[caption caption="Larangan pakai sandal. (sumber gambar: balebengong.net"][/caption]
Masih ingat betul empat tahun lalu ketika menikmati masa-masa kuliah, semenjak semester 3 mulai tidak terlalu mengindahkan aturan-aturan kampus terkait kerapian ketika mengikuti perkuliahan. Misalnya tertulis di beberapa Titik " Dilarang pakai Sandal Jepit dan Kaos Oblong", atau di bagian Akademik " Tidak Melayani Mahasiswa yang pakai Sandal", kata-kata dilarang tersebut seolah berarti haram hukumnya dipakai ketika memasuki kampus. Entah niat mencoba untuk melihat konsistensi pembuat larangan tersebut, semenjak semester 3 saya mulai kuliah memakai sandal, bukan karena tidak mampu beli sepatu, nyamannya pakai sandal itu sudah kadung melekat dalam diri saya.
Awal-awalnya masih agak risih jika sampai ketahuan memakai sandal ketika mengikuti kuliah. jadi saya siasati lebih dahulu masuk ke kelas sebelum dosennya datang, jika dosen duluan masuk maka saya lebih memilih menunggu di area parkiran dari pada ditegur karena pakai sandal, dan itu bisa merendahkan harga diri sebagai mahasiswa. Saya terpikir dengan kalimat larangan yang ditempel di beberapa titik tembok kampus, saya analogikan yang dilarang itu yang menggunakan sandal jepit, seperti sandal WC (Sky way, Melly dll.), sedang sandal saya waktu itu Ardiles (sandal jepit juga, namun hilang ketika Shalat di Masjid Raya). Saya pun berpikir untuk mengumpulkan uang agar dapat membeli sandal yang bukan jepit, seperti sandal gunung yang keren-keren, kalau di kampung dikatakan sandal pendekar, karena banyak talinya yang melilit di kaki. Melihat ada teman juga yang pakai di kampus, akhirnya ikutlah saya membeli sandal Eiger banyak tali dan bukan jepit.
Sama halnya ketika masih di bangku SMA, kalau musim hujan urusan sepatu bisa jadi ruwet karena basah. Jadi dari pada tiap hari basah karena pulang sore, dan hujan turun biasanya siang sampai sore, tak akan kering sampai besok pagi, saya biasa meninggalkan sepatu di Laci meja, lalu pulang dengan memakai sandal, begitu juga keesokan harinya ketika datang ke sekolah, dari rumah pakai sandal jepit, kadang Ibu menanyakan apakah tidak dimarahi nanti di sekolah karena memakai sandal. Pernah sekali dicegat oleh Satpam sekolah karena terlihat memakai sandal, saya jelaskan bahwa sepatu saya ada di dalam kelas karena takut basah kemarin jika dipakai pas pulang. Sebelum sampai di kelas dicegat lagi oleh wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, kembali lagi beralasan yang lebih real, walaupun diomelin terlebih dahulu akhirnya dibiarkan juga menuju kelas.
Sya teringat sebuah film tentang disiplin menggunakan sepatu ketika datang ke sekolah. film berjudul "Childreen of Heaven", diceritakan dua orang, kakak-beradik yang bergantian memakai satu sepatu ketika mereka hendak pergi ke sekolah. Fatimah yang masih sekolah setingkat TK, kehilangan sepatunya ketika sang kakak, Ali, sedang berhutang kentang di salah satu pedagang atas perintah ibunya. Sementara sepatu adiknya yang baru selesai diperbaiki dari tukang sepatu, ditaruh di dekat bak sampah tempat pembuangan sayur busuk. Tanpa sengaja seorang pemulung melintasi tempat tersebut dan menemukan sepatu bekas dekat bak sampah tadi, lalu diambillah sepatu tersebut sementara Ali sedang menimbang kentang bersama pedagang. Selesai menimbang kentang dia kebingungan karena sepatu adiknya sudah tidak ada di tempatnya, Dia pun membongkar tumpukan sayur milik pedagang tadi dan berujung ambruknya meja milik pedagang tersebut sehingga dagangannya tercecer, Ali pun dimarahi dan segera lari ketakutan.
Semenjak hilangnya sepatu adiknya tersebut, Sepatu seolah menjadi hal penting bagi dua orang kakak beradik ini. Karena patuhnya akan disiplin sekolah yang mengharuskan mereka menggunakan sepatu ketika datang ke sekolah, terpaksa mereka bergantian menggunakan sepatu tersebut. Ali sering terlambat masuk sekolah karena menunggu fatimah yang masuk sekolah pagi dan bergantian memakai sepatu. Guru di sekolah Ali sering menegurnya karena terlambat, dan Ali sering memberikan alasan yang kurang tepat tanpa mau jujur bahwa dia menunggu sepatu yang dipakai adiknya terlebih dahulu. Hingga suatu ketika Ali terlambat dan dicegat oleh kepala sekolah karena terlalu sering terlambat, dia pun diusir dari sekolah tidak diberikan masuk, sambil menangis, lalu dilihat oleh salah seorang guru di kelasnya, guru tersebut yang memberitahu kepala sekolah tadi bahwa Ali adalah anak yang rajin dan cukup berprestasi di kelas, sehingga Ali pun diminta kembali ke kelas.
Suatu ketika Fatimah yang tergesa-gesa keluar dari kelas pada waktu istirahat, polpennya terjatuh dari tas, lalu dipungut oleh salah seorang anak sebayanya tetapi berbeda kelas, anak itu pun mendekati Fatimah lalu memberikan polpennya yang jatuh. Tanpa sengaja Fatimah melirik pada sepatu yang dikenakan anak tersebut, persis seperti sepatunya yang hilang beberapa waktu lalu. Sepulang sekolah dengan mengendap-endap, Fatimah mengikuti anak tersebut sampai ke rumahnya.
Setelah itu dia menceritakan kejadian tersebut pada kakaknya yang telah menunggu di persimpangan jalan untuk bergantian memakai sepatu, Ali berjanji akan datang ke rumah anak tadi perihal sepatu yang diceritakan adiknya. Naas menimpa, Salah satu sepatu tersebut jatuh ke kali ketika mereka sedang bergantian tadi, setelah menelusuri kali yang cukup deras airnya tadi, sepatu lusuh itu pun didapatkan kembali. Ali kembali lagi terlambat dengan sepatu basah, namun kali ini tidak ada yang mencegat karena tidak ada guru yang melihatnya.
Di kelas sedang diumumkan ada lomba lari Maraton, juara ketiga akan mendapatkan hadiah sebuah sepatu. Ali ragu untuk ikut, karena sepatu yang dia punya sangat lusuh, dengan tawaran dari guru olahraganya Ali pun ikut didaftarkan. Sementara itu adiknya telah menunggu dia pulang sekolah untuk sama-sama datang ke rumah anak yang memakai sepatu adiknya. Alangkah terkejutnya mereka, ternyata anak perempuan tadi keluar dari rumah sambil menuntun pria tua yang tidak dapat melihat, untuk pergi berjualan gula-gula. mereka terdiam tanpa kata sambil berlalu untuk pulang, keduanya sepertinya mengikhlaskan sepatu tersebut untuk dipakai oleh anak perempuan dari pria tua yang buta tadi. Lalu Ali berjanji untuk memenangkan lomba lari tersebut agar mendapatkan sepatu untuk adiknya.
Acara lomba pun dimulai, ali dengan semangat penuh karena teringat adiknya yang berlarian hanya untuk bergantian sepatu. Setelah sampai finish Ali cukup kecewa karena tidak berhasil mendapatkan posisi ketiga, namun dia di urutan pertama yang sampai finish. Di tengah gembira dari guru-guru sekolahnya karena dia berhasil mendapatkan juara pertama, justru Ali merasa kecewa, terbayang wajah adiknya yang akan terus berlarian untuk bergantian sepatu. Sesampainya di rumah Ali meminta maaf kepada Fatimah karena tidak berhasil mendapatkan juara 3, adiknya pun menceritakan perihal hilangnya sepatu miliknya kepada orang tua mereka. Akhirnya sang adik mendapatkan sepatu baru yang dibelikan oleh ayah mereka ketika mempunyai kelebihan rizki.
Mengingat cerita pada film tersebut, Waktu masih di Bangku MTs. ada kejadian menarik yang selalu saya perhatikan terjadi berulang kali terkait disiplin memakai sepatu. Waktu itu saya baru memasuki bangku MTs. di salah satu Pondok Pesantren. Di Madrasah tersebut walaupun swasta dan di bawah naungan yayasan, para civitas berusaha untuk menjalankan disiplin sebaik mungkin. Salah satunya adalah larangan memakai sandal dan harus memakai Peci hitam ketika berada di Madrasah. Bagi siswa yang datang memakai sandal entah itu karena tidak memiliki sepatu atau karena sepatu sedang basah, maka hukumannya yaitu sandal yang dipakai tersebut dibuang ke atas genteng sekolah yang sebagian ditutupi rimbunnya daun pohon mangga depan Madrasah. Siswa yang datang memakai sandal, hanya boleh mengambil sandal yang dibuang tadi ketika akan pulang.
Ketika pulang itulah banyak terlihat siswa-siswa menggunakan berbagai cara untuk mengambil sandal mereka di atas genteng. Di antara mereka ada salah satu siswa, kakak kelas, yang tidak memiliki sepatu sehingga setiap hari ketika akan pulang terlebih dahulu mengambil galah untuk mengambil sandal yang dibuang tersebut. Setiap hari tak letihnya salah seorang guru untuk melempar sandal siswa tersebut, begitu juga dengan siswa tadi tetap datang ke sekolah walaupun tanpa sepatu dan tetap mengambil sandalnya di atas genteng ketika akan pulang.
Sang Guru yang melemparkan sandal siswa tersebut meminta agar dia membeli sepatu supaya terlihat rapi, namun siswa tersebut berkilah belum memiliki uang untuk membeli sepatu dan tidak mau memberatkan orang tuanya agar membelikannya sepatu. Entah itu alasan yang bisa diterima dari siswa tersebut atau hanyalah akal-akalannya saja. Namun istiqomahnya untuk terus datang ke sekolah walau sandalnya tetap dilemparkan ke atas genteng patut untuk diapresiasi. Seharusnya ketika sekolah menginginkan disiplin dari siswa bukan dalam bentuk tekanan, tetapi berusaha menyadarkan siswa dengan pendekatan yang lebih bersahabat, bukan dengan tingkatan-tingkatan bahwa guru lebih superior dan siswa seenaknya direndahkan dan ditekan.
Begitu juga halnya saya ketika sering memakai sandal ketika mengikuti kuliah, saya menganalogikan bahwa bukan karena kita rapi atau tidak sehingga bisa menjadi lebih paham dengan materi kuliah. Namun bukan berarti saya orang yang tidak suka kerapian, beruntungnya ketika memakai sandal Eiger dengan banyak tali tersebut terlihat lebih fashionable, sehingga walaupun dipakai ke kelas tidak ada Dosen yang menegur. Pernah ketika diminta menjelaskan suatu pembahasan di depan kelas saya sudah was-was akan ditegur oleh Dosen, namun beliau tidak memperhatikan saya pakai sepatu atau tidaknya, yang penting saya mampu menjelaskan apa yang beliau perintahkan. Begitu juga ketika memasuki gedung Akademik untuk berbagai keperluan, walaupun memakai sandal, namun ketika kita bisa menjaga sopan santun dan bersikap ramah kepada semua orang, tidak ada yang mempermasalahkan tentang kerapian.
Berbeda halnya ketika berada di kampus Besar, kampus Favorit di Indonesia, Disiplin untuk kerapian lebih ketat lagi. Larangan untuk tidak memakai sandal jepit dan kaos Oblong tersebar di banyak titik disertai gambar. Kembali lagi niat untuk melihat konsistensi pembuat larangan tersebut muncul di benakku. Sebab hujan yang sering turun di sore hari, ketika pulang pasti sepatu basah karena jalan yang kami lalui sering digenangi air kira-kira sampai setengah sepatu tenggelam. Datang ke kampus keesokan harinya memakai sandal, tanpa peduli ketika Satpam di gerbang melirik ke arah saya namun tak berucap kata juga. Begitu pula Ketika sampai di Kampus, banyak Mahasiswa yang melirik ke kaki saya, bahkan ada yang langsung berguyon mengatakan saya korban Banjir. Masuk ke kelas, pengajarnya pun tak berkomentar, kalaupun mereka melarang saya masuk ke kelas, saya sudah siap dengan berbagai alasan, dari pada tidak datang sama sekali, hanya karena tidak memakai sepatu.
Ini bukan berarti saya tidak senang rapi, tidak senang memakai sepatu, namun ada kalanya kerapian itu bukan menjadi tolok ukur mutlak seseorang boleh mengikuti kelas atau tidak. Karena kita mendapati keadaan yang berbeda-beda di tiap orang, jadi larangan yang dipajang terkait harus memakai sepatu itu bukan sepenuhnya patokan mutlak bahwa seorang mahasiswa boleh menuntut ilmu terkait haknya yang sudah membayar iuran. Datang ke kampus rapi, memakai sepatu namun hanya untuk bergaya, tidak ada artinya dibanding mahasiswa yang datang ke kampus walaupun pakain lusuh, memakai sandal namun ada ide kreatif yang mampu diungkapkan, dan itu Bukanlah saya. Saya hanya mahasiswa biasa, yang kebetulan dulu tidak mendapatkan nilai bagus, sekedar cukup untuk tidak mengulang, namun memiliki tekad, setidaknya ada ide kreatif yang akan saya kembangkan.
Lalu terkait penggunaan sandal ketika kuliah, bukan berarti tidak menghargai disiplin kampus. Ada kalanya hal-hal yang tidak biasa itu justru memunculkan inspirasi untuk dijadikan bahan renungan, salah satunya, tulisan ini bisa terselesaikan, tengah derasnya hujan siang kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H