Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengembara di Usia Senja

6 April 2017   16:24 Diperbarui: 6 April 2017   16:27 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar akhir september 2016 lalu ketika hari hampir senja, itulah kali pertama saya melihat dua orang usia senja ini sedang beristirahat di bawah pepohonan pinggir jalan Fakultas kedokteran gigi UGM. berniat untuk berhenti sekedar untuk menyapa,  saya urungkan mengingat sebentar lagi akan adzan magrib. Waktu itu sang nenek sedang duduk beralaskan karung seolah menerawang ke atas menghadap jalan. Sementara sang kakek menelonjorkan kaki di atas trotoar dengan rokok lintingan di tangan kanannya sesekali asapnya dihembuskan ke depan.

Sejak saat itu saya bertanya-tanya dalam hati apa yang ditunggu oleh kedua orang tersebut di hari yang hampir gelap itu. Sudah terpikir dalam hati sepertinya sang nenek sudah tidak bisa melihat, terlihat dengan tongkat digeletakkan tak jauh darinya.

Berlanjut beberapa kali melihat dua orang usia senja ini ketika sedang istirahat di terik siang di antara teduhnya pepohonan di jalanan pinggiran Hutan  fakultas biologi. Kembali lagi sepertinya bukan waktu yang tepat untuk berhenti menyapa atau ingin mengetahui lebih jauh tentang kedua orang ini. Sesekali melihat ketika sedang berangkat kuliah saat ada kuliah siang, atau ketika pulang sore hari di saat perut terasa lapar dan memutuskan segera untuk sampai kos.

Beberapa kali tidak sempat untuk berhenti menyapa dua orang tersebut, baru siang tadi saya putuskan untuk menyapa mereka. Selesai acara dari Fakultas Teknik, ketika akan ke SPBU kebetulan terlihat mereka sedang beristirahat di bawah tembok Hutan Fakultas Biologi di antara teduhnya pepohonan di sana. Sekembali dari SPBU syukurnya mereka masih di sana, sepeda motor saya parkirkan agak jauh dari mereka. Lalu mencoba seramah mungkin dengan mengucap salam dan menyalami sang kakek yang dijawab olehnya dengan raut muka yang ramah pula.

Saya pun mencoba berbasa-basi sebagai pembuka dengan menanyakan mereka sudah dari manakah perjalanan hari ini. Yang dijawab oleh sang kakek bahwa mereka sedang beristirahat di sana.

"Tujuannya ke mana ini kek?"

"Ndak tentu"

" tinggalnya di mana kek?"

"ya ndak tentu juga, saya ndak punya tujuan , sing jalan wae"

" Aslinya mana terus kek?"

" Asli ya ndk tentu juga, ndak punya rumah dan asalnya dari jauh-jauh". Kali ini sang nenek juga ikut menimpali dengan bahasa jawa, agak keras dia berucap sepertinya sebuah peringatan yang tidak saya pahami. Sewaktu saya menanyakan asal dan tujuan mereka, sang nenek kayaknya sedikit tersinggung saat  menanyakan itu berulang kepada sang kakek.

Meskipun sang nenek berucap seolah mengomel kepada saya, sang kakek hanya diam saja, sementara saya melihat betul ke arah sang nenek yang sedang mengomel, dia sudah tidak bisa melihat lagi. Bagian putih penglihatannya saja yang terlihat dan tongkat bekas dari gagang sapu ijuk tergeletak di dekat kakinya.

Mendengar ucapan sang nenek yang agak bernada keras, kami terdiam sejenak. Menunggu waktu lagi untuk mengajak sang kakek berdialog lebih jauh.

"kalau makan di mana biasanya kek?". Kali ini kembali sang nenek yang lebih dulu menanggapi dengan bahasa Jawa yang tidak saya pahami pula. Yang jelas nadanya jg masih sama seolah ketersinggungan yang dia ungkapkan. Sang kakek masih tenang-tenang saja, tidak pula membantah apa yang diucapkan sang nenek. Bahkan dia menggeser duduknya dan meminta saya untuk duduk pada alas karung yang dia duduki.

Sang lelaki usia senja yang saya panggil kakek ternyata anak dari nenek tersebut. Dia selalu setia menuruti keinginan ibunya, menuntunnya ke mana ia inginkan. Mereka bukan pengemis, yang jelas mereka yang sedang berkelana tanpa tempat tinggal, setiap harinya menyusuri jalan-jalan di Jogja tanpa tujuan. Bahkan malampun menjadi selimut bagi mereka untuk terlelap melepas lelah di manapun mereka inginkan.

Tak banyak yang diceritakan sang anak yang saya panggil kakek tersebut. Kemiskinan terlihat jelas dari wajah mereka. Mereka tidak pernah meminta-minta, meski baju lusunya menyiratkan mereka adalah gelandangan, pengemis yang layak untuk diberi. Beberapa kali ketika mereka beristirahat di pinggir jalan, ada saja yang berhenti dan menghampiri mereka, memberikan makanan, ada juga yang memberikan uang, itulah yang disimpan oleh sang kakek ketika pada hari lain mereka tidak mendapatkan uluran tangan dari orang lain.

Sang kakek melanjutkan,  dia menuruti keinginan sang ibu untuk terus berjalan meski jalurnya hampir sama setiap hari yang mereka lalui. Dengan raut muka sendu, hanya itu yang bisa dia lakukan untuknya saat ini. Mereka tidak memunyai tempat tinggal, sepertinya itulah alasan mengapa mereka terus berjalan, sang ibu juga diceritakan tidak pernah merasa betah tinggal di satu tempat. Sementara sang nenek kembali mengomel ketika saya berbicara dengan sang kakek, sepertinya mengingatkan untuk tidak terlalu banyak bicara. Saya pun terdiam sejenak, padahal sampai saat itu sebenarnya waktu yang tepat untuk menanyakan mengapa mereka melakukan hal ini, berjalan tanpa tujuan, dan tinggal tidak menentu.

Deru kendaraan yang lalu lalang seolah menciptakan keheningan di antara kami bertiga di bawah teduhnya pepohonan pinggir hutan Biologi. Saya tidak bermaksud untuk membuat sang nenek tersebut sampai berucap agak keras ketika menanggapi pertanyaan yang saya ajukan kepada sang kakek. Pun saya memaklumi jika orang tua usia senja berucap seperti itu seolah-olah dia kembali lagi seperti anak kecil yang tidak berpikir lebih jauh atas ucapannya. Ini senada dengan yang diungkapkan dalam Al Qur'an bahwa usia tua bagi seorang manusia adalah perumpamaan pengembalian dirinya ketika masih kecil (Penjelasan dari QS. Al Hajj : 5).

Setidaknya dari mereka ada pelajaran yang bisa saya ambil, tentang bakti sang anak pada ibunya, tentang mereka yang tidak berniat untuk meminta namun senantiasa menerima apa yang diberikan orang lain kepada mereka, lalu keistiqomahan mereka untuk terus menjalani hidup, berjalan tanpa arah, tanpa tempat tinggal yang pasti, dan tidak ada kekhawatiran sama sekali tentang dunia yang pastinya akan mereka tinggalkan jua.

Mereka adalah sang pengembara di usia senja yang tetap istiqomah berjalan. Meski mereka tak tentu arah, namun arah yang abadi dan pasti hanyalah kepada-Nya. Dan itu hanyalah masalah waktu tentang " Arzalil umur" berdasarkan ketentuan-Nya yang tidak pernah ada satu pun yang mengetahui Kapan, dan di mana itu akan terjadi (QS. luqman : 34).

Catatan : sampai terakhir pertemuan singkat itu pun saya lupa menanyakan nama mereka

(Baim Lc, 06-04-17)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun