Jikalau kita membicarakan kawasan pasifik selatan rasanya tidak mungkin kita abaikan kesultanan Tidore di masa kejayaan Sultan NUKU pada 1700-an, pasca runtuhnya Majapahit abad ke-14, dan kekalahan kerajaan Demak atas Potugis di selat Malaka pada 1521. Tinggal Satu-satunya kerjaan yang masih eksis dan berbasis maritim hanyalah kesultanan Tidore zaman NUKU, satu hal penting ini yang luput dari pandangan Jakarta.
Di masa kesultanan Tidore dengan daerah kekuasannya sampai PAPUA, Seram dan kepulauan-kepulauan di Pasifik Selatan lainya seperti Nuku Hiva, Nuku Alovo, dll. di masa kejayaan Sultan NUKU Ini menjadi penting di jadikan sebagai dasar untuk membertimbangkan apa lagi NUKU pun di angkat sebagai Sultan pertama PAPAU kala itu.
Atas dasar historis tersebut Kesultanan Tidore yang letaknya di Maluku Utara, menjadi faktor penting dalam ketrlibatan aktif membantu melakukan diplomasi politik dalam mengahadapi situasi menguatnya kembali issu Dis-integrasi Papua. yang mengunakan pendekatan Etno-linguis.
Ini akan sangat baik di pakai sebagai cara dan pendekatan diplomasi NKRI dalam menghadapai situasi Politik adu domba ala AS dan sekutunya, relasi historis ini yang sepenuhnya belum di lakukan. Dengan memberi ruang penuh Kesultanan Tidore dalam membangun konsolidasi dan mengaktifkan kembali ikatan historis ini menjadi pertimbangan yang harus di putuskan Jakarta secara bijak.
Pendekatan ini bisa di padukan kemudian apa yang telah di lakukan oleh Pemerintah dengan diplomasi bilateral maupun multilateral baik dalam bentuk kehadiran langsung dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) bertempat di Lautoka, Fiji Negara Kepulauan Salomon pada kamis (16/6) beberapa bulan silam. Atau pegelaran yang akan berlangsung di Kota Ambon pada September nanti Ini akan lebih kuat daya dorongnya.
Belum lagi ikatan kultural yang di gunakan sebagai cara diplomasi NKRI mengunakan Kesultana Tidore, kata NUKU itulah ikatan kultural masalalu yang sering orang lupa. NUKU dalam bahasa Tidore tidak kita temukan dalam pemaknaan sesunguhnya karena itu kata NUKU sendiri bukan sebuah produk dari bahasa Tidore tepatnya. Hingga banyak orang kemudian mengartikan kata NUKU dengan sebutan perkumpulan NUKU.
Lebih jauh ke belakang kata “NUKU” telah lebih dulu ada dan hidup dalam ruang batin masyarakat Pasifik, Sebagai gelar yang telah di nisbatkan masyarakat di kawasan Paifik Selatan atas Sultan ke 27 dari Tidore, Sultan Saidul Jihad Muhammad Almabus Amiruddin Syah Kaicili Paparangan alias Jou Barakati, Alias NUKU. igatan kolektif atas sosok tersebut akan tetap hidup. Dalam mitologi masyarakat Pasifik Selatan khususnya kepulauan NUKU ada keyakinan terhadap seorang Raja di masa lalu menguasai kawasan tersebut hingga ke selat Maluku, yang siring juga di sebutkan sebagai Dewa Laut, atau Raja Penguasa Laut (NUKU).
Pemberian gelar “NUKU” kepada Sultan ke 27 dari Tidore atas masyarakat setempat ini tentu memiliki alasan tersendiri, kemudian Kata NUKU sendiri memang memiliki konotasi kejayan karena itu melekat dengan baik pada ingatan masa lalu kita yang di tunjukan Sultan ke 27 tersebut, betapa hebatnya membangun konsolidasi dan mengerakkan solidaritas hingga kemenagan atas setiap pertempuran yang di lakoninya nyaris tanpa penghalang yang berarti.
Itu artinya tidak ada alasan lagi Jakarta tidak memberi ruang pada Tidore, Sebagai Kesultanan dalam mengambil peran dan momentum melakukan konsoliadasi, membangun kesepahaman, dan mendorong solidaritas sesama di kawasan Pasifik Selatan dengan Indonesia atas dasar ikatan kultural dan historis, karena sejarah adalah ingatan masa lalu yang melekat pada ruang batin setiap orang maka akan selalu hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H