Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buruh, Kepasrahan dan Absennya Nalar Kritis

1 Mei 2020   13:14 Diperbarui: 1 Mei 2020   13:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : magdalene.co

Perlawanan buruh melawan tuan tanah dengan upah murah semestinya tidak hanya terjadi di cerita fiksi. Tetapi spirit itu bisa menjadi referensi untuk menggerakkan massa melawan eksploitasi yang terjadi. PHK sepihak yang terjadi di saat pandemi seperti ini semestinya juga menjadi medan parah buruh untuk menuntut setelah sekian lama mereka bekerja menguntungkan perusahaan.

Pemilik modal, tuan tanah sudah semestinya menjadi garda terdepan membantu para buruh di saat pandemi saat ini. Mereka sudah diuntungkan sekian lama dengan buruh yang diupah murah. Akan tetapi setelah wabah mulai merebak mereka seolah-olah merasa sebagai pihak yang paling terkena dampak. Meski merekapun masih tenang-tenang saja dengan simpanan kekayaan yang sangat berlebih untuk sekedar melewati masa wabah.

Determinisme buruh atas kepasrahan upah murah ini bukan tanpa alasan. Pilihan atas ketersediaan lapangan kerja yang tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja menjadi pemicu. Belakangan muncul ide dari pemerintah untuk memberikan insentif yang disebut Pra Kerja. Dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, lalu diberikan insentif selama 4 bulan dalam masa mencari kerja. Pra kerja tersebut digadang-gadang sebagi solusi untuk mengurangi pengangguran. Padahal yang paling penting adalah keterserapan angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia, bukan hanya selesai setelah di-upskilling lalu diberikan insentif.

Selama lapangan kerja yang tersedia masih tidak seimbang, maka tak ada harapan besar dari program pra kerja pemerintah. Bahkan di saat pandemi pun 8 mitra Pra Kerja seolah menjadi perampok di tengah wabah dengan transaksi jual video kepada peserta pra kerja seharga Rp. 1 juta untuk masing-masing peserta.

Total peserta Pra kerja yang 5,6 juta jiwa akan membeli video pelatihan dari uang negara yang sudah disiapkan di dompet akun digital peserta seharga Rp. 1 juta yang harus dihabiskan dulu jika mau mendapatkan insentif Rp. 600 ribu selama 4 bulan. Peserta 5,6 juta jiwa dikalikan dengan Rp. 1 juta untuk membeli video di 8 platform totalnya Rp. 5, 6 Triliun. Nilai yang cukup besar untuk 8 platform digital yang menjual video kepada peserta pra kerja, dibeli dengan uang negara.

Kesepakatan jahat seperti apa yang sudah berlangsung sehingga Rakyat harus menjadi bancakan untuk mencairkan uang Rp. 5,6 Triliun yang harus digunakan untuk membeli video di 8 platform digital itu. Peserta pra kerja yang tidak melakukan transaksi beli video dari Rp. 1 Juta di akunnya, tidak akan mendapatkan insentif Rp. 600 ribu tersebut selama 4 bulan ke depan.

Urgensi Nalar Kritis

Para buruh yang di-PHK, para pencari kerja, ataupun masyarakat yang terdampak wabah yang telah ditetapkan sebagai peserta pra kerja mestinya bersatu melawan kesepakatan jahat yang memaksa mereka harus membeli video Rp. 1 juta dulu dari uang negara, baru diberikan insentif Rp. 600 ribu. Hal ini mestinya menjadi pemicu nalar kritis mereka untuk menyelamatkan uang negara dari pada hanya dimonopoli oleh 8 platform digital yang sangat lebih banyak mendapatkan bagian dari program pra kerja.

Amunisi para buruh peserta pra kerja yang terdesak keadaan adalah kesadaran kritis yang seharusnya tetap dipupuk. Setelah diupah murah dan kini di-PHK karena wabah, merekapun masih harus dipaksa untuk menjadi bancakan pembelian video menggunakan uang negara agar mendapatkan insentif di tengah wabah.

Ketidakberdayaan para buruh di hadapan pemilik modal, kapitalisme berevolusi digital dalam bentuk start up, cukuplah menjadi tanda untuk menyatukan barisan menolak bentuk-bentuk eksploitasi yang bahkan terselubung dalam bentuk topeng program pemerintah. Masyarakat harus tetap sadar, tidak ada yang boleh membodoh-bodohi meski dalam keadaan terdesak sekalipun.

Pra kerja yang menuntut peserta harus membeli video Rp. 1 juta dulu untuk mendapatkan insentif Rp. 600 ribu adalah bukti nyata eksploitasi itu. Delapan platform digital dengan modal kapital sebagai mitra pemerintah dalam program pra kerja adalah para pemilik modal yang hanya mementingkan perusahaan mereka agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Merekapun berlomba-lomba menawarkan iklan-iklan yang memudahkan cara cepat untuk mendapatkan insentif dari pemerintah dengan membeli video di platform mereka dari saldo Rp. 1 juta yang harus dihabiskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun