Ketika pulang itulah banyak terlihat siswa-siswa menggunakan berbagai cara untuk mengambil sandal mereka di atas genteng. Di antara mereka ada salah satu siswa, kakak kelas, yang tidak memiliki sepatu sehingga setiap hari ketika akan pulang terlebih dahulu mengambil galah untuk mengambil sandal yang dibuang tersebut. Setiap hari tak letihnya salah seorang guru untuk melempar sandal siswa tersebut, begitu juga dengan siswa tadi tetap datang ke sekolah walaupun tanpa sepatu dan tetap mengambil sandalnya di atas genteng ketika akan pulang.
Sang Guru yang melemparkan sandal siswa tersebut meminta agar dia membeli sepatu supaya terlihat rapi, namun siswa tersebut berkilah belum memiliki uang untuk membeli sepatu dan tidak mau memberatkan orang tuanya agar membelikannya sepatu. Entah itu alasan yang bisa diterima dari siswa tersebut atau hanyalah akal-akalannya saja. Namun istiqomahnya untuk terus datang ke sekolah walau sandalnya tetap dilemparkan ke atas genteng patut untuk diapresiasi. Seharusnya ketika sekolah menginginkan disiplin dari siswa bukan dalam bentuk tekanan, tetapi berusaha menyadarkan siswa dengan pendekatan yang lebih bersahabat, bukan dengan tingkatan-tingkatan bahwa guru lebih superior dan siswa seenaknya direndahkan dan ditekan.
Begitu juga halnya saya ketika sering memakai sandal ketika mengikuti kuliah, saya menganalogikan bahwa bukan karena kita rapi atau tidak sehingga bisa menjadi lebih paham dengan materi kuliah. Namun bukan berarti saya orang yang tidak suka kerapian, beruntungnya ketika memakai sandal Eiger dengan banyak tali tersebut terlihat lebih fashionable, sehingga walaupun dipakai ke kelas tidak ada Dosen yang menegur. Pernah ketika diminta menjelaskan suatu pembahasan di depan kelas saya sudah was-was akan ditegur oleh Dosen, namun beliau tidak memperhatikan saya pakai sepatu atau tidaknya, yang penting saya mampu menjelaskan apa yang beliau perintahkan. Begitu juga ketika memasuki gedung Akademik untuk berbagai keperluan, walaupun memakai sandal, namun ketika kita bisa menjaga sopan santun dan bersikap ramah kepada semua orang, tidak ada yang mempermasalahkan tentang kerapian.
Berbeda halnya ketika berada di kampus Besar, kampus Favorit di Indonesia, Disiplin untuk kerapian lebih ketat lagi. Larangan untuk tidak memakai sandal jepit dan kaos Oblong tersebar di banyak titik disertai gambar. Kembali lagi niat untuk melihat konsistensi pembuat larangan tersebut muncul di benakku. Sebab hujan yang sering turun di sore hari, ketika pulang pasti sepatu basah karena jalan yang kami lalui sering digenangi air kira-kira sampai setengah sepatu tenggelam. Datang ke kampus keesokan harinya memakai sandal, tanpa peduli ketika Satpam di gerbang melirik ke arah saya namun tak berucap kata juga. Begitu pula Ketika sampai di Kampus, banyak Mahasiswa yang melirik ke kaki saya, bahkan ada yang langsung berguyon mengatakan saya korban Banjir. Masuk ke kelas, pengajarnya pun tak berkomentar, kalaupun mereka melarang saya masuk ke kelas, saya sudah siap dengan berbagai alasan, dari pada tidak datang sama sekali, hanya karena tidak memakai sepatu.
Ini bukan berarti saya tidak senang rapi, tidak senang memakai sepatu, namun ada kalanya kerapian itu bukan menjadi tolok ukur mutlak seseorang boleh mengikuti kelas atau tidak. Karena kita mendapati keadaan yang berbeda-beda di tiap orang, jadi larangan yang dipajang terkait harus memakai sepatu itu bukan sepenuhnya patokan mutlak bahwa seorang mahasiswa boleh menuntut ilmu terkait haknya yang sudah membayar iuran. Datang ke kampus rapi, memakai sepatu namun hanya untuk bergaya, tidak ada artinya dibanding mahasiswa yang datang ke kampus walaupun pakain lusuh, memakai sandal namun ada ide kreatif yang mampu diungkapkan, dan itu Bukanlah saya. Saya hanya mahasiswa biasa, yang kebetulan dulu tidak mendapatkan nilai bagus, sekedar cukup untuk tidak mengulang, namun memiliki tekad, setidaknya ada ide kreatif yang akan saya kembangkan.
Lalu terkait penggunaan sandal ketika kuliah, bukan berarti tidak menghargai disiplin kampus. Ada kalanya hal-hal yang tidak biasa itu justru memunculkan inspirasi untuk dijadikan bahan renungan, salah satunya, tulisan ini bisa terselesaikan, tengah derasnya hujan siang kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H