Berbagai bentuk kecemasan seperti kekhawatiran dimanfaatkan oleh orang yang lebih tahu, cemburu jika pada orang lain yang lebih tahu, khawatir dianggap tidak kompeten, atau takut dinilai tak memiliki otoritas dan tanggungjawab. Dalam kasus anak muda/remaja, mereka cemas jika tak diakui sebagai bagian dari satu kelompok.Â
Sosial media bukanlah gambaran sejati dari kehidupan orang-orang yang berada di dalamnya. Sosial media adalah episode-episode versi paling sempurna yang secara sadar dipilih untuk disebarluaskan di jejaring pertemanannya. Â
Jika platform sosial media paling terkemuka seperti Facebook, Instagram, Youtube atau Twitter melarang penggunanya untuk pamer, membual atau sok-sokan, sepertinya orang tidak akan menggunakan sosial media. Sosial media memang galeri pameran kehidupan. Produk yang cacat tidak akan dipertunjukan di gerai atau outlet.
 Jika pengguna sosial media merasa hidupnya sama baik atau lebih baik dari orang lain, mereka akan bangga untuk membagikannya. Ini salah satu cara pengguna sosial untuk menilai dirinya, "Aku juga gak kalah keren loh!".Â
Masalahnya perilaku ini pun akan berdampak buruk bagi orang-orang di jejaringnya yang merasa hidupnya tak lebih baik. Jadilah sosial media sebuah siklus yang tak berhenti dan berfungsi ganda: sebagai racun sekaligus obat bagi Constant Checkers.
Dampak Psikologis Constant Checker
Studi tentang pengaruh internet dan sosial media dalam perkembangan kognitif telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Kathryn L Mills dari Departeme Psikologi, Universitas Oregon[i]. Menurut Mills ada enam kemungkinan efek internet bagi pertumbuhan kognitif anak muda:
1. Memori. Internet dan sosial media memungkinkan manusia untuk menyimpan memori secara eksternal, virtual dan digital yang akan mengurangi kemampuan individu untuk menyimpan memori secara internal. Â
Dalam penelitiannya terhadap beberapa siswa, Mills menemukan bahwa mereka cenderung tidak mengingat APA isi informasi secara spesifik, namun mereka mengetahui persis DIMANA dan BAGAIMANA informasi itu dapat ditemukan.Â
Anak remaja beradaptasi pada situasi kekinian dan alih-alih mengingat informasi secara spesifik, mereka lebih  berusaha untuk mengetahui bagaimana cara mengakses informasi yang lebih mudah dan efisien. Mills menyimpulkan, semakin dekat dan mudah akses pada internet, semakin percaya diri seorang remaja untuk menyelesaikan tugas-tugas (terutama) pendidikannya.
2. Pemikiran Analitik (Analytical Thinking). Salah satu dampak yang mencemaskan dari internet dalam perkembangan kognisi adalah menurunnya kemampuan analisis, terutama pada anak dan remaja. Dengan akses pada informasi yang sangat mudah, mereka cenderung  menghindari untuk terlibat dengan proses kognitif yang lebih berat (High Effort Thinking)