Mohon tunggu...
Baharudin Pitajaly
Baharudin Pitajaly Mohon Tunggu... -

penikmat Kopi, peminat ikan Kakap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Miskin di Tanah dengan Sumber Meneral Berlimpah

19 September 2016   16:18 Diperbarui: 19 September 2016   16:31 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Photo : adibsusilasirja.blogspot.com

Siang itu nampak awan pekat menutupi kota Timika, pertanda sebentar lagi akan turun hujan deras. Ternya dugaan saya benar tak seberapa lama hujan deras pun membasahi Tanah Timika yang gersang di akibat kemarau panjang. kini daerah Timika menjadi begitu akrab dengan saya karena sudah sering di kunjungi.

Keakraban atas Timika (Papau) ini kemudian di sandingkan atas nama cinta.Ya, saya akhirnya berjodoh dan menikahi perempuan keturunan Bugis yang telah lama tinggal di Timika, mungkin ini menjadi alasan kenapa daerah Timika menjadi akrab dengan saya.

Dan alasan lainnya daerah Timika sudah kita ketahui bersama sejak lama menjadi diskurus nasional atas kekayaan SDA seperti mineral yang melimpah dan di berikan kepada Asing (Freeport), atas nama kontrak  karya untuk di kelolah dengan dalil kesejatran bak mantra sakit yang sering di ucapkan.

Dari dalam rumah mertua bersama istri dan keluarga kita asik mengobrolkan apa saja termasuk soal sutuasi terkini masyarakat Timika, dengan di suguhi pisang goreng dan Saraba, minuman dengan racikan jehe, gulah aren, plus susu atau kari kelapa. sunguh sanggat nikmat untuk menghangatkan tubuh di kalah hujan, Tak seberapa lama tiba-tiba istri saya mengingat.

“Sebantar sore kita ke pasar yah?”

 “Kayaknya kita kehabisan kebutuhan dapur, itu pun kalu hujan sudah redah”

Istri saya menegaskan.

Tanpa banyak pikir saya pun menjawab “Ok!”

***

Kini menjadi masalah bagi masyarakat setempat maupun bangi bangsa ini, betapa tidak kesejatraan yang sering di dengungkan tak pernah kunjung datang hanya menjadi duri dalam daging. Sejak beroprasinya PT. Freeport. Situasi makin tidak terkendali, semua urusan kepentingan dan hajat hidup masyarakat Papua terabaikan.

Maskapai pertambangan raksasa itu menjelma menjadi negara dalam negara. mereka dapat mengatur apa saja sesuai ke inginan mereka, negara akhirnya di buat tak berdaya menghadapi sepak terjang maskapai pertambangan tersebut. daerah Papua yang satu ini terlihat bedah (Timika) dengan daerah di Papua lainnya, luas dan kondisi permukaan tanah yang cukup rata sepanjang mata melihat menjadi keunikan tersendiri.

Timika daerah unik, kekayaan SDA yang melimpah ruah seperti bahan meneral (Emas, Tembaga, dll) dengan cadangan terbesar. Menjadi perhatian khusus negara-negara kapitalis Seperti AS, sampai penamaan salah satu distrik di wilayah pegunungan pun di sebut dengan “TembagaPura” yang masih dalam lingkup Administrasi Timika. sebagai penanda wilayah tersebut kaya dengan bahan meneral.

***

Tanya ku pada istri “Berapa suku Papua yang mendiami daerah ini (Timika)?”

“Kulau tidak salah terdapat 7 Suku”

“Namu yang besar ada dua yaitu suku Amungme dan Komoro.” jawab istri singkat 

Ya, di dataran tinggi khususnya di mana beroprasinya Freeport tepatnya di distrik TembagaPura mendiaminya suku Amungme, dan di dataran rendah hingga pesisir di diami oleh suku Komoro hingga suku kicil lainnya. Dan rata-rata mereka menggantungkan hidupnya dari alam.

Dalam obrolan itu saya pun berkata “Lagi—lagi atas dalil kesejatraan beroprasinya maskapai pertambangan raksasa seperti PT. Freeport McMoRan, Inc. kita masih saja lugu dan polosnya percaya mitos tersebut sebagai mantara sakti pengusir kemiskinan.”

“Namun faktanya justru berkata lain. Hanya kemiskinan dengan wajah melarat mewarnai hari-hari penuh iba kita jumpai dengan kondisi hidup tak layak.” Tegas saya pada istri dan keluarga

“Ironis bukan?”   

Fakta lain menujukkan hanya segelitir orang di Timika yang bisa menikmati kehidupan layak ketika PT. Freeport beroprasi, situasi ini tidak berdampak secarah nyata atas masyarakat setempat. Walaupun Freeport kemudian sering dan bahkan rutin memberikan program beasiswa kepada anak-anak setempat untuk study lanjut baik  S1, S2. Sebagai sedikit upaya atas kepedulian terhadapa masyarakat.

Namun itu tidak seberapa di banding keuntungan yang di dapatkan oleh Freeport, dengan keuntungan yang melimpah di peroleh Perusahaan asal Negeri Paman Sam tersebut. Justru menyulap hutan belantara dengan cara membuat kota dalam hutan sering di sebut orang dengan Kuala Kencana.

Di dukung fasilitas moderen dan penjagaan super ketat pun di berlakukan. Untuk menuju ke tempat tersebut, kita membutuhkan waktu kurang lebih 40 Menit dari Pusat kota Timika. Kuala Kencana yang di lengkapi dengan fasilitas perbelanjan, toko buku, fasilitas olah raga, dll. Pengujung pun di suguhi pemandangan yang indah suasana asri dalam area tersebut.

Pikiran saya kemudian berandai-andai “kalau saja uang yang di gunakan untuk membangun kota dalam hutan (Kuala Kencana) di gunakan untuk kebutuhan masyarakat sempat tentu baik setidaknya membantu mengurangi ketimpangan.”

Dan  tentu itu bukan uang yang sedikit di gunakan dalam membangun Kuala Kencana. Kini kewasan tersebut sudah menjadi salah satu distri di Timika. 

Sejauh yang bisa kita temui hanya keganjilan melihat kehidupan para masyarakat setempat. hidup di Tanah yang di berkahi Tuhan, dengan sumber meneral yang melimpah ruah, dan di manjakan oleh keidahan alam yang tak terkira. namun menyimpan sisi lain yang terbilang sangat miris atas kehidupan masyarakat Timika.

Ruang paling fital atas kehidupan pun kini di sesaki oleh pendatang dengan segala kemampuannya dalam ilmu berdagang, hampir 90% ruang tersebut di kuasai baik Bugis, Makasar, maupun Jawa. kini terlihat makin jauh ketimpangan, Ketidak hadirnya negara dalam melindungi masyakat Papua khususnya di Timika agar hidup lebih layak menjadi alasan lain  keterpurukan.

Akhinya kita harus sepakat bahwa masyarakat Timika sengaja di miskinkan dan di buat tanpa daya di tanah leluhurnya sendiri.

***

Setelah hampir tiga jam bercaka-cakap bersama istri dan keluarga, menikmati kebersamaan di saat-saat sengang dalam obrolan itu sambil sambil di suguhi pisang goreng dan saraba. Maklum karena saya tidak menetap di Timika untuk itu kebrsamaan menjadi sesuatu yang langkah, itu pula yang membuat saya tak mau melewati begitu saja.

Di luar hujan pun mulai berhenti, langit terlihat cerah, dan hari sudah mulai sore. saya pun bergegas mengantar istri ke pasar, saat memasuki pasar tradisional yang biasa istri membeli kebutuhan dapur. saya tidak menjumpai satu pun masyarakat asli Timika yang berjualan, Saking penasaran saya akhirnya menayakan pada istri.

“Kanapa orang Timika seperti Komoro, atau suku lainnya tidak berdagang seperti orang Bugis, Makasar, atau Jawa di pasar ini?”

 “Mereka (Komoro) berdangang juga tapi paling ujung kita akan temui mereka kalau pas keluar dari bawah!” Jawab istri

Setelah selesai istri saya membeli beberapa kebutuhan untuk di keperluan dapur, saya langsung mengajak istri ke tempat jualan mama-mama Timika yang tadi sudah istri saya sampaikan.

“Yuk, kita ke tempat jualan mama-mama Timika, saya pengen lihat apa yang mereka dagangkan!”

Kebutulan istri pengen beli ubi jadi kita langsung ke tempat jualan mama-mama Timika tersebut, pas sampai terlihat menyedihkan tempat di mana mereka berdagang dengan kondisi becek dan seadanya. Sementara pendatang dengan kondisi tempat dagang yang terbilang sangat layak dan nyaman.

Ini bagi saya kesalahan sepenuhnya ada pada  Pemerintah yang tak memperhatikan masyarakat Timika sendiri.

Pandangan itu membuat munculnya belbagai pertanyaan yang datang menumpuk pada benak saya hingga rongga-rongga kepala pun serasa sesak oleh bermacam tanda tanya. kenapa pemerintah setempat tidak membuat pasar yang khusus untuk mama-mama di Timika agar mampu menujang kehidupan ekonominya.

***

“Entah lah!!!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun