
Dan masyarakat muslim mestinya harus menunjukkan itu di garda terdepan sebagai kekuatan jamaah (quwwatul jama'ah) untuk menyongsong peradaban yang rahmatan lil alamin itu.
Ketika itu sudah terwujud, maka tak salah pula ketika jargon solidaritas tanpa sekat identitas agama itu pun kita gaungkan lagi, Bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku. Ramadhan kali ini menjadi momentum pembuktian itu, bukan hanya solidaritas yang sarat kepentingan di balik itu.
*Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H