Mohon tunggu...
Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana Mohon Tunggu... Relawan - Profesional dalam bidang transformasi konflik, memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu perdamaian, toleransi, pengambangan budaya damai.

Tinggal di Cirebon, saat ini adalah mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Menekuni bidang pengembangan budaya perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kompetensi Budaya untuk Pembimbing Pemasyarakatan

14 Januari 2021   14:19 Diperbarui: 14 Januari 2021   14:44 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep pemasyarakat secara fundamental mengubah cara pandang negara kepada tahanan dan narapidana dari pendekatan penghukuman (punitive) dengan maksud memberi efek jera (deterrence effect) menjadi pendekatan rehabilitasi untuk tujuan reintegrasi sosial. Jika dalam pendekatan punitif seorang terhukum akan menghadapi berbagai bentuk kesulitan fisik dan mental agar tak mengulangi kejahatannya, maka dalam pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi, tujuan utamanya adalah untuk mengubah perilaku dan mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat.

Adalah Sahardjo, Menteri Kehakiman era Soekarno yang pertama kali menggagas konsep pemasyarakatan ini. Menurutnya, "para terpidana adalah orang-orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. yang dalam keberadaannya perlu mendapat pembinaan, tobat tidak dapat dicapai dengan hukuman dan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan agar kelak berbahagia didunia dan akhirat".

Setelah konsep pemasyarakatan ini diperkenalkan, perlahan-lahan model-model pemenjaraan dengan praktik kekerasan, penyiksaan, dan pengasingan (exclusion) dihentikan. Pendekatan itu diganti dengan model-model pembinaan narapidana dalam bentuk bimbingan/pelatihan kerja, bimbingan kemasyarakatan, pembinaan mental/keagamaan dan pendekatan-pendekatan restoratif. Meskipun belum serta merta menghilangkan praktik-praktik kekerasan maupun malpraktik lain, namun pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi ini perlu mendapat perhatian lebih.

Pascapenjara

Dari sekitar 280.000 narapidana yang saat ini tersebar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di seluruh Indonesia, sekitar 95% akan kembali ke masyarakat. Sementara 5% sisanya menjalani hukuman seumur hidup di dalam Lapas atau akan dieksekusi mati. Reintegrasi sangat sulit bagi narapidana karena mereka harus menghadapi berbagai persoalan sekaligus. Pertama, karena umumnya tingkat pendidikan mereka rendah dan tak memiliki kemampuan khusus mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Kedua, Sebagian dari mereka juga memiliki masalah-masalah mental dan medis yang serius dan tidak mendapat cukup dukungan sosial dari komunitas. Ketiga, mereka harus menghadapi stigma karena catatan-catatan kejahatannya. Keempat, tidak mudah untuk menyesuaikan diri kembali ke dalam masyarakat terutama bagi mereka yang telah menjalani pidana yang lama. Dunia penjara tentu sangat berbeda dengan masyarakat bebas, lagi pula masyarakat yang ia hadapi saat bebas tentu berbeda dengan masyarakat sebelum WBP dipenjara.

Masalah-masalah di atas menghadirkan tantangan tersendiri bagi para Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang dalam sistem pemasyarakatan berfungsi memberikan layanan bagi proses reintegrasi sosial terutama untuk:

1. Memenuhi kebutuhan legal narapidana, ini berhubungan dengan status transisinya antara narapidana sebagai warga negara yang bebas. Ketika bebas, narapidana biasanya tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang jelas tentang status pidananya, kecuali putusan pembebasan dari Lapas. Dokumen-dokumen yang menyangkut identitas dan hak-hak sipilnya seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Domisili, Kartu Jaminan Sosial bisa hilang, tidak berlaku atau sebelumnya memang tidak ia miliki. Padahal dokumen-dokumen ini penting bagi narapidana untuk mengakses layanan-layanan sosial, kesehatan, pendidikan dan skema perlindungan sosial.

2. Kebutuhan pendampingan psikososial, sangat mungkin narapidana mengalami apa yang disebut sebagai post-incarceration syndrome (PICS) atau sindrom pasca-pemenjaraan. PICS biasanya terjadi setelah seseorang keluar dari penjara disebabkan karena lamanya mereka berada dalam situasi penghukuman, sementara sedikit sekali mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan dan program-program rehabilitasi. Semakin lama dipenjara semakin terganggu situasi mentalnya. Bagi terpidana perempuan, situasinya dapat lebih parah karena sangat mungkin mereka menjadi korban dari kekerasan seksual selama pemenjaraan.

3. Pengelolaan terhadap mereka yang akan keluar dari lembaga pemasyarakatan juga lebih kompleks. Supervisinya tidak hanya meliputi pembinaan, baik dalam konteks kepribadian maupun keterampilan, namun lebih luas lagi. PK juga harus berususan dengan isu keamanan, aspek lingkungan sosial dan budaya, interaksi sosial, ketahanan ekonomi, dan pemberdayaan sosial ekonomi.

4. Problem-problem lain yang dihadapi narapidana seperti ketergantungan obat, ketiadaan sokongan keluarga dan teman, motivasi, dan perbedaan rentang usia.

Kompetensi Antar Budaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun