Jakarta, 03 Desember 2024.
Setiap tanggal 3 Desember, dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional sebagai momentum untuk mengingatkan pentingnya inklusi sosial dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Di Indonesia, data tahun 2023 menunjukkan bahwa ada sekitar 22,97 juta jiwa penyandang disabilitas, atau 8,5% dari total populasi Indonesia. Jumlah ini membuktikan bahwa mereka bukanlah minoritas kecil, melainkan komunitas besar yang berkontribusi signifikan terhadap kemajuan bangsa. Namun, apakah kesetaraan sudah benar-benar terwujud, sesuai dengan semangat yang digaungkan?
Sejarah dan Makna Peringatan
Hari Disabilitas Internasional pertama kali dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran global tentang isu-isu yang dihadapi penyandang disabilitas dan mendorong hak-hak mereka. Tema yang diusung setiap tahun menyoroti pentingnya menciptakan lingkungan inklusif yang memungkinkan mereka hidup dengan martabat, mandiri, dan berkontribusi sepenuhnya dalam masyarakat.
Di Indonesia, upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas terus dilakukan, meski tantangan masih membentang luas. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjadi tonggak penting, memberikan jaminan atas hak-hak dasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan aksesibilitas. Namun, dalam praktiknya, semboyan "no one should be left behind" masih jauh dari kenyataan.
Kesempatan yang Terbatas
Meskipun beberapa program inklusif telah berjalan, penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai hambatan, terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan. Data menunjukkan bahwa akses mereka terhadap pendidikan formal dan pekerjaan layak masih sangat terbatas. Kementerian Sosial RI memang telah menyediakan 31 sentra dan 6 balai besar yang memberikan layanan seperti pelatihan keterampilan, rehabilitasi sosial, hingga pendampingan menuju kemandirian. Namun, kapasitas dan cakupannya belum mampu menjangkau seluruh kebutuhan komunitas yang begitu besar.
Dalam dunia kerja, stigma dan kurangnya fasilitas ramah disabilitas seringkali menjadi penghalang. Padahal, penyandang disabilitas memiliki potensi luar biasa. Banyak di antara mereka yang mampu berkarya dalam berbagai bidang—dari seni hingga teknologi—asal diberikan kesempatan yang setara.
Refleksi Fakta dan Tantangan
Realitas ini mengajak kita untuk merenungkan, apakah semboyan-semboyan seperti "Setara Berkarya" sudah benar-benar terealisasi? Atau masih sebatas wacana? Kesetaraan tidak hanya berarti memberikan akses, tetapi juga menghapus stigma dan membangun kesadaran bahwa penyandang disabilitas adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang berdaya guna.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) dengan prinsip no one should be left behind menegaskan pentingnya memastikan bahwa semua orang, termasuk penyandang disabilitas, mendapatkan hak dan peluang yang sama. Implementasi ini memerlukan kerja sama lintas sektor—pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil—untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.
Apa yang Semestinya Dilakukan?
Hak penyandang disabilitas seharusnya tertunaikan melalui pendekatan yang terintegrasi:
- Peningkatan Aksesibilitas: Bangunan, transportasi, dan fasilitas umum harus ramah disabilitas. Ini bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghormatan atas hak mereka.
- Pendidikan Inklusif: Pastikan sekolah dan universitas menyediakan layanan yang mendukung penyandang disabilitas, baik melalui kurikulum khusus maupun fasilitas pendukung.
- Kesempatan Kerja yang Setara: Perusahaan perlu memberikan ruang bagi penyandang disabilitas untuk berkarier, lengkap dengan pelatihan dan penyesuaian lingkungan kerja.
- Penguatan Regulasi: Pemerintah harus memastikan implementasi kebijakan yang sudah ada berjalan efektif, termasuk memberikan sanksi bagi pelanggar.
- Peningkatan Kesadaran Publik: Kampanye antistigma harus terus digalakkan agar masyarakat menerima penyandang disabilitas sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Momentum Hari Disabilitas Internasional ini adalah pengingat bahwa kesetaraan bukan sekadar kata, tetapi tindakan nyata. Komunitas disabilitas bukan sekadar objek bantuan, melainkan subjek yang mampu berkarya jika diberi ruang dan peluang. Sudahkah kita mewujudkannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H