Mohon tunggu...
Bahtiar Hayat Suhesta
Bahtiar Hayat Suhesta Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis, konsultan IT.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

N5M yang Terlalu 'Man Jadda Wajada'

14 April 2012   15:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul : Negeri 5 Menara

Sutradara : Affandi Abdul Rachman

Penulis Skenario : Salman Aristo

Produksi : KG Production dan Million Picture, 2012

Durasi : 120 menit


Laiknya pulang dari pelatihan motivasi, begitulah kiranya kesan yang saya tangkap sesudah menyaksikan film Negeri 5 Menara (N5M). Kalimat man jadda wajada terngiang-ngiang di telinga sewaktu keluar dari Studio 21 Royal Plaza Surabaya siang itu. Sabtu, 10 Maret 2012.

Mimik wajah Baso masih terbayang hingga detilnya saat mengucapkan ‘mantra’ itu pada anggota sahibul menara di pelataran Pondok Madani. Pun ekspresi ustadz Salman ketika pertama kali memasuki kelas mereka: parang tumpul di tangan kanan, kayu di tangan kiri. Tanpa berkata-kata, ia lalu membacok kayu itu dengan parangnya. Berulang kali, kayu itu tak juga putus. Ketika akhirnya terpotong menjadi dua, sambil mengelap peluh di kening dan napas terengah, ustadz Salman berkata, “Bukan seberapa tajam. Bukan seberapa keras. Tetapi, siapa yang bersungguh-sungguh, dialah yang berhasil! Man jadda wajada!


Man jadda wajada! Inilah ‘mantra’ yang telah membius banyak orang setelah membaca novel dengan judul yang sama karya Ahmad Fuadi itu. Mantra ini pulalah yang ingin ditularkan oleh film N5M. Tekanan mantra itu hampir terejawantah pada seluruh bagian film, lebih kuat dan mendominasi ketimbang unsur lainnya. Justru karena itulah, N5M saya rasa telah gagal sebagai sebuah suguhan film.


Dari Buku ke Layar Lebar


Sama dengan film Ayat-ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih (KCB), Laskar Pelangi (LP), Sang Pemimpi (SP), dan sejumlah film lainnya, film besutan Affandi Abdul Rachman ini adalah ‘korban’ kesekian dari upaya mengangkat novel best seller ke layar lebar. Bagaimanapun, menerjemahkan karya tulis setebal 422 halaman menjadi karya visual berdurasi 120 menit adalah pekerjaan penuh tantangan –kalau tak boleh disebut berisiko. Satu hal yang pasti: film itu tak mungkin mampu mengadopsi seluruh bagian cerita novel aslinya. Dari sisi ini saja risiko itu sudah jelas di depan mata, tanpa perlu menyebar kuesioner: akan banyak pembaca setia novel N5M yang bakal kecewa. (Untuk mengurangi barisan yang kecewa itulah saya sengaja tidak membaca novelnya lebih dahulu :) )


Di sisi lain, sebuah film dituntut mampu menghibur penontonnya, karena memang ‘agar terhibur’ itulah tujuan mereka datang ke bioskop. Itu berarti, dari sisi skenario, film harus memiliki plot yang memikat. Ketiga unsur plot (tokoh, peristiwa, dan konflik) harus diramu menjadi adonan cerita yang terjalin sempurna dengan tikaian dramatik dan klimaks-anti klimaks yang memuaskan penontonnya. Jika tidak, penonton akan kecewa; bahkan kecewa kuadrat bagi pembaca setia novelnya.


Sutradara dan penulis skenario film sangat memahami hal ini. Karena itu, jika konflik kurang memadai akibat paksaan pemadatan atau pencuplikan cerita di sana-sini karena keterbatasan waktu, maka biasanya penulis skenario akan sedikit ‘berakrobat’ keluar dari cerita novel aslinya untuk memenuhi tuntutan penonton itu. Dan belakangan setelah mengintip novelnya, saya melihat hal itu memang dilakukan Salman Aristo, sang penulis skenario, pada plot cerita N5M ini. Adegan ustadz Salman dengan parang dan kayunya yang begitu ‘dramatis’ di film adalah salah satu contohnya.


Mantra yang Kebablasan


Saya membayangkan bagaimana Salman Aristo ketika menulis skenario film ini. Ia, diakui atau tidak, mau tidak mau berangkat dari pesan (moral) utama novel N5M: man jadda wajada! Lalu ia gunakan mantra itu sebagai ‘saringan’: mana bagian novel N5M yang bernuansa ‘siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil’ ia ambil. Dari sekian banyak bagian yang terambil, ia memilih yang paling kuat untuk masuk ke durasi 120 menit. Ia pilin bagian-bagian berserakan itu menjadi jalinan cerita. Ia bumbui di sana-sini biar menjadi plot yang memenuhi unsur-unsurnya.


Begitulah kiranya, sehingga seluruh bagian cerita itu pasti mengandung pelajaran ‘man jadda wajada’. Alif yang masuk Pondok Madani karena mengikuti keinginan orang tua, akhirnya berhasil juga sebagai ‘orang besar’. Para sahibul menara yang buta soal diesel, akhirnya mampu juga memperbaiki mesin pembangkit listrik milik pondok yang sering padam itu. Bagaimana Alif mendapatkan Sarah, Baso meraih juara lomba berpidato bahasa Inggris, pementasan drama “Ibnu Batutah” meski tanpa kehadiran Baso, sang penggagas utama, dan lain-lain; semua bernuansa ‘barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil’.


Kesan yang timbul bisa diduga. Mantra itu ‘menguasai’ (mendominasi) cerita. Adrenalin saya naik di awal-awal cerita, kemudian berangsur menurun dan akhirnya hambar. Film, buat saya, menjadi membosankan sejak ustadz Salman selesai memainkan parang tumpulnya dan menggelorakan ‘man jadda wajada’. Ibarat pelatihan motivasi, ia adalah pembicara utamanya. Jika pembicara utama sudah tampil, apa lagi yang perlu ditunggu? Tidak salah jika saya katakan, N5M lebih tepat disebut video motivasi. Itupun video motivasi yang bertele-tele.


Yang paling tidak cantik adalah ending film ini. Keenam orang sahibul menara (Alif, Baso, Raja, Said, Atang, dan Dulmajid) tiba-tiba dipersatukan oleh waktu, tempat, dan teknologi berbilang tahun kemudian di Tragalfar Square London dan sebuah tempat di Jakarta. Mereka telah berhasil ‘membangun’ menara masing-masing di 5 benua. Saya hanya menebak-nebak, mungkin Salman Aristo baru sadar jika film yang ia tulis skenarionya itu (harus) berjudul ‘Negeri 5 Menara’ dan bukan ‘Man Jadda Wajada’. Lalu ia membuka laptop dan menambah scene terakhir itu. Sebuah scene penambal yang justru membuat jalinan cerita yang ditambalnya bocor :)


Tetapi yakinlah bahwa dugaan saya lebih banyak tidak benarnya.


Dewa Penolong


Yang agak menolong sisi sinematografis film ini adalah seting tempat cerita.


Pondok Madani fiktif dalam film tidak lain Pondok Pesantren Gontor yang memang benar-benar ada di kota Ponorogo, Jawa Timur. Kabarnya syuting film N5M paling banyak mengambil seting di pondok modern itu, di samping Bandung dan London. Bahkan pusat cerita, sebuah menara di halaman pondok --tempat para sahibul menara biasa berkumpul dan mematri mimpi di 5 menara dunia-- masih berdiri utuh ketika film ini dibuat.


Anak saya yang masih SD kelas II berteriak dalam gelap studio ketika Alif dan ayahnya memasuki gerbang kota Reyog itu. “Lho, itu kan kotanya Ayah! Ponorogo!” teriaknya sambil menunjuk layar lebar. Sebuah gerbang kota yang dilengkapi patung reyog berikut perangkat dan punggawanya dengan tulisan PONOROGO di tengahnya terlihat jelas. Cuma orang Ponorogo seperti saya, barangkali, yang tahu kalau gerbang itu dibangun jauh sesudah tahun 80-an ketika Alif muda menimba ilmu di Pondok Madani.


