Padahal, dalam konteks masyarakat Sasak sendiri yang selalu digaungkan lekat dengan Islam, Pengajian Tuan Guru-Tuan Guru yang sejak dulu diadakan masyarakat tidak satupun pernah ada yang mematok tiket untuk orang yang akan mengaji, karena pelaksanaannya pun biasa diadakan di masjid, pondok pesantren ataupun jika dengan massa yang banyak biasa juga menggunakan lapangan umum.
Pergeseran konsep memaknai kehidupan beragama atau dalam hal mencari keilmuan dalam agama Islam yang disajikan oleh popularitas melalui media seperti yang ditampilkan Felix Siauw, Hanan Attaki dan lainnya merupakan fenomena ketika jualan konsep yang bernuansa Islami baik dalam konteks kehidupan remaja yang islami, cinta yang islami, dan yang paling populer yaitu stylefashion islami yang melahirkan standar syar'i atau tidaknya gaya berpakaian, kesemunya itu merupakan hal-hal yang menjadi pangsa pasar menyasar masyarakat muslim yang semakin terlihat kejumudan dalam beragama yang lebih mengutamakan bungkus daripada isi.
Begitu juga dengan kajian dari Hanan Attaki yang diadakan di Narmada Convention Hall (NCH), Mataram tanggal 29 Juli 2108 ini. Eventorganizer dengan nama Ayah Amanah Book Store dan didukung juga oleh Majlis Calon Ayah Amanah (MCAA), Rumah Taaruf MCAA, The Niqabista (ini sepertinya gerakan pake cadar yang rajin upload foto selfie dengan caption ajakan Hijrah), serta ada nama salah satu sponsor yang tidak terbaca di poster.
EO mematok tiket untuk kajian Hanan Attaki di NCH tersebut sebesar 60K untuk pelajar/mahasiswa, dan 70K untuk umum, serta ditambahkan dengan keterangan peserta minimal 5 tahun untuk kategori pelajar, dan tidak diperkenankan membawa bayi dan balita. Keterangan terakhir ini jelas menunjukkan pangsa pasar yang disasar dari masyarakat muslim yang belum berkeluarga dan sedang gemar-gemarnya mencari jati diri, bahkan bisa saja dalam urusan cinta yang dibumbui dengan konsep islami tadi.
Tema yang dipakai pun sangat kental dengan nuansa modernitas yang sebenarnya masyarakat Sasak pun mulai jenuh dengan hal tersebut semenjak invasi kapitalisme beberapa tahun terakhir sangat gencar menyasar masyarakat Sasak dengan kemunculan berbagai pusat perbelanjaan di wilayah sekecil Lombok.
Kepuasan Semu
Acara Sharing Time dengan tema Charge Iman dari Hanan Attaki tersebut bisa dikatakan merupakan jualan dari EO dengan popularitas Attaki di kalangan muslim remaja Indonesia saat ini. Isi-isi dari kajiannya pun tidak jauh-jauh dari kehidupan romantis a la Nabi, Ali dan Fatimah yang menjadi ikon cinta yang islami antara dua muda-mudi yang terus menerus direproduksi dalam kajiannya, dan melenakan remaja muslim yang senantiasa membayangkan kisah percintaannya saat ini bisa atau diusahakan se-romantis kisah cinta Ali dan Fatimah.
Uniknya, jualan-jualan dengan kajian berbayar seperti itu banyak juga peminatnya di Lombok yang bisa dikatakan tidak pernah kekurangan Tuan Guru atau pun Ustadz yang digembleng di pondok-pondok pesantren atau Majlis-majlis Ma'had yang setiap tahun mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah yang dikukuhkan sebagai pusat-pusat peradaban Islam.
Padahal, jika saja mereka sadar dan mau untuk menuntut ilmu agama, mereka bisa menjadi pelopor untuk menggemanya syiar Islam dengan menjadi bagian untuk mengadakan pengajian-pengajian di masjid-masjid yang ada di Lombok dengan melimpahnya Tuan Guru, Ustadz maupun akademisi keislaman yang ada di NTB sebagai pemateri.
Bahkan sejak pertama kali saya menginjakkan kaki sebagai mahasiswa di kota Mataram tahun 2009, kajian di masjid Raya At Taqwa Mataram tidak pernah sepi setiap malam, yang sekaligus sebagai markaz dari Jamaah Tabligh. Begitu juga dengan kehidupan di kampung, pengajian-pengajian dengan mengundang Tuan Guru di Pondok Pesantren untuk mengisi walaupun sebulan sekali cukup mengukuhkan untuk mengembalikan habitus masyarakat Sasak yang dikatakan lekat dengan Islam.
Sementara ketika kajian-kajian dengan pemateri populer yang berbayar dan ada akumulasi kapital ekonomi di dalamnya justru luput dari kesadaran masyarakat muslim Sasak yang juga sepertinya haus akan popularitas, dan merasa ada kepuasan (Fetish) yang lebih tepatnya adalah kepuasan semu (falsefetishism) dalam konsepnya Marx, yang tercipta ketika mereka mampu memenuhi hasrat (desires) untuk menjadi bagian dari popularitas tersebut.