"Agamamu apa?"
Lelaki itu tak bisa menjawab pertanyaan perempuan yang beberapa hari ini didekatinya. Ia berpikir sejenak. Kemudian teringat kutipan dari seorang sufi. "karena begitu kusebut sebuah nama, kau akan memberi arti lain dari apa yang hidup di hatiku," katanya tersenyum.
Kini keadaan berbalik. Perempuan itu yang diam dan rasa kecewa tumbuh di hatinya. Ingin dia beranjak dari tempat duduknya. Tetapi janji kepada diri sendiri yang ia buat malam tadi, menahannya. Sekali lagi ia mendesak. Tetapi lelaki itu hanya tersenyum.
"Bagaimana kita bisa berteman bila aku tidak tahu apa agamamu?"
"Ya, setiap bertemu jangan bicara tentang agama?"
"Itu tak akan bisa!"
"Bisa. Kita bertemu karena punya kesenangan yang sama. Kita bicara puisi aja setiap bertemu," kata lelaki itu dengan santai.
Perempuan itu berpikir sejenak. Benar juga, batinnya. Tetapi ia mendapat kata-kata lagi untuk memenuhi keinginannya.
"Aku tak bisa berteman dengan seorang yang tak jelas identitasnya. Bisakah aku menjelaskan kepada orangtuaku bahwa aku berteman dengan seorang lelaki yang menyukai puisi, tok, begitu saja?"
"Bisa," kata laki-laki itu datar. Ia berdiri, "Apalah artinya sebuah nama? Bukankah kau beri nama lain kepada mawar, ia akan tetap wangi?"
Perempuan itu luluh. Tetapi ia berusaha tampak tegar dengan pendiriannya. Ia berdiri, kemudian melangkah menjauh dari si Lelaki. Ia memasang ekspresi kecewa saat berpaling, tetapi setelah memunggungi Lelaki itu, ia tersenyum. Sesungguhnya memang, ia tak peduli pada agama si Lelaki. Di dalam hatinya, seandainya kelak mereka menikah, pasti si Lelaki akan mengikuti agamanya. Sebab, si Lelaki tak tampak sebagai seorang religius. Itu berarti, ia dapat dibawa kemana saja.
Ia hanya butuh waktu, gumam si Perempuan di dalam hati. Ia juga menunggu Lelaki itu mengejarnya. Tetapi sampai ia keluar kompleks perpustakaan, si Lelaki tetap tak mengejar. Ia penasaran. Berhenti. Kemudian memalingkan wajah. Tak ada yang mengikutinya. Ia berputar 180 derajat, lalu melangkah sedikit ke samping untuk menatap ke arah tempat mereka berbincang tadi. Tak ada lagi sosok itu.
Sial! Teriaknya dalam hati.
Namun tiba-tiba seorang pengamen remaja mendekatinya. "Ini ada titipan, Kak," katanya ramah.
Selembar daun.
Daun yang mulai menguning, mungkin karena sudah jatuh berhari-hari. Di permukaannya tertulis : Yang fana adalah agama, cinta abadi.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H