Menghadirkan suasana tempat tahun 80-an cukup berhasil di film ini. Tidak saja secara eksplisit kalender dan pernak-pernik lainnya cukup teliti ditulis dan ditampilkan mengikuti tahun kejadian, tetapi juga suasana kota Ponorogo yang masih ‘sepi’. Ketika sahibul menara membawa es dari kota ke pondok, seting kanan-kiri jalan yang mereka lalui masih dipenuhi hamparan sawah bertanamkan padi. Jalanan pun sepi. Jika saja seting itu diambil tepat di jalan menuju Gontor kini, hamparan itu sudah tidak ‘perawan’ lagi. Rumah, toko, warung dawet Jabung berserakan di sana-sini. Jalanan pun sudah ramai kini.


Di luar itu, danau Maninjau, rumah Minang berikut dialek di mana keluarga Alif tinggal, cukup dikemas apik. Sejak Alif di rumah, lalu ia dan ayahnya memasuki gerbang kota Ponorogo, tiba di Pondok Madani pertama kali, hingga tampilnya ustadz Salman, saya masih merasakan kekuatan ‘film’ ini dari sisi sinematografis. Setelah itu, tak ada yang istimewa. Bahkan Bandung dan London yang ditampilkan cuma sebentar malah menjadi klilip (debu di mata).


Tentang Sarah yang ‘Tidak Pada Tempatnya’


Saya juga sedikit ‘menyayangkan’ hadirnya Sarah dalam film ini. Sekedar pemanis? Pembangkit konflik? Biar lebih ‘seger’? Bahkan saya juga menyayangkan adegan tersebut ada di dalam versi novelnya.


Betapapun modern-nya Gontor, tetapi percampuran laki-laki dan perempuan, sebagaimana digambarkan dalam film (misalnya, satu tempat bermain badminton), sangat dijaga agar tidak terjadi di pondok. Apalagi pondok salafiyah yang lebih tradisional. Pondok Gontor Ponorogo adalah pondok khusus putra. Seluruh santrinya laki-laki. Ahmad Fuadi pasti tahu tentang hal itu, karena ia mengalaminya sendiri. Sementara Gontor putri terpisah dari Gontor putra, bahkan sangat jauh. Pondok Gontor Putri I, II, dan III berada di Mantingan, Ngawi, Jawa Timur; sekira 2 jam perjalanan dari Ponorogo. Setahu saya, baik pondok putra maupun putri memiliki aturan yang sangat ketat tentang pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim-nya.


Karena itu, menghadirkan tokoh Sarah dalam cerita berbasis pesantren putra seperti N5M, buat saya mencederai ‘kesucian’ pondok yang ketat menjaga agar tidak terjadi ikhtilat (percampuran) antara santri laki-laki dan perempuan.


Apalagi kehadiran Sarah, buat saya, tidak signifikan dalam film ini. Wujuduhu ka’adammihi. Adanya sama saja dengan ketidakadaannya. Jadi, mengapa dipaksakan untuk ditampilkan? Jangan-jangan para orang tua yang semula ingin memasukkan anaknya ke Gontor malah mengurungkan niatnya hanya karena melihat adanya ‘percampuran’ pria-wanita dalam pondok ini di dalam film ini. Sangat disayangkan, bukan?


Apresiasi


Bagaimanapun, di tengah padang pasir film-film tak bermutu, N5M adalah oase. Kita bersyukur masih ada (mudah-mudahan banyak) sineas kita yang mau bersusah-payah membuat film yang berisiko seperti N5M. Mereka masih punya idealisme tentang arti pelajaran moral, pendidikan pekerti, dan hikmah yang dikandung sebuah film, ketimbang hanya memikirkan pundi-pundi emas yang bakal diraup meski harus mengorbankan nurani dan generasi muda penontonnya. Betapa industri film kita, dalam waktu yang cukup lama, bahkan hingga hari ini, kerap dipenuhi dengan film ‘murahan’ beraroma seks dan horor. Film yang bermata pedang dua: menghibur sekaligus merusak.


N5M, pun film-film seperti AAC, KCB, LP, SP dan lain-lain harus kita dukung. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Kalau sudah demikian, urusannya bukan lagi menghibur atau tidak, seru atau tidak; melainkan: ini bagian dari perang melawan film yang tidak mendidik. Dukungan terhadap film yang punya mission pencerahan bagi generasi muda Indonesia. Karena hadirnya kita ke bioskop menjadi pertimbangan sebuah film layak putar ulang atau hilang dari peredaran. Tentu harus dibarengi dengan para pekerja film membikin film yang sarat makna, tetapi juga keren secara sinematografis.


Semoga.


[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun