Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Runtuhnya Kezuhudan dalam Beragama

28 Juli 2018   21:56 Diperbarui: 28 Juli 2018   22:17 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Justru logika terbalik itu pun semakin kuat ketika keluhan-keluhan masyarakat tentang penggunaan Islamic Center dengan Ballroomnya lebih banyak digunakan untuk acara pesta pernikahan, yang bahkan tamunya pun banyak berpakaian minim dengan musik yang menggema (Suara NTB, 27 Juli 2018).

Betapa mewahnya Islamic Center itupun hanya menjadi daya tarik sebagai tempat wisata dari pada tujuan awal untuk pusat pengkajian Islam yang saya bayangkan kala itu sebelum dibangun akan ada perpustakaan besar yang berisi buku-buku studi Islam, kajian-kajian dan diskusi ilmu agama tidak pernah sepi, yang kenyataannya justru tidak pernah sepi dari banyaknya pengunjung yang selfie atau pun hanya ketika waktu Shalat tiba.

Kalaupun ada kegiatan-kegiatan bertema akademik Islam itu pun masih eksklusif lebih banyak diselenggarakan oleh alumni Al Azhar yang ketuanya pun Gubernur NTB saat ini. Pengajian-pengajian a la Sasak pun sekali seminggu bisa ditemui yaitu pada malam jumat yang terbatas dari magrib sampai isya yang itu pun diampu 1 orang yang sudah dijadwalkan tetap, serta kajian selesai shalat jumat yang biasanya diisi juga oleh khatib jumat. 

Padahal jika ingin menggaungkan kembali tujuan awal Islamic Center sebagai pusat pengkajian Islam masih sangat mungkin untuk memulai dengan jadwal pengajian, diskusi atau pun pusat-pusat studi yang bisa mulai digagas dengan melimpahnya sarjana-sarjana muslim di NTB saat ini. Optimisme seperti ini harus tetap digaungkan sebagai bentuk kekuatan egaliterianisme jamaah seperti yang dicontohkan Nabi, dan masjid pun akan menjadi rumah kedua bagi jamaah-jamaah yang haus akan ilmu serta silaturahmi jamaah yang akan erat terjalin.

Perlunya Kajian Islam Progresif

Kajian berbayar dengan menyewa gedung-gedung mewah selain masjid yang jika terus-menerus diadakan dengan isi tentang romantika cinta a la islami seperti itu bisa jadi akan mematikan sensibilitas sosial masyarakat muslim, yang hanya akan melahirkan obsesi dan halusinasi tentang romantika kehidupan sahabat yang kualitas keimanan kita dan mereka pun tidak pantas untuk dibandingkan.

Perlunya gerakan Islam progresif yang menyajikan tema-tema tentang pembelaan atas kaum dhuafa, membangun kekuatan ekonomi, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama justru sangat relevan saat ini untuk digaungkan. Terlebih di saat masyarakat muslim saat ini terus-menerus mereproduksi dalam benak mereka adanya musuh imajiner (bayangan) dengan menyatakan Islam sedang dipojokkan, atau didiskriminasi.

Padahal, sebagai komunitas mayoritas di Indonesia secara umum, atau di NTB secara khususnya, masyarakat muslim pun tetap bisa melaksanakan ibadah dengan nyaman, mencari rizki, bersosialisasi secara baik, kesemuanya tanpa ada tekanan sedikit pun dari pihak manapun.

Tekanan yang justru muncul yaitu lemahnya kepedulian sosial masyarakat muslim yang justru semakin individualis, ketimpangan sosial yang semakin mengakar sangat memerlukan gerakan-gerakan progresif yang bisa dikomandoi melalui pengajian-pengajian di masjid dengan anjuran untuk menggalakkan zakat, sadaqah, dan kepedulian dari para oligarki muslim untuk kaum dhuafa, bukan malah semakin menyuburkan dan menyemarakkan kajian-kajian berbayar yang sebenarnya bagi mahasiswa harga tiket sebesar itu bisa digunakan untuk membeli 1 atau 2 eksemplar buku, atau untuk mengisi perut selama beberapa kali jadwal makan.

Dan pengajian-pengajian dengan tema gerakan-gerakan progresif itu pun masih sangat mungkin untuk dimulai dari sekarang dengan melimpahnya sarjana-sarjana muslim baik yang alumni kampus-kampus Islam dalam negeri ataupun kampus-kampus Timur Tengah yang banyak melahirkan Tuan Guru sebagai gelar mereka ketika kembali ke Lombok.

Tuan Guru, dengan kapital budaya mereka berupa keilmuan Islam dan kapital simbolik sebagai pemimpin di masyarakat dengan gelar keagamaan tersebut, mereka bisa menjadi pelecut gerakan-gerakan Islam progresif emansipatoris dalam masyarakat, meski tidak dipungkiri kapital simbolik itu pun kadang dijadikan modal sebagai upaya untuk gerakan progresif melalui jalur politik sebagai politisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun