MEDIA digital seperti smartphone berkembang pesat. Keberadaannya menjangkau seluruh lapisan masyarakat dari anak usia dini sampai orang dewasa. Smartphone kini bukan barang baru lagi bagi anak usia sekolah dan remaja. Mereka menggunakannya untuk berbagai keperluan.
Pandemi Covid-19 yang mulai mewabah di Indonesia tahun 2020 semakin membuat smartphone seolah menjadi barang wajib bagi anak usia sekolah dan remaja. Kebijakan belajar dari rumah atau pembelajaran jarak jauh memaksa kegiatan belajar harus dilakukan secara daring (online). Smartphone untuk mengakses internet menjadi sarana yang utama.
Meski sekarang sekolah sudah tatap muka, smartphone tetap tak ditinggalkan. Terjadi perilaku dan pola hidup anak usia sekolah dan remaja. Selain untuk sarana sekolah online dan mencari informasi, smartphone juga digunakan untuk bermain game online. Para anak usia sekolah dan remaja betah berjam-jam dan mampu menghabiskan lebih dari 40 jam per bulan dengan smartphone-nya.
Setidaknya hal itu diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan penulis baru-baru ini. Dari lima remaja usia 13 dan 15 tahun yang menjadi subjek dalam penelitian itu, seluruhnya masuk dalam kategori heavy users atau pengguna berat, yaitu pengguna yang mengakses internet lebih dari 40 jam per bulan. Kelimanya berasal dari daerah yang berlainan. Bisa jadi mereka mewakili dari para remaja seusianya saat ini.
Para remaja usia sekolah ini rata-rata menghabiskan waktu 4-10 jam setiap harinya untuk mengakses internet di smarphone-nya. Jika diakumulasikan dalam sebulan, hasilnya lebih dari 40 jam. Terkait intensitas mengakses internet, The Graphic, Visualization & Usability Center, the Georgia Institute of Technology dalam Hamka (2015) menggolongkan pengguna internet menjadi tiga kategori, yaitu:
- Heavy users, yaitu pengguna yang mengakses internet lebih dari 40 jam per bulan;
- Medium users, yaitu pengguna yang mengakses internet antara 10 hingga 40 jam per bulan; dan
- Light users, yaitu pengguna yang mengakses internet kurang dari 10 jam per bulan.
Kemampuan para remaja usia sekolah itu mengakses smartphone menunjukkan bahwa mereka memiliki keterampilan dasar literasi media. Seperti dikemukakan Livingstone (2004), kemampuan atau keterampilan paling mendasar dari literasi media adalah mampu mengakses media secara teknis. Kemudian tiga kemampuan lainnya adalah memahami, menganalisis, dan memproduksi media dalam berbagai bentuk melalui media baru.
Secara rinci Livingstone menjelaskan empat kemampuan atau keterampilan dasar literasi media sebagai berikut:
- Access (akses), berhubungan dengan kemampuan mengakses media secara teknis.
- Understanding (pemahaman), berkaitan dengan keterampilan mengawasi kode dan simbol media.
- Analyze (analisis), merupakan kemampuan mengaitkan kode dan simbol dengan konteks lebih luas.
- Production (produksi), keterampilan memproduksi media dalam berbagai bentuk: suara, suara-gambar, tulisan, dan gabungan, melalui media baru.
Lima remaja yang menjadi subjek penelitian ini seluruhnya memiliki keterampilan dasar itu semua. Mereka memiliki kesamaan yaitu memiliki kecenderungan memakai internet untuk mengerjakan tugas sekolah dan bermain game online. Mereka juga sama-sama memiliki alasan yang sama dalam hal alasan memakai aplikasi yang sering diakses, yaitu aplikasi permainan dengan alasan untuk mendapatkan hiburan. Meski demikian, setidaknya mereka juga memiliki kemampuan memahami dan menganalisa terkait informasi hoaks yang beredar.
Di sisi lain, keterampilan dasar literasi media yang dimiliki anak usia sekolah dan remaja itu menimbulkan kekhawatiran para guru dan orang tua. Bila tak bijak menggunakan keterampilannya itu, remaja akan menjadi pecandu game online. Hal ini merupakan ancaman yang cukup serius. Mereka bisa saja bermain game berjam-jam tanpa memikirkan waktu. Perilakunya berubah menjadi pribadi individualis karena asyik bermain dengan smartphone tanpa memikirkan aktivitas sosial di lingkungannya. Mereka juga bisa menjadi lupa akan tugas utamanya yaitu belajar.
Dampak dari game online dapat membuat remaja sering berbicara kasar sehingga mereka terbiasa melakukan hal tersebut kepada siapapun bahkan kepada orang yang lebih tua. Melalui game online, remaja akan membaca perilaku, kalimat maupun meniru karakter, baik perilaku karakter dalam game maupun perilaku karakter teman main. Â Perubahan perilaku sosial pada remaja akibat bermain game online sudah bisa kita rasakan saat ini. Dahulu sebelum game online menjamur seperti sekarang, remaja menghabiskan waktu untuk membantu orang tua, kerja kelompok dan berkumpul dengan teman sebaya. Sekarang, remaja berkumpul hanya untuk bermain game online hingga larut malam.
Kita tidak perlu menyalahkan gamenya. Tetapi bagaimana memberi pemahaman pada remaja usia sekolah untuk memanfaatkan smartphone sesuai dengan fungsinya. Dukungan orang tua untuk meminimalisir kecanduan anak terhadap game online adalah yang utama.
Menurut penulis, orang tua harus lebih dapat memberikan pemahaman kepada anak tentang dampak postifif dan dampak negatif penggunaan smartphone. Orang tua juga harus lebih ekstra dalam melakukan pengawasan penggunaan smartphone untuk anak. Tidak ada salahnya pada smartphone anak dipasangi aplikasi kontrol orang tua sehingga orang tua dapat mengontrol dan membatasi pemakaian smartphone anak. Bahkan dapat memblokir dan mematikan akses internet di smartphone anak dari jarak jauh. Aplikasi Family Link dari Google mungkin bisa jadi pilihan.
Selain itu, kampanye literasi media digital perlu lebih sering digalakkan khususnya dari kalangan akademisi di perguruan tinggi. Model yang mungkin bisa dijalankan adalah dengan melakukan kampanye ke sekolah-sekolah dengan tujuan memberikan pengetahuan terkait penggunaan smartphone yang cerdas dan bertanggung jawab untuk remaja usia sekolah. Selain itu juga memberikan pemahaman bagaimana menjadikan media digital sebagai media pembelajaran yang efektif tanpa harus menimbulkan ketergantungan remaja.Â
Secara sistematis, mahasiswa dan perguruan tinggi di Indonesia dapat berperan aktif dalam mengatasi kecanduan game online di kalangan remaja usia sekolah melalui beberapa langkah berikut:
- Kampanye literasi media digital: Mahasiswa dan perguruan tinggi dapat melakukan kampenye literasi media digital tentang bahaya kecanduan game online, seperti dampak negatif pada kesehatan dan prestasi sekolah.
- Kegiatan alternatif: Mahasiswa dan perguruan tinggi dapat menyediakan kegiatan alternatif yang menarik dan positif bagi remaja, seperti kegiatan olahraga, seni, atau berkarya, yang dapat membantu mereka mengurangi waktu bermain game.
- Penelitian dan survei: Mahasiswa dan perguruan tinggi dapat melakukan penelitian dan survei untuk mengidentifikasi tingkat kecanduan game online dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga dapat ditemukan solusi yang tepat.
- Kerjasama dengan sekolah dan masyarakat: Mahasiswa dan perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan sekolah dan masyarakat untuk memastikan bahwa remaja memiliki akses informasi dan pendidikan yang benar tentang bahaya kecanduan game online.
- Kerjasama dengan industri game: Mahasiswa dan perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan industri game untuk memastikan bahwa game yang beredar memiliki fitur dan pengaturan yang aman bagi remaja, seperti batasan waktu bermain, dan pembatasan akses terhadap konten yang tidak sesuai.
Dengan melakukan langkah-langkah ini, mahasiswa dan perguruan tinggi diharapkan dapat membantu mengatasi kecanduan game online di kalangan remaja usia sekolah dan memastikan bahwa remaja memiliki akses informasi dan pendidikan yang benar tentang bahaya kecanduan game online. []
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI