Mohon tunggu...
Baharudin Pitajaly
Baharudin Pitajaly Mohon Tunggu... -

penikmat Kopi, peminat ikan Kakap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Miskin di Tanah dengan Sumber Meneral Berlimpah

19 September 2016   16:18 Diperbarui: 19 September 2016   16:31 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Photo : adibsusilasirja.blogspot.com

Di dukung fasilitas moderen dan penjagaan super ketat pun di berlakukan. Untuk menuju ke tempat tersebut, kita membutuhkan waktu kurang lebih 40 Menit dari Pusat kota Timika. Kuala Kencana yang di lengkapi dengan fasilitas perbelanjan, toko buku, fasilitas olah raga, dll. Pengujung pun di suguhi pemandangan yang indah suasana asri dalam area tersebut.

Pikiran saya kemudian berandai-andai “kalau saja uang yang di gunakan untuk membangun kota dalam hutan (Kuala Kencana) di gunakan untuk kebutuhan masyarakat sempat tentu baik setidaknya membantu mengurangi ketimpangan.”

Dan  tentu itu bukan uang yang sedikit di gunakan dalam membangun Kuala Kencana. Kini kewasan tersebut sudah menjadi salah satu distri di Timika. 

Sejauh yang bisa kita temui hanya keganjilan melihat kehidupan para masyarakat setempat. hidup di Tanah yang di berkahi Tuhan, dengan sumber meneral yang melimpah ruah, dan di manjakan oleh keidahan alam yang tak terkira. namun menyimpan sisi lain yang terbilang sangat miris atas kehidupan masyarakat Timika.

Ruang paling fital atas kehidupan pun kini di sesaki oleh pendatang dengan segala kemampuannya dalam ilmu berdagang, hampir 90% ruang tersebut di kuasai baik Bugis, Makasar, maupun Jawa. kini terlihat makin jauh ketimpangan, Ketidak hadirnya negara dalam melindungi masyakat Papua khususnya di Timika agar hidup lebih layak menjadi alasan lain  keterpurukan.

Akhinya kita harus sepakat bahwa masyarakat Timika sengaja di miskinkan dan di buat tanpa daya di tanah leluhurnya sendiri.

***

Setelah hampir tiga jam bercaka-cakap bersama istri dan keluarga, menikmati kebersamaan di saat-saat sengang dalam obrolan itu sambil sambil di suguhi pisang goreng dan saraba. Maklum karena saya tidak menetap di Timika untuk itu kebrsamaan menjadi sesuatu yang langkah, itu pula yang membuat saya tak mau melewati begitu saja.

Di luar hujan pun mulai berhenti, langit terlihat cerah, dan hari sudah mulai sore. saya pun bergegas mengantar istri ke pasar, saat memasuki pasar tradisional yang biasa istri membeli kebutuhan dapur. saya tidak menjumpai satu pun masyarakat asli Timika yang berjualan, Saking penasaran saya akhirnya menayakan pada istri.

“Kanapa orang Timika seperti Komoro, atau suku lainnya tidak berdagang seperti orang Bugis, Makasar, atau Jawa di pasar ini?”

 “Mereka (Komoro) berdangang juga tapi paling ujung kita akan temui mereka kalau pas keluar dari bawah!” Jawab istri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun