Mohon tunggu...
Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana Mohon Tunggu... Relawan - Profesional dalam bidang transformasi konflik, memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu perdamaian, toleransi, pengambangan budaya damai.

Tinggal di Cirebon, saat ini adalah mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Menekuni bidang pengembangan budaya perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kompetensi Budaya untuk Pembimbing Pemasyarakatan

14 Januari 2021   14:19 Diperbarui: 14 Januari 2021   14:44 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reintegrasi sosial didefinisikan sebagai proses transisi dari masa pemenjaraan menuju pengembalian kepada masyarakat, penyusuaian diri pada kehidupan di luar penjara dan memelihara sikap hidup yang bebas dari kejahatan (Laub and Sampson, 2001, 2003). Salah satu konsep penting dalam reintegrasi sosial adalah penghentian (desistance). Jadi reintegrasi sosial berfokus pada mengubah sikap dan gaya hidup mantan narapidana untuk menghentikan tindakan kriminal dan menghindarkan dirinya dari keterlibatan dalam Tindakan atau perilaku criminal (Maruna et al., 2004). Untuk tujuan ini PK perlu memiliki pengetahuan dan kompetensi antar budaya agar ia sukses menjadi fasilitator reintegrasi sosial narapidana. Sayangnya belum ada studi spesifik tentang pentingnya kompetensi antar budaya bagi PK.

Bagi narapidana, transisi dari penjara ke masyarakat bukan persoalan mudah. Selain masalah-masalah di atas, narapidana juga menghadapi gegar budaya karena situasi sosial budaya tempat dimana ia akan dikembalikan pasti berbeda antara sebelum dan setelah pemenjaraan, apalagi jika ia dipenjara dalam waktu yang lama.

Dalam konteks PK, menurut Stier (2004), secara normatif PK harus melihat kliennya (narapidana) secara setara terlepas dari kewarganegaraan, suku, jenis kelamin, ras, agama dan latar belakang sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan sosial secara adil. Meski begitu, Stier juga tidak menutup mata bahwa secara sosiologis, keragaman budaya itu juga melekat dan berperan penting dalam cara pandang pekerja sosial -termasuk PK- terhadap klien karena kedua pihak adalah individu-individu yang memiliki karakter sendiri, unik, kontekstual dan dipengaruhi oleh latar budaya. Kompetensi antarbudaya dalam konteks PK dan klien bersifat resiprokal. Jadi PK bukan hanya dituntut untuk menjadi fasilitator yang baik bagi proses reintegrasi tapi kompetensinya itu juga dibutuhkan untuk berhadapan dengan kliennya.

Laird (2008) menawarkan sebuah pendekatan kerja sosial yang "anti-opresi" sebagai panduan bagi peningkatan kompetensi antarbudaya. Laird berargumen bahwa kompetensi ini akan berkembang dari proses eksplorasi diri (PK dan klien) yang terus menerus, melalui pendekatan yang menekankan empati. Pendekatan anti-opresi berarti bahwa seorang PK harus memiliki ketajaman kultural dan menghindarkan diri dari segala jenis diskriminasi yang berdasarkan pada kelas, disability, umur, jenis kelamin, orientasi seksual dan tentu saja ras. Laird (2008:40) menegaskan dalam memberikan layanan sosial, pekerja sosial harus memastikan tidak ada bias dalam perilaku, komunikasi, respon, dan pembelajaran yang dapat menggagalkan tujuan-tujuan pemberian layanan.

Transformasi Pembimbing Kemasyarakatan

Laird (2008; 41) menawarkan sebuah model yang ia sebut sebagai LIVE and LEARN seperti gambar di bawah ini. Menurut Laird, seorang pekerja sosial membutuhkan untuk:

Like, mengembangkan sikap menyukai untuk bekerja dengan orang dari komunitas minoritas. Inquire, berkomitmen untuk mengetahui sejarah, kepercayaan, norma sosial dan struktur keluarga dalam etnik tertentu. Visit, menerima sikap/posisi dengan respek pada pengamat yang memberi masukan ketika bekerja dengan klien. Experience, secara penuh kesadaran membangun interaksi-interaksi dengan orang dari latar belakang budaya yang berbeda dan mengembangkan hubungan setara agar memahami latar belakang budaya kelompok-kelompok tersebut dengan lebih baik.

Selain itu PK menurut model ini perlu memperkuat kompetensi dalam hal Listen, mengamati gaya-pendekatan yang dilakukan oleh orang dari budaya lain untuk mendapatkan pola komunikasi dan interaksi budaya yang tepat. Evaluate, sadar bahwa setiap orang terhubung secara personal dengan budayanya namun harus membuat batasan yang jelas untuk menghindari stereotip. Mengidentifikasi perilaku, kepercayaan dan nilai yang berlaku bagi penerima manfaat. Acknowledge, mengidentifikasi persamaan dan perbedaan sikap, kepercayaan dan nilai diantara anggota keluarga dan potensi konflik lainnya dan menjelaskannya dengan terang bagi pengguna layanan. Recommend, menawarkan kepada klien berbagai jenis intervensi, pendekatan dan berkonsultasi dengan mereka mana yang paling dapat diterima oleh budayanya. Negotiate, secara terbuka berdiskusi pada area-area yang memungkinkan konflik terjadi karena perbedaan dimensi budaya dan bersama bekerja untuk menemukan kompromi yang dapat diterima kedua pihak.

PK secara konstan akan berhadapan dengan narapidana yang tengah menjalani situasi transisi yang tidak mudah. Konflik antara PK dan narapidana terutama dalam mengelola harapan/ekspektasi narapidana dengan kapasitas layanan sosial yang tersedia akan terus terjadi. Narapidana juga menghadapi ketidakjelasan rencana hidup, sehingga bantuan PK untuk menata Kembali perencanaan hidup narapidana sangat diperlukan.

Bagi sebagian narapidana menjadi bebas pun bukan hal mudah untuk dilewati. Bayangkan, seorang narapidana yang berasal dari tempat yang jauh dari akarnya, berlatar belakang miskin dan menjalani pemidanaan selama berpuluh tahun. Mereka pasti tercerabut dari akar sosialnya termasuk keluarga dan teman.

Pada tahap awal program reintegrasi sosal, PK dapat melaksanakan program yang disebut sebagai Conflict and Life Management Skills. Kedua kompetensi ini penting karena konflik antara PK dan narapidana akan terus terjadi selama proses pendampingan. Begitupun konflik antara narapidana dengan komunitasnya berpotensi terjadi karena perbedaan-perbedaan budaya dan situasi budaya ketika sebelum dan setelah narapidana dipenjara. Bagi narapidana perempuan, situasinya akan lebih pelik. Mereka mungkin ditinggalkan suami, anak atau keluarga lainnya karena "hukuman sosial" bagi terpidana perempuan akan lebih berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun