Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengembara di Usia Senja

6 April 2017   16:24 Diperbarui: 6 April 2017   16:27 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun sang nenek berucap seolah mengomel kepada saya, sang kakek hanya diam saja, sementara saya melihat betul ke arah sang nenek yang sedang mengomel, dia sudah tidak bisa melihat lagi. Bagian putih penglihatannya saja yang terlihat dan tongkat bekas dari gagang sapu ijuk tergeletak di dekat kakinya.

Mendengar ucapan sang nenek yang agak bernada keras, kami terdiam sejenak. Menunggu waktu lagi untuk mengajak sang kakek berdialog lebih jauh.

"kalau makan di mana biasanya kek?". Kali ini kembali sang nenek yang lebih dulu menanggapi dengan bahasa Jawa yang tidak saya pahami pula. Yang jelas nadanya jg masih sama seolah ketersinggungan yang dia ungkapkan. Sang kakek masih tenang-tenang saja, tidak pula membantah apa yang diucapkan sang nenek. Bahkan dia menggeser duduknya dan meminta saya untuk duduk pada alas karung yang dia duduki.

Sang lelaki usia senja yang saya panggil kakek ternyata anak dari nenek tersebut. Dia selalu setia menuruti keinginan ibunya, menuntunnya ke mana ia inginkan. Mereka bukan pengemis, yang jelas mereka yang sedang berkelana tanpa tempat tinggal, setiap harinya menyusuri jalan-jalan di Jogja tanpa tujuan. Bahkan malampun menjadi selimut bagi mereka untuk terlelap melepas lelah di manapun mereka inginkan.

Tak banyak yang diceritakan sang anak yang saya panggil kakek tersebut. Kemiskinan terlihat jelas dari wajah mereka. Mereka tidak pernah meminta-minta, meski baju lusunya menyiratkan mereka adalah gelandangan, pengemis yang layak untuk diberi. Beberapa kali ketika mereka beristirahat di pinggir jalan, ada saja yang berhenti dan menghampiri mereka, memberikan makanan, ada juga yang memberikan uang, itulah yang disimpan oleh sang kakek ketika pada hari lain mereka tidak mendapatkan uluran tangan dari orang lain.

Sang kakek melanjutkan,  dia menuruti keinginan sang ibu untuk terus berjalan meski jalurnya hampir sama setiap hari yang mereka lalui. Dengan raut muka sendu, hanya itu yang bisa dia lakukan untuknya saat ini. Mereka tidak memunyai tempat tinggal, sepertinya itulah alasan mengapa mereka terus berjalan, sang ibu juga diceritakan tidak pernah merasa betah tinggal di satu tempat. Sementara sang nenek kembali mengomel ketika saya berbicara dengan sang kakek, sepertinya mengingatkan untuk tidak terlalu banyak bicara. Saya pun terdiam sejenak, padahal sampai saat itu sebenarnya waktu yang tepat untuk menanyakan mengapa mereka melakukan hal ini, berjalan tanpa tujuan, dan tinggal tidak menentu.

Deru kendaraan yang lalu lalang seolah menciptakan keheningan di antara kami bertiga di bawah teduhnya pepohonan pinggir hutan Biologi. Saya tidak bermaksud untuk membuat sang nenek tersebut sampai berucap agak keras ketika menanggapi pertanyaan yang saya ajukan kepada sang kakek. Pun saya memaklumi jika orang tua usia senja berucap seperti itu seolah-olah dia kembali lagi seperti anak kecil yang tidak berpikir lebih jauh atas ucapannya. Ini senada dengan yang diungkapkan dalam Al Qur'an bahwa usia tua bagi seorang manusia adalah perumpamaan pengembalian dirinya ketika masih kecil (Penjelasan dari QS. Al Hajj : 5).

Setidaknya dari mereka ada pelajaran yang bisa saya ambil, tentang bakti sang anak pada ibunya, tentang mereka yang tidak berniat untuk meminta namun senantiasa menerima apa yang diberikan orang lain kepada mereka, lalu keistiqomahan mereka untuk terus menjalani hidup, berjalan tanpa arah, tanpa tempat tinggal yang pasti, dan tidak ada kekhawatiran sama sekali tentang dunia yang pastinya akan mereka tinggalkan jua.

Mereka adalah sang pengembara di usia senja yang tetap istiqomah berjalan. Meski mereka tak tentu arah, namun arah yang abadi dan pasti hanyalah kepada-Nya. Dan itu hanyalah masalah waktu tentang " Arzalil umur" berdasarkan ketentuan-Nya yang tidak pernah ada satu pun yang mengetahui Kapan, dan di mana itu akan terjadi (QS. luqman : 34).

Catatan : sampai terakhir pertemuan singkat itu pun saya lupa menanyakan nama mereka

(Baim Lc, 06-04-17)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun