Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Romantika Seorang Pejuang

14 Maret 2018   06:20 Diperbarui: 14 Maret 2018   08:54 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena Bapak tahu kau mampu. Kau masih muda dan penuh energi," suaranya meninggi, memotivasi.

"Dan kau membiarkanku sendirian?"

Hari ini lah pertama kali aku bersikap tak sopan pada beliau. Aku memanggilnya dengan sebutan 'kau'. Tetapi Pak Budi tak sedikit pun tampak kecewa dengan sikapku. Mungkin dia sadar dia bersalah. Atau memang, sikap sabarnya belum berubah.

"Banyak yang terpanggil, tapi sedikit yang terpilih, Gi."

Pak Budi kembali membenamkan wajahnya. Dari sorot matanya tak terpancar lagi semangat yang berkobar berpadu dengan wajah penuh optimisme. Tidak ada lagi senyum yang terlukis yang memancarkan cinta dan damai. Tidak ada lagi gerak tubuh dinamis yang memancarkan harap yang tak pernah lenyap.

Diam menguasai kami.

Suasana hening terasa menyiksa. Aku kemudian terhanyut dalam bayang wajah keluargaku. Secara bergantian tubuh senja bapak, wajah sayu mamak, dan murka saudaraku terlintas di benak. Membuat dadaku terasa sesak. Ditekan dosa terasak. Sesaat aku merasa kaki tak mampu lagi beranjak. Dimana aku akan berpijak?

Sudah bertahun-tahun aku tak mengunjungi keluargaku. Tak peduli pada kesehatan bapak dan mamak. Tak peduli pada pekerjaan dan pendidikan saudara-saudaraku. Hanya karena mereka tidak setuju aku menjadi seorang aktivis. Hanya karena mereka menertawakan cita-citaku. Cita-cita yang kini telah pupus. Cita-cita yang memang pantas untuk ditertawakan.

Setelah semua ini terjadi, apa lagi yang tertinggal? Siapa lagi yang akan peduli padaku? Adakah mereka -- yang untuk mereka aku berjuang -- mempedulikanku? Akankah mereka memberiku santapan jiwa setelah kuperjuangkan keadilan bagi mereka?

Sampai detik ini, aku tak melihat sedikit pun buah dari perjuanganku yang tak kenal lelah. Mungkin, aku hanya orang bodoh bagi mereka. Sebab, perjuanganku adalah sia-sia karena mereka sudah terbiasa pasrah. Menghadapi dengan lapang dada, kesewenang-wenangan yang tak terbantah.

Andai aku sejak dulu mendengar nasihat orangtuaku, penderitaan ini tak akan singgah mendekamku. Juga penderitaan hidup serba kekurangan menjadi seorang aktivis yang menjunjung tinggi kejujuran, idealisme, dan kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun