Sejak Pilpres 2014, dunia politik negeri kita tak pernah lepas dari isu calon presiden dan calon wakil presiden. Bahkan sebelum Presiden Jokowi dilantik, isu ini sudah ramai dibicarakan. Dan semakin ramai sejak tahun lalu.
Keramaiannya mungkin akan memuncak tahun depan, tetapi sejak deklarasi capres-cawapres minggu lalu, hampir seluruh ruang diisi pembicaraan tentang siapa yang pantas memimpin negeri ini untuk lima tahun ke depan. Berbahaya? Iya. Sebab banyak hal lain yang terlupakan.
Perbincangan sebenarnya menarik bila lepas dari isu suku dan agama. Namun sialnya, masyarakat kita kebanyakan belum bisa atau "dipaksa" hanya membicarakan isu tersebut. Alhasil, perbincangan terjadi secara sembunyi-sembunyi bila di sekitar ada orang yang berbeda suku dan agama -- yang lama-lama membentuk polarisasi.
Dan semakin runcing perbedaan itu karena di media sosial banyak orang yang tak peduli pada kebhinekaan. Orang-orang itu dengan seenaknya menggunakan isu agama untuk kepentingan politiknya, tanpa pernah memikirkan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Padahal politik jauh melampaui isu agama ataupun suku. Di dalamnya kita bisa berbicara tentang kebudayaan yang tergerus oleh zaman, tentang pembangunan yang tak merata atau yang dilakukan semena-mena, tentang pendidikan dari dunia luar yang jauh tertinggal, atau tentang fasilitas kesehatan yang tak memadai di beberapa daerah di pelosok nusantara.
Kita bisa berbincang tentang ini untuk melahirkan ide-ide yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Sebab ketika sakit menyerang, ia tak bertanya siapa yang dipilih penderitanya saat pilpres.
Namun, politik kita belakangan ini digiring hanya untuk membahas isu agama dan suku : rajinkah calon A sholat? Darimana si B berasal? Apakah mereka dekat dengan Umat agama X atau lebih condong ke pemeluk Z?
Entah karena isu agama lebih menarik perhatian masyarakat kita atau mungkin capres-cawapres lebih mudah dan murah mendulang suara saat pilpres nanti. Yang jelas, meluasnya pembicaraan dengan isu agama sebagai pokoknya, sebenarnya memecah belah kita sebagai saudara se-tanah air yang sudah terlahir beragam. Dan yang lebih mengerikan, membuat kita tertinggal dari negara lain. Korea Selatan, misalnya.
Bisakah kita memperbaiki kualitas pertandingan Jokowi dan Prabowo?
Saya berharap, para intelektual yang memiliki pengaruh luas mulai melemparkan isu yang lebih baik untuk dibahas. Atau mungkin mahasiswa di kampus-kampus dirangsang untuk membahas pilpres dari segi perhatian pasangan calon pada dunia pendidikan. Dan bagi pekerja industri kreatif, bisa 'menelanjangi' calon presiden dan wakilnya agar terlihat jelas siapa sebenarnya yang bersungguh-sungguh memajukan industri kreatif.
Sebenarnya, dari dalam tim Pak Jokowi dan Pak Prabowo bisa juga membuat pertandingan lebih menarik. Saya yakin, tim mereka memiliki orang-orang hebat dari segala bidang. Atau bila pertimbangannya untuk menarik perhatian masyarakat, bagaimana kalau isu agama dan suku 'dimainkan' sebulan terakhir sebelum pilpres?
Jadi, masyarakat masih memiliki waktu sekitar enam bulan terbebas dari 'gaya' yang memuakkan. Siapa tahu juga, setelah enam bulan terbiasa dengan isu ekonomi, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, masyarakat tak tertarik lagi dengan agama yang dianut calon presiden dan wakilnya.
Jika para politisi tak jua membuat pertandingannya menarik, sudah saatnya masyarakat tak 'membeli tiket pertandingan' dan beralih ke pertandingan lainnya. Setidaknya untuk 'mengingatkan' para politisi bahwa -- seperti pertandingan sepakbola dimana suporter adalah pemain ke-12, masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Bukan hanya sebagai penonton yang memuji dan memaki, atau sebagai pelengkap euforia saat presiden terpilih mengangkat trofi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H