Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buruh, Kepasrahan dan Absennya Nalar Kritis

1 Mei 2020   13:14 Diperbarui: 1 Mei 2020   13:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : magdalene.co

Para buruh pemetik apel itu mengeluh, upah mereka perhari yang biasanya 3 dollar kini diturunkan menjadi 1 dollar perhari. Padahal buah apel pemilik kebun itu sedang lebat-lebatnya. Mereka tidak kuasa untuk protes, pasrah menerima keadaan. Protes sama artinya dengan kehilangan pekerjaan. Pasrah menerima 1 dollar perhari, atau tidak ada penghasilan sama sekali.

Mac Mcleod dan Jim Nolan yang mendengar penurunan upah buruh di perkebunan milik Chris Bolton merasa gerah dengan itu. Mereka pun melamar sebagai pemetik apel di perkebunan Bolton. Dari sanalah Mac mengatur siasat, meng-agitasi para buruh untuk memprotes pemilik lahan.

Mac dan Jim sebagai orang baru tentunya tidak punya posisi tawar di antara para buruh. Kepercayaan para buruh mereka dapatkan setelah keduanya membantu persalinan Lisa London, anak dari orang yang dianggap sebagai tetua buruh pemetik apel, Robert London. Agitasi mulai dilancarkan, dengan memprovokasi supaya buruh mengadakan pemogokan menuntut kenaikan upah.

Bahkan Mac pun sengaja merusak tangga hingga menjadi rapuh, yang digunakan oleh salah seorang buruh hingga terjatuh dan mengalami patah kaki. Chris Bolton sebagai pemilik lahan tidak mau tahu keadaan buruh, yang dia butuhkan hanyalah tenaga mereka untuk bekerja di lahannya. Kondisi inilah dimanfaatkan oleh Mac, semakin memprovokasi buruh untuk melakukan pemogokan, dan menuntut beberapa hal kepada Bolton.

Pemogokan pun terjadi. Untuk mendapatkan penghasilan, Mac membujuk Mr. Anderson sebagai pesaing Bolton untuk menerima para buruh bekerja di lahannya selama pemogokan. Bolton tidak bisa membiarkan hal itu berlarut-larut. Berbagai cara dilakukan, mulai dari perundingan sampai cara-cara kotor untuk mengembalikan buruh bekerja dilahannya.

Kondisi yang semakin lama semakin kacau membuat mental para buruh mulai rapuh. Beberapa orang mulai keluar dari pemogokan dan kembali ke Bolton, sementara yang lainnya masih banyak juga yang bertahan sampai tuntunan mereka dipenuhi Bolton. Upaya perlawanan yang akan dilakukan para buruh kadang mengalami kegagalan, karena ada salah seorang buruh yang lebih memilih mendekat ke Bolton dan membeberkan rencana-rencana mereka. Bahkan gudang apel milik Anderson pun dibakar oleh orang suruhan Bolton supaya buruh kembali lagi ke Bolton.

Hingga akhirnya, Mac merelakan dirinya menjadi martir, Ia ditembak oleh anak buah Bolton karena diketahui sebagai penggerak para buruh melawan Bolton. Kematian Mac yang sudah mendapatkan tempat di hati para buruh menjadi pemicu emosi para buruh untuk melakukan perlawanan lebih nyata. Serangkaian penyeranganpun dilakukan ke Bolton dan pemilik lahan lainnya yang tamak. Kekacauan pun semakin memuncak karena perlawanan antara buruh dan pemilik lahan menciptakan peperangan tak terhindarkan.

sumber : imbd
sumber : imbd

Kisah perlawanan buruh pemetik apel ini merepresentasikan perlawanan buruh yang terjadi di masa Great Depression Amerika Serikat tahun 1933. Dinarasikan dalam sebuah novel berjudul "In Dubious Battle" oleh John Steinback, dan diangkat dalam sebuah film berjudul sama dengan novelnya. Kejadian itu pun menyulut aksi buruh lebih besar, dan membuat kongres Amerika menyetujui beberapa tuntunan buruh.

Perlawanan atas Eksploitasi

Perlawanan buruh melawan tuan tanah dengan upah murah semestinya tidak hanya terjadi di cerita fiksi. Tetapi spirit itu bisa menjadi referensi untuk menggerakkan massa melawan eksploitasi yang terjadi. PHK sepihak yang terjadi di saat pandemi seperti ini semestinya juga menjadi medan parah buruh untuk menuntut setelah sekian lama mereka bekerja menguntungkan perusahaan.

Pemilik modal, tuan tanah sudah semestinya menjadi garda terdepan membantu para buruh di saat pandemi saat ini. Mereka sudah diuntungkan sekian lama dengan buruh yang diupah murah. Akan tetapi setelah wabah mulai merebak mereka seolah-olah merasa sebagai pihak yang paling terkena dampak. Meski merekapun masih tenang-tenang saja dengan simpanan kekayaan yang sangat berlebih untuk sekedar melewati masa wabah.

Determinisme buruh atas kepasrahan upah murah ini bukan tanpa alasan. Pilihan atas ketersediaan lapangan kerja yang tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja menjadi pemicu. Belakangan muncul ide dari pemerintah untuk memberikan insentif yang disebut Pra Kerja. Dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, lalu diberikan insentif selama 4 bulan dalam masa mencari kerja. Pra kerja tersebut digadang-gadang sebagi solusi untuk mengurangi pengangguran. Padahal yang paling penting adalah keterserapan angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia, bukan hanya selesai setelah di-upskilling lalu diberikan insentif.

Selama lapangan kerja yang tersedia masih tidak seimbang, maka tak ada harapan besar dari program pra kerja pemerintah. Bahkan di saat pandemi pun 8 mitra Pra Kerja seolah menjadi perampok di tengah wabah dengan transaksi jual video kepada peserta pra kerja seharga Rp. 1 juta untuk masing-masing peserta.

Total peserta Pra kerja yang 5,6 juta jiwa akan membeli video pelatihan dari uang negara yang sudah disiapkan di dompet akun digital peserta seharga Rp. 1 juta yang harus dihabiskan dulu jika mau mendapatkan insentif Rp. 600 ribu selama 4 bulan. Peserta 5,6 juta jiwa dikalikan dengan Rp. 1 juta untuk membeli video di 8 platform totalnya Rp. 5, 6 Triliun. Nilai yang cukup besar untuk 8 platform digital yang menjual video kepada peserta pra kerja, dibeli dengan uang negara.

Kesepakatan jahat seperti apa yang sudah berlangsung sehingga Rakyat harus menjadi bancakan untuk mencairkan uang Rp. 5,6 Triliun yang harus digunakan untuk membeli video di 8 platform digital itu. Peserta pra kerja yang tidak melakukan transaksi beli video dari Rp. 1 Juta di akunnya, tidak akan mendapatkan insentif Rp. 600 ribu tersebut selama 4 bulan ke depan.

Urgensi Nalar Kritis

Para buruh yang di-PHK, para pencari kerja, ataupun masyarakat yang terdampak wabah yang telah ditetapkan sebagai peserta pra kerja mestinya bersatu melawan kesepakatan jahat yang memaksa mereka harus membeli video Rp. 1 juta dulu dari uang negara, baru diberikan insentif Rp. 600 ribu. Hal ini mestinya menjadi pemicu nalar kritis mereka untuk menyelamatkan uang negara dari pada hanya dimonopoli oleh 8 platform digital yang sangat lebih banyak mendapatkan bagian dari program pra kerja.

Amunisi para buruh peserta pra kerja yang terdesak keadaan adalah kesadaran kritis yang seharusnya tetap dipupuk. Setelah diupah murah dan kini di-PHK karena wabah, merekapun masih harus dipaksa untuk menjadi bancakan pembelian video menggunakan uang negara agar mendapatkan insentif di tengah wabah.

Ketidakberdayaan para buruh di hadapan pemilik modal, kapitalisme berevolusi digital dalam bentuk start up, cukuplah menjadi tanda untuk menyatukan barisan menolak bentuk-bentuk eksploitasi yang bahkan terselubung dalam bentuk topeng program pemerintah. Masyarakat harus tetap sadar, tidak ada yang boleh membodoh-bodohi meski dalam keadaan terdesak sekalipun.

Pra kerja yang menuntut peserta harus membeli video Rp. 1 juta dulu untuk mendapatkan insentif Rp. 600 ribu adalah bukti nyata eksploitasi itu. Delapan platform digital dengan modal kapital sebagai mitra pemerintah dalam program pra kerja adalah para pemilik modal yang hanya mementingkan perusahaan mereka agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Merekapun berlomba-lomba menawarkan iklan-iklan yang memudahkan cara cepat untuk mendapatkan insentif dari pemerintah dengan membeli video di platform mereka dari saldo Rp. 1 juta yang harus dihabiskan.

Soliditas untuk Keadilan

Soliditas para buruh bukan hanya ketika menuntut kenaikan upah. Akan tetapi ketika eksploitasi berlebihan, ketimpangan yang tidak digubris oleh pemilik modal juga menjadi bagian yang harus dilawan bersama. Tidak cukup hanya dengan aksi setiap 1 Mei, tetapi setiap saat melawan ketidakadilan itu adalah keniscayaan yang harus dijadikan habitus. Para buruh adalah kunci kelancaran ekonomi di semua sektor. Karena itu ia menempati base structure sebagai penopang dalam piramida kelasnya Marx.

Jangan sampai buruh terdikotomi hanya karena perbedaan kelas pekerja. Pekerja kerah putih pun adalah buruh meskipun menikmati tempat yang lebih baik dari pada pekerja kerah biru. Tenaga honor, pengajar di kampus yang non-ASN adalah buruh-buruh kerah putih yang dibalut gengsi dengan sematan intelektual, akademisi. Ketidaklayakan upah yang diterima semestinya bukan dibalas dengan kepasrahan karena ketiadaan lahan lain untuk mendapatkan penghasilan lebih. Tetapi pemilik modal, bahkan negara pun harus hadir untuk menjamin penghidupan yang layak itu bisa terdistribusi secara nyata.

Alangkah lemahnya negara jika hanya dimonopoli oleh kelompok-kelompok pemodal yang bisa semudahnya membelokkan kebijakan demi keuntungan mereka. Selama kesetaraan itu belum jelas terwujud, para buruh tak seharusnya diam dalam kepasrahan. Upah murah bukanlah solusi atas kepasrahan itu. Selama bisa mendapatkan lebih dari tenaga yang dikeluarkan setiap hari, lalu mengapa harus diam meskipun distandardisasi negara dalam bentuk upah minimum.

Tetapi kita mesti menunggu sejenak setelah wabah kita hengkangkan dari tanah yang subur, dicita-citakan gemah ripah loh jinawi ini. Tanah yang bukan hanya untuk memakmurkan beberapa kalangan saja, terlebih asing ataupun aseng.

*Staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun