Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mayat-mayat Busuk

27 April 2016   13:31 Diperbarui: 27 April 2016   13:38 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Mohon maaf mamiq ndak kami tahu apa-apa di sini, kami sekedar keluar malam untuk ke sungai, ndak kami pernah tahu pepadu-pepadu juga, kami sekedar cari rizki juga mamiq". Kali ini Inaq Ran yang menjawab sambil tersengguk-sengguk gemetaran karena golok diarahkan kepadanya, tampak mengkilat disorot senter mereka.

" kalau begitu kalian tahu pak asdak tidak, katanya dia juga pepadu di kampung Klabang, dekat kampung kalian, atau kalian salah satu saudaranya juga". Sepertinya mereka menaruh dendam pada nama yang disebutkan tersebut.

" Kami hanya pendatang mamiq di kampung ini, kami tidak kenal banyak orang, sebab kami banyak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, kampung klabang juga kami tidak tahu orang-orang di sana". Inaq Ran tambah memelas dengan jawabannya, namun tak membuat para gerombolan itu beranjak dari tempat mereka.

" ayo kita lanjutkan saja perjalanan kalau begitu, nanti keburu pagi". salah seorang dari mereka mengusulkan, sebab sudah terdengar dari jauh kokok ayam dari kampung sebelah.

" Sebentar, kita tanya jalan dulu supaya lebih cepat sampai"

" jangan sampai ibu-ibu ini bercerita kepada yang lain. kalian tahu jalan lebih cepat ke kampung sari tidak?". Orang yang lebih tua itu semakin membentak.

" Lewat sungai ini bisa miq, lurus saja menelusurinya atau jalan lewat hutan itu juga bisa". Inaq Mar seperti tertarik untuk menjelaskan lebih jauh tentang jalur tersebut. Dia sempat terpikir barangkali gerombolan tersebut memang berasal dari kampung yang disebutkan, sebab kampung tersebut cukup dekat dengan kampung mereka. Namun kenapa mereka bertanya jalur ke sana, jika mereka memang berasal dari sana. Kebingungan membayanginya.

" tinggalkan saja ibu-ibu ini, gajo, jili kalian berdua angkat mato, sime gendong si baha". Orang yang cukup tua tadi segera memerintah.

" Kenapa tidak tinggalkan saja mato di sini?". ucap salah seorang dari mereka. Namun pimpinan mereka tadi langsung melayangkan tangan ke arah orang yang berbicara tadi. Sempat terjadi perdebatan, gerombolan itupun berjalan ke arah jalur menuju sungai tempat menambang pasir, namun mereka berbelok masuk ke hutan akasia, tidak sampai menuruni sungai.

Sementara Inaq Icah sejak awal hanya terdiam dan menjongkok. Tiba-tiba dihadang di tempat yang sepi oleh segerombolan orang tak dikenal dengan senjata tajam, jelas saja semakin membuat lutut tuanya lemas seakan terlepas dari persendiannya. Syukurnya mereka hanya diinterogasi dengan bentakan, tidak kena sabet ataupun pukulan dari gerombolan tersebut. Setelah gerombolan itu menghilang Inaq Icah langsung memuntahkan isi perutnya yang sejak tadi berusaha ditahan. Dia melihat dengan jelas isi perut anggota gerombolan tadi yang robek perutnya dan dingkat oleh dua orang temannya dengan sarung yang sudah bersimbah darah. Sementara yang digendong itu terluka parah di bagian punggung dan pahanya, baju yang dikenakan tampak basah bersimbah darah segar.

Keringat dingin mereka yang sejak tadi tertahan terasa semakin dingin tertiup angin. Mereka saling membantu memapah Inaq Icah yang terduduk lemas setelah muntah tadi. Inaq Ran menyarankan agar mereka kembali saja ke rumah membawa Inaq Icah yang masih lemas, namun Inaq Icah bersikukuh agar mereka melanjutkan saja perjalanan ke sungai yang sudah cukup dekat. Suara loudspeaker dari masjid-masjid sudah mulai terdengar mendengungkan bacaan-bacaan Qur'an dari kaset yang disetel. Walaupun masih shock dengan kejadian tadi,  namun mereka langsung saja terjun ke sungai. Dengan ayakan plastik mereka mengorek pasir yang terkumpul di dalamnya lalu ditumpuk di pinggir sungai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun