Mohon tunggu...
Ahmad Bahy Hilmy Nugroho
Ahmad Bahy Hilmy Nugroho Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hustler

Sarjana Teknologi Pertanian Petani desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Social Distancing = Economy Distancing (?)

1 April 2020   11:02 Diperbarui: 1 April 2020   11:08 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah akan menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. "Pemerintah juga sudah menertibkan PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat untuk melaksanakan amanat UU tersebut," kata Joko Widodo pada konferensi pers melalui akun youtube Setpres, Selasa (31/3/2020).

Sebelumnya himbauan presiden untuk melakukan pembatasan kontak fisik selama 2 pekan kemarin dirasa belum berjalan dengan baik mengingat masih banyak warga yang melakukan kegiatan diluar rumah. Presiden menganjurkan kantor-kantor untuk memberlakukan bekerja di rumah dan sekolah atau universitas untuk belajar di rumah. Namun banyak kantor yang tidak mematuhi himbauan presiden, banyak perkantoran yang tidak meliburkan pekerjanya.

Ironisnya pekerja yang tidak bisa libur ini cenderung pekerja kelas bawah. Ini terjadi karena banyak hal yang harus dikerjakan secara manual seperti pengoperasian mesin pabrik dan pekerjaan fisik lainnya. Para petinggi perusahaan pasti bisa melakukan work from home seperti meeting, laporan dan sebagainya melalui teleconference maupun email. 

Seakan akan perkantoran mengorbankan para pekerja kasar ini untuk bertaruh nyawa melawan virus mematikan demi keberlangsungan perusahaan semata. 

Padahal pada era pandemi ini pertumbuhan ekonomi memang terhambat, banyak perusahaan merugi, pedagang yang gulung tikar serta banyak sektor lain yang terancam. Dari sisi perusahaan, mereka pasti berusaha untuk menghindari kebangkrutan di masa krisis ekonomi ini.

Disisi lain para pekerja yang harus tetap bekerja ini tidak mempunyai pilihan lain, mereka harus tetap bekerja mengingat mereka membutuhkan pemasukan untuk persiapan dalam menghadapi pandemi ini kedepan yang entah berakhir kapan. 

Meskipun dalam mencari pemasukan ini mereka tetap harus menghadapi resiko tertular di tempat umum maupun tempat mereka bekerja. Berbeda dengan pekerja kelas bawah, para petinggi perusahaan tidak perlu keluar rumah untuk bekerja, mereka pasti juga mempunyai kekuatan ekonomi yang bisa diandalkan untuk survive menghadapi gejolak ekonomi kedepan.

Selain kantor, banyak juga para pekerja di sektor informal seperti pedagang yang masih saja berani keluar mencari pendapatan di sela wabah covid19. Mereka tidak mengindahkan perintah untuk social distancing sama sekali, mereka bisa saja menjadi carrier/pembawa virus yang bisa meningkatkan penyebaran. 

Namun alangkah tidak eloknya jika kita menyalahkan mereka, mengingat para pedagang ini hidup dari hari ke hari hanya melalui dagangan mereka. Yang mereka tahu hanyalah berjualan hari ini dan mendapat uang untuk makan malam nanti, begitu seterusnya.

Lalu ketika wabah pandemi semakin menyebar dan ekonomi semakin lesu siapa yang akan memberi makan para pekerja kelas bawah, pedagang dan para keluarga dengan ekonomi rentan? 

Cukup ironis, namun jawabannya adalah: tidak ada. Ketika presiden memberlakukan PSBB ini berarti pemerintah akan menutup sekolah, tempat kerja serta pembatasan kegiatan sosial bagi warga tanpa memberikan insentif bagi warga untuk bertahan hidup. Artinya pemerintah bukan hanya melakukan pembatasan sosial namun juga pembatasan tunjangan ekonomi bagi warga dengan ekonomi rentan. 

Aturan mengenai PSBB ini terdapat pada UU no 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU tersebut tidak mengatur tentang pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat selama PSBB. 

Selain aturan PSBB, di UU ini juga terdapat pula peraturan mengenai karantina wilayah. Karantina wilayah adalah pembatasan seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah dan tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. 

Wilayah tersebut dijaga pejabat karantina kesehatan dan polisi. Kebutuhan dasar warga serta pemberian pakan untuk hewan ternak menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.

Namun bukankah selama 2 pekan ini himbauan pemerintah mengenai social distancing dengan menutup sekolah dan tempat kerja ini mirip dengan peraturan PSBB ini? Lalu apa yang membedakannya. 

Pemberlakuan PSBB hari ini seolah-olah hanya penekanan dari himbauan social distancing oleh presiden selama 2 pekan ini, artinya pemerintah hanya menegaskan kalau social distancing ini mempunyai landasan hukum yang jelas selain UU no 6 tahun 2018  yaitu PP PSBB dan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kita cukup menanti pemerintah, apakah PSBB ini akan lebih efektif dibandingkan social distance yang sudah berlaku selama 2 minggu ini.

Kalau seperti itu bukankah lebih baik jika langsung menjalankan karantina wilayah? Artinya seandainya karantina wilayah ini yang diberlakukan maka warga dengan ekonomi rentan bisa lebih tercukupi dalam keadaan ini. Selain itu rangkaian penyebaran virus juga bisa lebih diminimalisir. Dengan pemberlakuan PSBB muncul anggapan-anggapan seakan-akan pemerintah tidak mau rugi untuk membiayai kehidupan seluruh rakyatnya demi menang melawan pandemi covid19 ini.

Memang saat Presiden Jokowi menetapkan PP tentang PSBB ini, beliau juga sekaligus menetapkan anggaran belanja negara untuk menambah biaya penanganan corona. Anggaran tersebut digunakan dari pengadaan alat kesehatan sampai bantuan ke rakyat. 

Bantuan tersebut disalutkan melalui program seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Kartu Pra Kerja, Diskon Tarif Listrik, Antisipasi Kebutuhan Pokok dan terakhir Keringanan Pembayaran Kredit. 

Kalau kita lihat bantuan ini disalurkan melalui program-program yang sebelumnya memang sudah ada, artinya rakyat yang tidak termasuk dalam program tersebut namun terdampak paling besar dalam pandemi ini belum tercatat dalam program tersebut. Kecuali jika pemerintah bisa menelusuri itu semua dalam waktu yang sangat singkat.

Pada saat seperti ini pemerintah seharusnya bisa all-out, pemerintah tidak bisa lagi pelit menguras kantong untuk menangani covid19 dan menjaga rakyat dengan ekonomi rentan ini. Kita harus berani merasakan short term pain kalau mau mendapatkan long term gain. 

Jika kita kembali tarik ke belakang, bulan februari lalu ketika belum ada kasus positif di Indonesia, fokus pemerintah banyak tertuju pada ekonomi. 

Bukannya fokus mencegah coronavirus masuk ke indonesisa, namun yang dilakukan pemerintah justru memberi diskon kepada wisatawan seolah olah memberi jalan kepada virus untuk masuk ke Indonesia. 

Seakan-akan urusan kantong itu lebih penting dibanding nyawa masyarakat. Sekarang jumlah kasus di Indonesia sudah mencapai lebih dari 1400 dan akan terus bertambah, yang bisa kita (negara) lakukan adalah mengerahkan segala upaya untuk mengurangi kenaikan ini supaya kurva kenaikan tidak memuncak tinggi tanpa ada warga yang harus dikorbankan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip perkataan Bill Gates dalam wawancaranya bersama TED, "We're going to take the pain from the economic dimension, huge pain, in order to minimize the pain in the disease and death dimension. But the economy is more reversible thing than bringing people back to life"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun